Bahkan ketika pemungutan suara telah usai pun, ternyata justru semakin memanas konstelasi perpolitikan di tanah
air. Selama masa kampanye, segala macam fitnah, pelecehan, dan tuduhan tak berdasar dengan begitu massive
dan luar biasa panasnya beredar dimana-mana, terlebih kepada Jokowi. Tak pelak, segala macam isu panas pun beredar
di angkasa perpolitikan Indonesia tercinta ini, membuat sebagian kita hanya sanggup megurut dada. Tak tanggung-tanggung,
berbagai macam orang dari berbagai kelompok dan kalangan tertentu,
termasuk para akademisi pun unjuk gigi angkat bicara. Saking panasnya
suhu kampanye kala itu, maka banyak pakar turun tangan, namun tak sedikit pula rakyat
kecil yang angkat tangan. Menyerah. Ya, mereka menyerah oleh karena
kampanye ini menjurus ke hal-hal yang tidak lagi sehat. Semuanya
berlomba-lomba untuk menang, bahkan ada yang akan memakai segala cara,
apapun itu, asal kemenangan dapat diraih.Suasana yang tidak kondusif
harus kita tata lagi. Suasana yang panas mesti kita dinginkan lagi. Agar
tidak terjadi bentrok seperti yang sudah terjadi di beberapa tempat,
termasuk yang di Jogya.
Semuanya
mestinya akan wajar saja, bila itu kemudian tidak dibumbui dan disisipi
berbagai kampanye hitam, super negatif, dan kotor. Seperti yang kerap
kita lihat dalam berbagai arena atau gelanggang perang bernama media
sosial, media cetak, mapun media debat di berbagai stasiun TV. Pakar
politik yang punya kepakaran dan keahlian yang sama saja bisa punya
pendapat yang jauh berbeda, sangat bergantung di kubu mana ia berada.
Ibaratnya kita lagi melihat Monas. Yang dari Timur dan Barat melihatnya
secara berbeda. Sama-sama melihat satu objek yang sama, Monas, tapi dari
sudut pandang dan arah pandang yang berbeda. Apa kemudian yang dari
Timur dan Barat harus bertikai hanya oleh karena pandangan yang berbeda
tersebut? Memangnya Monas itu lebih bagus dilihat dari mana? Timur atau
Barat? Paling bagus Monas itu dilihat dari atas. Coba saja kalau nggak percaya.
Kini
semakin menampak, aksi dari berbagai pihak yang menamakan diri sebagai
“pendukung setia” calon presiden pilihan diri mereka sendiri, mencoba
menggelindingkan model kampanye yang selalu saja mengangkat isu SARA,
sebagai senjata. Koran Obor Rakyat adalah salah satu contoh. Malah pada masa tenang sekalipun edisi ke-4 tetap beredar. Apakah aparan keamanan tidur saja? Pemrednya saja tidak mau sadar,
bahwa itu bukanlah sebuah karya jurnalistik sama sekali. Isinya lebih dari
setengah adalah copy paste,
setengahnya lagi fitnah dan pelecehan. Suku, agama, ras, dan antar
golongan memang acap kali masih dianggap senjata ampuh untuk berkampanye
hitam. Menyerang dan mengait-ngaitkan calon tertentu dengan agama
tertentu atau golongan tertentu umpamanya. Sesuatu yang menurut saya
justru adalah akibat kekerdilan dan kedegilan cara berpikir semata.
Kalau kita masih menghormati perbedaan dan kemajemukan, maka jangan
sekali-kali kita memanfaatkan perbedaan-perbedaan SARA itu untuk
menyerang lawan politik kita, apapun alasan di balik itu. Itu namanya
menghalalkan segala cara.
Lantas
apakah kemudian kita akan berkata bahwa kalau begitu berarti politik
itu kotor? Sama sekali bukan. Yang kotor adalah orang-orang yang
berpolitik. Tidak semua memang, namun banyak yang secara terang-terangan
memperlihatkan betapa kotornya mereka berpolitik. Politik itu harusnya
adalah sarana kita menyalurkan aspirasi terhadap cara pengelolaan
negara, termasuk cara memperoleh, menggunakan, dan mengawasi kekuasaan.
