Jejaring
sosial adalah sarana ampuh dan luar biasa untuk mempromosikan barang,
juga diri. Bahasa sederhana saya, melalui media sosial kitapun
sebetulnya dapat ‘menjual diri’, lebih kasar lagi bahwa kita dapat
‘melacurkan diri’ untuk itu. Seperti yang dapat Anda baca di sini: http://media.kompasiana.com/new-media/2011/07/28/melacurkan-diri-untuk-personal-branding-383489.html
Di
dunia politik misalnya, menggunakan media sosial dan segala macam
bentuk jejaring sosial yang ada, sudah bukan lagi barang tabu dan bukan
barang baru. Semakin hebat Anda mensosialisasikan ‘barang dagangan’
Anda, akan semakin terkenal Anda. Ini adalah keuntungan politikus yang
hidup di era keemasan dunia informatika seperti saat ini. Sangat menarik
untuk dibahas, bagaimana manusia mengubah pola komunikasinya melalui
mediasi-mediasi teknologi. Tentunya juga, ini akan menjadi pengalaman
yang amat sangat pantas didokumentasikan oleh siapapun.
Twitter
dan Facebook, selain Kompasiana, adalah dua sarana mediasi itu, dimana
orang-orang dapat bertemu ‘secara maya’, bertumbuh, bercinta, berkarya,
bahkan sampai mencuri, menipu dan merusak sekalipun. Dua sarana
tersebut, kini juga dipakai sebagai ladang berkampanye yang murah biaya,
namun besar pengaruhnya. Sebagai contoh, Prabowo memaksimalkan peran
itu dengan tepat dan jitu. Dia adalah satu-satunya politisi Indonesia
yang memiliki jumlah follower di FB sebegitu banyaknya (hampir 5 juta orang), dan yang kemudian masuk dalam list 5 besar politisi dunia paling banyak di-follow. Ia tentu tau betul memanfaatkan media sosial.
Di Twitter, lihat saja politisi mana yang paling banyak followernya, dan yang paling sering berkicau, tentu akan menuai banyak hits.
Mereka tentu paham betul pengaruh media sosial dalam memomulerkan diri.
Artinya, semakin banyak pengikutnya dan kicauan terhadap dirinya, akan
semakin memomulerkan yang bersangkutan.
Di
Indonesia, kita punya Kompasiana. Media yang satu ini sangat unik.
Dalam bahasa saya, Kompasiana adalah gabungan antara FB, Twitter dan
Kaskus. Semua akan Anda dapatkan di sini. This is the one stop station, you can get anything you want here.
Bahkan, ‘menjual’ serta ‘melacurkan’ diri, di sinilah tempat yang
paling tepat. Dijamin akan laku keras. Dijamin akan terkenal.
Pencitraan di Media Sosial
Tempo
hari, berlatar belakang kegilaan para anak muda terhadap Twitter dan
jejaring sosial, maka lahirlah sebuah film bertajuk ‘Republik Twitter’.
Film ini bercerita tentang seorang bernama Sukmo, lelaki dari Jogja yang
begitu ambisius, lucu tapi sangat cerdas. Sukmo ini kemudian jatuh
cinta kepada Hanum, seorang perempuan cantik yang pemurung. Cintanya
bertumbuh lewat Twitter. Bertemunyapun hanya lewat Twitter. Bahkan
pacarannyapun lewat Twitter.
Bagi
Sukmo, dunia kehidupan Twitter adalah laiknya kehidupan nyata dirinya
sendiri. Sebaliknya, bagi wanita yang dicintainya, Hanum, justru
sebaliknya Twitter adalah bentuk pelariannya, alter ego bagi
keceriaan yang tiada pernah ia peroleh dalam kehidupan nyatanya. Mereka
dekat dan penuh cinta, akan tetapi dunia maya tidak akan pernah bisa
memuaskan siapapun yang benar-benar hidup di dunia nyata. Tentu saja.
Nah,
Sukmo berkeinginan sangat kuat untuk bertemu dengan Hanum. Ia bisa jadi
lupa bahwa ada kelas sosial didunia nyata, dan itulah kenyataan yang ia
terima ketika bertemu dengan Hanum. Ia lantas berusaha keras untuk
membuat dirinya lebih terlihat nyata, serta lebih percaya diri. Sukmo
sudah begitu lama hidup dan ‘terjebak’ dalam dunia 140 karakter bernama
Twitter itu. Semakin lama, kegiatannya tersebut semakin mengikat diri
dan pemikiran-pemikirannya. Ia begitu menjiwai bisnis pencitraan politik
berbasis jejaring sosial itu. Tanpa pernah menghirup segarnya dunia
nyata.
