Si Kulit Hitam Alias "Black People"
Setelah begitu lama bercokol dan bergaul dengan masyarakat Amerika di Jersey
dan New York, saya melihat bahwa di Amerika yang modern dan begitu maju
ternyata masih saja ada dan terlihat jelas pun yang tersamar tindakan
diskriminatif terhadap orang kulit hitam dan kulit berwarna. Walaupun sudah
sering dikampanyekan tentang anti rasisme dan diskriminasi tapi tetap saja tak
bisa dipungkiri hal itu masih banyak terjadi. Warga kulit hitam dan kulit
berwarna sepertinya masih ditempatkan sebagai warga negara kelas dua dan kelas
tiga. Pernah untuk antri makan di sebuah rumah makan, beberapa teman saya
dilayani belakangan padahal sudah antri duluan, hanya diolehkarenakan mereka
memiliki kulit berwarna sawo matang. Ada juga kawan saya yang lain, asal Kenya
(warga kulit hitam) mendapat perlakuan dan penghinaan yang tak pantas oleh
beberapa orang kulit putih yang menganggap diri mereka lebih superior.
Lantas kita mungkin bertanya-tanya, apakah dengan demikian maka warga kulit
putih adalah lebih unggul, lebih hebat, dan lebih mulia? Tentu tidak. Sebab di
mata Allah sang pencipta, kita ini semuanya sama dan setara. Nasib dan warna
kulit kita boleh berbeda tapi Ia tidak memperhitungkan itu sebagai syarat kita
menjadi lebih mulia di hadapanNya. Jangan pernah berpikir bahwa Allah akan tertarik
hanya dengan melihat warna kulit kita. Sama sekali tidak. Di mataNya, yang
kulit putih, kulit hitam, maupun kulit berwarna tetaplah sama. Yang satu tidak
lebih mulia dari yang lain. Yang satu tidak lebih rendah dari yang lain.
Ada sebuah kisah unik yang terjadi pada tanggal 20 Oktober 1968. Waktu itu jam
sudah menunjukkan pukul 7.00 malam, nampak beberapa ribu penonton masih
memadati Mexico City Olympic Stadium.
Pada saat itu juga suasananya sudah mulai gelap dan dingin. Para pelari
marathon yang tak kuat lagi dan sudah kehabisan tenaga dibawa lari ke pos-pos
pertolongan pertama. Mereka dirawat dan diobati. Nah, lebih dari satu jam
sebelumnya, seorang bernama Marco Wolde dari Etiopia melintasi garis finish,
menjadi pemenang dari lomba lari sejauh 26 mil 385 yard tersebut. Ia menjadi
juara satu, meraih medali emas untuk negaranya. Tapi bukan sosok dia yang akan
saya soroti kali ini. Tapi seseorang yang menjadi juara paling belakang alias
juara satu dari belakang.
Pada saat itu ketika para penonton yang masih ada sudah bersiap-siap untuk
meninggalkan stadium, mereka yang duduk di dekat gerbang marathon tiba-tiba
mendengar suara sirine dan peluit polisi. Semua mata tertuju ke arah gerbang.
Lalu sesosok tubuh yang mengenakan nomor 36 dan warna kebangsaan Tanzania
memasuki stadium itu. Nama atlet itu John Stephen Akhwari. Ia adalah orang
terakhir yang menyelesaikan lari marathon tersebut. Perjuangannya mencapai
garis finish tidaklah mudah. Ia terjatuh selama pertandingan dan mengalami luka
di lutut dan pergelangan kakinya. Kemudian dengan kakinya yang berdarah dan
berbalut perban, ia meringis perih dengan setiap langkah pincang di jalur lari
400 meter yang tersisa, tentu dalam usahanya untuk mencapai garis akhir.
Para penonton yang belum pulang pun berdiri dan memberi tepuk tangan.
Berusaha memberinya semangat. Ia pun berhasil mencapai finish. Setelah itu
Akhwari perlahan-lahan meninggalkan lapangan. Belakangan seorang reporter
mengajukan pertanyaan yang mungkin ada di dalam benak setiap orang kepada Akhwari:
“Mengapa Anda terus berlomba setelah Anda terluka cukup parah?” Bahkan saat ia
terus berusaha keras mencapai garis finish padahal jelas-jelas ia adalah pelari
terakhir yang tiba di garis finish. Tidak mungkin lagi meraih gelar apa pun. Untuk pertanyaan itu Akhwari menjawab,
“Negara saya mengirim saya sejauh 7.000 mil tidak untuk memulai lomba. Mereka
mengirim saya sejauh 7.000 mil untuk menyelesaikannya.” Sebuah jawaban yang
sungguh-sungguh menggetarkan.