Jadi bukan politik yang kotor tetapi pelaku-pelakunya. Orang-orangnya.
Politikus-politikusnya. Makanya nggak
usah heran kalau ada anggapan politikus itu tingkahnya seperti tikus.
Gerogoti sana-sini hanya untuk perutnya sendiri. Kalau tidak mau
dibilang persis tikus, ya jangan bertingkah seperti tikus. Apalagi
dengan omong kosong dan omong besar, bahwa mereka berpolitik demi
rakyat.
Kita
harusnya memandang hal ini dengan lugas dan terbuka. Begini, bahwa
apapun tujuan kita berpolitik dan berkampanye demi memenangkan salah
satu calon, maka tujuannya seharusnya diletakkan pada aras yang sama.
Apa itu? Jelas sekali adalah demi mewujudkan Indonesia yang lebih baik,
lebih maju, lebih sejahtera, lebih makmur, lebih adil, lebih aman, lebih
terjamin, lebih hebat, dan lebih bermartabat? Tujuan mulia dan positif.
Di luar semua tujuan yang baik-baik itu, maka calon tersebut berarti
tidak berjuang untuk masyarakat banyak melainkan hanya untuk kepentingan
dirinya dan kelompoknya. Kepentingan perutnya, dan tentu perut
TIMSESnya. Namun, jikalaupun tujuan-tujuan mulia itu ternyata hanya
sebatas supaya menang doang,
setelah itu habis perkara, tidak ada upaya mewujudkannya, itu dosa
besar. Dosa abadi yang akan diwariskan sampai ke anak cucu kita.
Generasi ke generasi akan mencatat dosa abadi itu dalam catatan sejarah
pemimpin pembohong. Jangan sampai seperti itu.
Berbeda-beda Namun Satu Jua
Bukankah
dalam rangkaian isi dari visi – misi kedua Capres-Cawapres, baik itu
Jokowi-Jk maupun Prabowo-Hatta, adalah memperjuangkan hal-hal yang
hampir sama? Nah, kalau dua-duanya bermaksud untuk menjadikan Indonesia
ini lebih baik, maka cara-cara yang dipakai juga perlu ditelaah. Apakah
kita sudah berpolitik dengan baik dan benar? Apakah kita sudah
berkampanye dengan baik dan benar? Ataukah kita malah menghalalkan
segala cara demi mencapai tujuan. Ini harus menjadi itikad bersama,
bahwa pemilihan ini mestinya adalah sebuah pesta demokrasi, semuanya
berpesta secara positif. Bukan kemudian pilpres ini justru dijadikan
ajang pesta fitnah memfitnah, dan pesta jatuh menjatuhkan. Sangat
disayangkan.
Sejak
dilahirkan ke dunia ini kita ini memang sudah berbeda. Beranjak dewasa
kita akan semakin berbeda. Tidak ada satu orang pun yang akan menjelma
sama persis dengan orang lain. Bahkan saudara kembar yang struktur
genetiknya sama, pastilah ada perbedaan-perbedaan dalam hal tertentu.
Tidak akan ada dua individu yang sama persis. Hobi kita beda. Keinginan
kita beda. Kepentingan kita beda. Cara pandang kita beda. Orientasi kita
beda. Bahkan keyakinan kita pun pastilah akan berbeda satu sama lain.
Perpedaan dan keragaman itu sudah ada dari sejak manusia diciptakan, dan
akan begitu terus selamanya. Perbedaan itu hakiki adanya. Bahkan kalau
boleh saya bilang, perbedaan dan keragaman itu adalah hak asasi setiap
manusia, tidak bisa tidak. Itu tandanya bahwa Tuhan memang menghendaki
supaya ada perbedaan dan keragaman. Kalau kita menolak perbedaan dan
keragaman, perlahan namun pasti, kita berarti sementara membiarkan
benih-benih otoriterianisme dan diktatorianisme tumbuh dan berkembang.
