Jurang Antara yang Kaya dan yang Miskin Semakin Lebar
Menurut
catatan di Majalah Forbes ada sederetan nama orang terkaya dunia di
tahun 2014 ini asalnya dari Asia. Dari daftar nama tersebut (data orang
terkaya dunia 2014 versi Forbes), maka setidaknya ada 10 orang Indonesia
yang juga ikut masuk dalam 1.000 orang paling kaya sejagat raya ini.
Sebut saja nama-nama miliuner Indonesia yang sudah tidak asing lagi di telinga kita. Ada pengusaha pemilik Grup Djarum,
Budi Hartono yang kekayaannya sudah menembus angka USD 7,6 miliar atau
setara Rp 88 triliun. Ada pula saudaranya Michael Hartono yang memiliki
kekayaan sebesar USD 7,3 miliar. Berikut juga, ada Mochtar Riady dengan
kekayaan menyentuh angka USD 2,5 miliar, kemudian juga Sukanto Tanoto dengan kekayaan USD 2,1 miliar dan nama-nama orang terkaya lainnya.
Masuknya orang Indonesia dalam daftar orang terkaya sejagat rasa-rasanya bukan
sesuatu yang perlu terlalu kita bangga-banggakan. Pertumbuhan ekonomi
yang cukup tinggi turut punya andil dalam membuat harta kekayaan mereka
semakin berlipat ganda. Namun ada hal lain yang terkadang mengerenyitkan
dahi kita, memunculkan berbagai bentuk keprihatinan secara kolektif.
Bahwa ternyata, peningkatan harta kekayaan orang-orang kaya di negeri
ini tidak serta merta dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat miskin di
Indonesia. Justru Nampak jelas gap (atau jurang pemisah) yang
begitu lebar antara si miskin dan si kaya. Yang kaya semakin kaya, yang
miskin makin terpuruk dalam kemiskinan. Sesuatu yang sungguh ironis.
Meskipun
paparan angka-angka dari Badan Pusat Statistik (BPS), serta kegirangan
para penguasa negeri ini mengatakan bahwa mereka sukses menekan angka
kemiskinan, akan tetapi ada banyak pihak yang meragukannya, dan justru
beranggapan sebaliknya. Di sisi yang lain juga, BPS juga tidak bisa
menyembunyikan data ketimpangan antara orang kaya dan orang miskin yang
justru semakin lebar itu.
Dampak
dari sebuah ketimpangan banyak sekali, misalnya kelompok yang miskin
akan merasa iri dan frustasi menghadapi keadaan tersebut. Imbas dari
ketimpangan yang semakin meluas dan melebar juga pada tataran tertentu
dapat mengancam stabilitas nasional. Ini amat berbahaya bila tidak
diatasi dan dicarikan jalan keluar.
Propaganda bahwa orang miskin di negeri ini sudah dientaskan sedemikian rupa tidak akan pernah sanggup menisbikan kemiskinan itu sendiri, bila tidak diikuti tindakan nyata mengentaskan orang miskin dan mempersempit gap antara yang kaya dan yang miskin. Mestinya pemerintah kita menyadari sepenuhnya bahwa indikator keberhasilan pembangunan ditentukan oleh tingkat penurunan ketimpangan.
Mengatasi
ketimpangan antara yang miskin dan yang kaya harus menjadi agenda utama
dan prioritas pertama siapapun yang bakal terpilih menjadi presiden
negeri ini nantinya. Dalam RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah)
lima tahun mendatang, di samping penurunan kemiskinan dan pengangguran,
harus juga mencantumkan penurunan ketimpangan dari sekian persen menjadi
sekian persen. Dan harus diupayakan untuk mencapai target tersebut.
Indikator-indikatornya pun haruslah jelas.
Pengalaman negara lain seperi Brasil dalam menipiskan gap
atau ketimpangan sebetulnya dapat dijadikan contoh nyata. Di bawah
kepemimpinan presiden Luiz Inacio Lula, Brasil sukses mengikis jurang si
kaya dan si miskin. Brasil berhasil menjalankan beberapa program
seperti Zero Hunger, Bolsa Familia dan peningkatan upah minimum, serta
Jaminan kesehatan universal. Dan kesemuanya itu terbukti menurunkan
tingkat ketimpangan di sana.
Menko
Kesra HR. Agung Laksono pada saat menyerahkan bantuan langsung
Masyarakat (BLM) PNPM Kabupaten Boalemo dan PNPM Propinsi Gorontalo di
Boalemo beberapa waktu yang lalu pun mengakui bahwa kemiskinan masih
menjadi tantangan pekerjaan rumah terbesar di tahun 2014 ini.
Menurut
data BPS 2013, angka kemiskinan sampai dengan bulan September 2013
tercatat 28,55 juta orang atau 11,37 persen. Sebelumnya pada bulan Maret
2013 tercatat 28,07 juta orang miskin. Dengan demikian penduduk miskin
di Indonesia sebetulnya bertambah sebanyak 480 ribu orang, pada periode
tersebut. Padahal target kita adalah mengentaskan orang miskin (bukan
mengentaskan kemiskinan itu sendiri.)
Penyebab
kenaikan jumlah penduduk miskin di Indonesia melibatkan banyak faktor.
Di antaranya adalah akibat adanya inflasi yang tinggi, melebihi 5.0
persen. Ini juga tentu ada keterkaitannya dengan kenaikan harga BBM di
pertengahan tahun 2013, kenaikan harga beras, dan bahan-bahan pokok
lainnya, juga oleh karena berbagai bencana yang datang silih berganti.
Tentu juga karena begitu besarnya tingkat korupsi di negeri ini. Yang
kaya semakin kaya, yang miskin gigit jari karena semakin miskin.
Jangan-jangan kemiskinan di negeri ini abadi adanya.
Semoga
kita tidak terjebak pada pertumbuhan yang memiskinkan. Seolah-olah kita
bertumbuh. Seolah-olah kita berkembang. Namun, kenyataannya jumlah
orang miskin semakin banyak. Dan kemiskinan masih terus merajai
Indonesia, dari sabang sampai Merauke. Dari perkotaan sampai pedesaan.
Dari ujung Barat ke ujung Timur. Dari Utara ke Selatan. Sebab hampir
pasti, di setiap sudut negeri ini, dengan mudahnya kita masih akan temui
mereka yang masih selalu ‘tidur beralaskan koran bekas, dan makan
makanan sisa hanya beralaskan daun’. Mereka yang hanya sanggup
menengadahkan tangan berharap belas kasihan orang. —Michael Sendow—
No comments:
Post a Comment