Lihat benar, Akhwari adalah orang kulit hitam yang kokoh dan sanggup
berjuang dengan gigih. Ia mungkin saja dianggap sebagai pemuda kulit hitam yang
tidak ada apa-apanya. Apalagi superioritas kulit putih masih begitu mencolok
dan terlalu kentara pada masa-masa itu. Pemuda kulit hitam ini memang tidak menjadi
juara pada lomba marathon itu, tapi mental yang dimilikinya adalah mental
juara. Ia mungkin berbeda dengan mereka yang masuk garis finish duluan, tapi ia
memiliki semangat yang tak mudah patah, dan ia menjunjung tinggi misi negaranya
yang sudah mengirim dia untuk berlomba. Ia tidak menyerah walaupun secara jelas
ia adalah pelari terakhir pada lingkaran itu.
Ia mungkin adalah pemuda kulit hitam dari suku bangsa yang tak terkenal. Ia
bukanlah seorang kulit putih dari Amerika atau Inggris, tapi ia memiliki
sesuatu yang pantas dan patut dibanggakan. Akhwari memiliki kegigihan dan
mental juara. Ia tidak menjadi juara pada perlombaan marathon tersebut, tapi
mental pemenang ada dalam dirinya. Ia sudah menjadi pemenang terhadap kekalahan
terpahit yaitu ‘menyerah di tengah jalan’.
Bukankah memang benar bahwa tiap orang memiliki karakter dan sifat yang
berbeda. Tapi setiap orang
juga memiliki kekurangan dan kelebihannya masing-masing. Tuhan Sang Pencipta
tentu merancang keunikan dan berbedanya manusia itu dengan tujuan sangat mulia.
Supaya manusia belajar menghargai setiap segala sesuatu yang berbeda dari
dirinya. Belajar memahami yang berbeda dan belajar mengasihi yang berbeda. Apa
hebatnya kalau manusia hanya mampu dan sanggup mengasihi yang ia suka, yang mirip
dengan dirinya, tapi menolak semua yang berbeda di matanya? Kalau kita sanggup
mengasihi mereka yang berbeda dengan kita, barulah kita akan memahami benar
ajaran untuk “mengasihi musuh” dan “tidak membenci orang yang membenci kamu.”
Ada nilai lebih yang dapat dan harus kita ambil dari sang pemuda kulit hitam
tadi. Entah benar atau tidak, saya pernah membaca bahwa rata-rata orang kulit
hitam memiliki semangat juang dan kegigihan jauh melebihi bangsa kulit putih.
Saya juga ingin mengajak pembaca melihat sebuah kesaksian untuk sekedar
melihat sebuah sejarah kelam yang pernah dialami seorang pemuda kulit hitam
lainnya. Ia adalah seorang petinju besar. Terlahir dengan nama Cassius Clay,
petinju asal Amerika yang akhirnya mengubah namanya menjadi Muhammad Ali
setelah menganut agama Islam. Clay hanya sekali tampil di ajang Olimpiade,
yaitu pada Olimpiade tahun 1960 di Roma, Italy. Namun, ketangguhannya sebagai
petinju yang mampu meraih medali emas olimpiade disertai perilakunya di luar
ring membuatnya menjadi atlet yang tidak mungkin dapat dilupakan dunia
olahraga.
Ketika tampil di ajang besar seperti olimpiade, Clay masih merupakan
petinju amatir yang baru berusia 18 tahun. Mengandalkan pukulan kerasnya yang
begitu menyengat lawan dan jab yang bertubi-tubi, Clay mampu lolos ke babak
final di kelas berat ringan. Pada babak semifinal dia juga sudah sempat
menghentikan perlawanan petinju besar Australia Tonny Madigan. Sukses yang
dibuat petinju muda asal Louisville itu membuatnya melangkah pasti menuju babak
final. Ternyata, Clay masih harus berhadapan dengan seorang petinju hebat asal
Eropa. Ia adalah juara tiga kali tinju amatir Eropa, bernama Zbigniew
Pietrzykowski asal Polandia. Tapi dengan kegigihannya, ia Kemenangan di arena
olimpiade tentu saja melambungkan nama Clay sebagai pahlawan Amerika dari arena
ring tinju.