Segala
sesuatu di alam semesta ini saling berbeda. Itu adalah kodrat yang
sangat ilahi. Artinya, Allah Sang Maha Pencipta tentu memang menghendaki
kita supaya berbeda. Makanya, apapun di alam semesta ini pasti ada
perbedaan sana-sini. Apapun itu. Tiap buah mempunyai rasa yang berbeda.
Alangkah sengsaranya kita bila buah mangga, manggis, pepaya, pisang,
jambu air, jambu batu, kelapa, rambutan, dan lain sebagainya itu rasanya
sama semua. Kemajemukan rasa inilah yang semakin memperkaya hidup kita.
Jadi jangan pernah dipaksakan untuk diseragamkan atau hendak dibuat
supaya menjadi satu rasa saja, dan sama semuanya. Jangan pernah.
Demikian juga dalam perbedaan pilihan, entah itu pilihan hidup maupun
pilihan politik. Pilihan calon Presiden juga pastilah akan berbeda.
Perbedaan itu harus kita terima dan syukuri. Itulah Bhinneka Tunggal Ika. Nomor satu atau nomor dua, itu juga adalah sebuah pilihan.
Menurut
Dr. Andar, Semboyan Bhinneka Tunggal Ika sebetulnya adalah salah satu
ragam sastra puisi dalam tuturan sastra Kawi yang termuat dalam Kitab
Sutasoma karangan Mpu Tantular. Ia adalah seorang pujangga agama Buddha
abad ke-14 di Kerajaan Majapahit. Arti ungkapan itu adalah “Berbeda-beda
namun satu”, atau juga, “Berbeda itu, satu itu”. Nah, kemudian hari,
setelah Republik Indonesia ini lahir, kalimat Mpu Tantular yang sudah
berusia ratusan tahun itu diambil dan dipakai menjadi semboyan resmi
republik kita ini. Sebab pada hakikatnya kita memang berbeda-beda, namun
kita ini satu jua adanya. Satu nusa, satu bangsa, satu bahasa:
INDONESIA.
Mpu
Tantular menuliskan semboyan yang sangat terkenal itu sekitar abad
ke-14 itu. Kala itu wilayah Kerajaan Majapahit sangatlah luas, yaitu
Selain meliputi Indonesia, ia juga mencakup sebagian wilayah yang
sekarang adalah Malaysia dan Singapura. Di Kerajaan Majapahit tersebut
konon hiduplah penduduk dari ratusan etnik dengan berbagai macam jenis
bahasa dan latar belakang. Agama yang mereka anutpun bermacam-macam. Ada
Buddha, Hindu, serta ratusan agama suku lainnya. Namun mereka semua
tetaplah hidup berdampingan secara damai dan rukun. Kesemuanya itu
adalah bukti bahwa meskipun penduduk Majapahit berbeda-beda, namun toh
mereka ternyata dapat bersatu padu, hidup rukun demi mendatangkan
kesejahteraan bagi Kerajaan majapahit. Jiwa keterpaduan itu digambarkan
oleh Mpu Tantular dengan kata-kata, “Bhinneka Tunggal Ika”.
Kerajaan
Majapahit masih begitu kuno, ia ada di abad ke-14. Bangsa Indonesia
lahir, dan kini telah hidup di abad ke-21. Namun pada kenyataannya, bisa
jadi justru Majapahit masih lebih modern dari Indonesia dalam hal
menghargai perbedaan. Sebab di Republik ini kita masih begitu sulit
menghargai sebuah perbedaan. Baik itu perbedaan gender, etnik, budaya,
adat istiadat, pilihan hidup, pilihan politik, dan apalagi pilihan
agama. Masakan kita harus tunggu dulu Mpu Tantular bangkit dari kuburnya
untuk datang mengajarkan kepada kita tentang betapa pentingnya
menghargai sebuah perbedaan, supaya kita dapat berjaya seperti Kerajaan
Majapahit pada masanya? Semoga kita akan semakin mampu dan semakin bijak
menghargai sebuah perbedaan. Apapun itu. Salam dua jempol. —Michael Sendow—