Saya
rasa, cerita di atas itu adalah sebuah potret kehidupan dunia
perpolitikan kita. Politisi yang taunya hanya mencitrakan diri lewat
dunia maya, tanpa pernah menyentuh bumi, atau menyambangi rakyat kecil,
atau pun hands-on (blusukan) memperkenalkan diri lewat tindak
tanduk nyata, pastilah hanya akan menuai kekecewaan. Dunia politik
Indonesia memang tidak sebatas maya-nyata semata. Namun olehkarena
masyarakat kita sudah bertambah pintar, maka politisi mesti sadar bahwa
betapa celakanya ia, bila hanya hebat di dunia maya.
Pencitraan ala Jokowi
Bagaimana
dengan Jokowi? Menurut saya, Mas Jokowi ini sangat pintar berpolitik.
Karena apa? Karena ia tidak hanya terkenal dan ‘laku dijual’ di dunia
maya. Di dunia nyata pun ia begitu dikenal dan disukai. Dia menjalani
kedua-duanya. Ini yang oleh Alexander Hamilton dibahasakan sebagai, “Those who stand for nothing fall for anything”. Jokowi
berdiri demi apa yang ia yakini benar, dan berjuang demi rakyat di
belakangnya. Mahatma Gandhi membahasakannya seperti ini, “I suppose leadership at one time meant muscles; but today it means getting along with people”. Luar biasa. Bacaan menarik untuk disimak: http://sosbud.kompasiana.com/2013/08/20/jokowi-perlu-dikritisi-dan-dipuji-585531.html
Bukankah
negeri kita perlu orang-orang seperti Jokowi ini. Sebab, negeri yang
kaya tetapi banyak orang miskin ini sudah terlalu ruwet untuk ditangani
orang-orang ‘lama’. Kita butuh ‘orang baru’. Pemikiran baru. Dan dengan
sebuah sepak terjang baru. Diharapkan sangat, bahwa di masa mendatang,
berbagai kelompok orang muda seperti Jokowi kian berani untuk tampil
percaya diri, dan bersaing secara terbuka. Tidak hanya di dunia maya,
tapi juga di dunia nyata. Mencitrakan diri secara tepat dan natural.
Perdebatan
sehat pemimpin-pemimpin muda dari berbagai kutub pemikiran tentunya
akan menentukan mutu negara ini ke depannya. Dan ini perlu. Orang-orang
muda ini pun tetap harus memilih gerbong keretanya secara tepat. Seorang
Jokowi tidak bisa maju seorang diri. Ia harus memilih gerbong, dan PDIP
beruntung memiliki dirinya. Dalam demokrasi berbentuk parlementarian,
maka partai politik adalah alat artikulasi konsep paling memadai dan
menyeluruh.
Ke
depannya, rasa-rasanya perlu sekali bagi kaum muda membangun partai
sendiri untuk memenangkan konsep tentang bentuk-bentuk pembagian sumber
daya dalam masyarakat secara adil sekaligus efisien. Jika tidak,
tudingan pastilah akan datang bermunculan, bahwa mereka sekadar meminta
kekuasaan dari kaum tua yang selalu mereka kritik itu. Atau, ikrar
mereka dianggap sekadar sebuah pembicaraan santai akhir pekan, (mengutip
pemikiran Sonny Mumbunan). Tanpa partai, di atas Bumi ini, maka tak ada
yang bisa ditumpangi kaum muda menuju stasiun sejarah berikutnya. Apa
pun nama stasiun itu.
Jokowi
tidak pernah dan tidak perlu mencitrakan diri secara khusus, ia sudah
terlampau disukai dan dicintai. Ia juga tidak meminta dirinya untuk
dicitrakan, namun media berbondong-bondong dengan senang hati terus
menerus memberitakan tentang dirinya. Tentang tindakannya. Tentang
berbagai kebijakannya. Dan tentang masa depan Indonesia di tangan
Jokowi. Ia memang adalah sebuah magnet, dan magnet itu sudah memberi
efek-efek lanjutan. (Jokowi Effect). Baca juga ini: http://ekonomi.kompasiana.com/marketing/2012/08/03/ayat-ayat-social-marketing-jokowi-ahok-luar-biasa-482254.html.
Demikianlah,
negeri ini sementara menanti Jokowi berjuang dengan caranya,
‘pencitraan’ ala dirinya yang sederhana itu, menuju ke stasiun
berikutnya. Stasiun Indonesia Baru. —Michael Sendow—
No comments:
Post a Comment