Menurut kabar yang beredar bahwa sekembalinya Clay dari Roma, ia langsung
dirayu oleh sekelompok pengusaha yang mengajaknya untuk segera beralih ke dunia
tinju professional. Pada masa itu tentu Clay sangat bangga dengan medali
olimpiadenya. Ke mana
pun dia berada, Clay selalu membawa medalinya itu. Bahkan di saat hendak tidur,
medali itu didekapnya erat-erat. Tetapi semuanya itu berubah, totally
change dalam waktu yang sangat singkat. Kenapa? Karena meski sudah
mengharumkan nama Amerika di arena olahraga internasional, Clay rupa-rupanya
masih terkena aturan diskriminasi ras kulit hitam yang masih diterapkan pada
masa itu. Clay ditolak ketika hendak makan di sebuah restoran yang bertuliskan
“hanya untuk kulit putih” di sebuah papan gantung di depan restoran itu. Dia dan sahabatnya bernama Ronnie
King bahkan sempat dikejar-kejar sekelompok pemuda bermotor. Clay pun berkata
dengan penuh kesedihan, “Saya meraih
medali emas olimpiade untuk Amerika, dan sekembalinya saya ke sana, saya masih
diberlakukan sebagai seorang nigger
(budak).”
Dapat Anda bayangkan bagaimana sakit hatinya
seorang yang sudah berjasa, namun hanya karena warna kulit yang berbeda ia
mesti mendapat perlakuan tidak adil. Sebagian besar masyarakat kulit putih
waktu itu menilai sesuatu dengan memakai satu ukuran tunggal. Memakai ukuran
mereka sendiri. Mereka beranggapan bahwa ras merekalah yang paling hebat,
superior, dan dengan demikian memandang remeh dan enteng warga negara yang
memiliki kulit berwarna lain. Padahal dalam hidup sosial bermasyarakat dan
bernegara berlaku The Golden Rule: Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya
orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka.”
Sebagai suatu protes kerasnya atas perlakuan
yang ia terima dan yang ia rasakan sebagai sebagai sesuatu yang tidak adil itu, Clay kemudian melemparkan medali emas olimpiade yang sudah susah payah
diraihnya dan yang sangat ia banggakan itu ke sungai Ohio dari atas sebuahjembatan.
Clay kemudian mengganti namanya menjadi Ali. Dalam pengakuannya,
pergantian nama itu dilakukan untuk melepaskan nama budak yang pernah
dipakainya.
Kariernya menjadi sangat cemerlang ketika
pindah ke jenjang professional. Tercatat sebanyak tiga kali, petinju yang
memiliki julukan “Si Mulut Besar” itu berhasil menjadi juara dunia. Pertama dari tahun 1964 hingga 1967,
kemudian dari tahun 1974 hingga 1978, dan tahun 1978 hingga 1979. Bertanding
pro sebanyak 61 kali, Ali meraih kemenangan sebanyak 57 kali. Ia dikenal
sebagai petinju yang mampu menghibur sekaligus memainkan emosi penonton.
Makanya jangan heran kalau ia dipuja jutaan orang di seluruh dunia.
Ketika olimpiade tahun 2004 dilangsungkan di Athena, Ali bahkan dinobatkan
sebagai salah satu duta Olimpiade Athena. Puluhan tahun sudah berlalu, tapi
pada saat oliampiade di Athena itu poster-poster dan lukisan bergambar Ali
masih bisa terlihat dan terus terpampang di pusat-pusat kota, dan di banyak
tempat lainnya. Ia memang adalah atlit berkulit hitam, tapi ia adalah atlet
yang tak terlupakan. Ia dikenal dan selalu dikenang.
Kalau kita masih memandang rendah orang yang memiliki warna kulit berbeda
dengan kita, itu tandanya kita masih mau diperbudak oleh ’paradigma lama’
tentang kualitas dan kelas suatu ras ditentukan oleh warna kulit. Dan betapa
kerdilnya kita kalau kita membiarkan diri kita masih terus diperbudak oleh
pikiran sempit dan dangkal tersebut.
Apapun warna kulit kita, semestinya kita mendapat hak dan perlakuan yang
sama. Sebab, Tuhan sang pencipta tidak akan memanggil kita berdasarkan warna
kulit kita. Alangkah sombong dan takaburnya kita, apabila karena warna kulit
kita berbeda dari yang lain, lantas kita menganggap bahwa kita lebih hebat dan
unggul dari yang lain.
***
”Kalau Anda ingin dipandang orang lain sesuai apa yang
Anda inginkan, lakukan yang sama terhadap orang lain seberapa pun tidak samanya
ia dengan diri Anda”----Michael Sendow.
No comments:
Post a Comment