Jadilah
Orang Baik Walaupun Berbeda
Menjadi orang yang baik adalah impian semua umat
manusia di dunia ini. Entahkah ia miskin atau kaya, raja atau rakyat jelata,
semuanya tentu ingin menjadi orang baik yang baik-baik saja hidupnya. Tapi apa sih kriteria menjadi orang baik itu?
Apakah karena dianya dekat dengan Sang Pencipta? Atau karena sikapnya yang
santun? Karena ia orang yang bijaksana, dan selalu berpikir bahwa dunia ini
hanyalah tempat persinggahan sementara? Ataukah orang baik itu adalah mereka
yang tekun dan rajin beribadah? Mungkin saja semuanya itu betul, tapi bagi saya
semuanya itu masih kurang kalau belum ditambah dengan sikap menghargai dan mau
menerima perbedaan.
Bagi umat muslim, prinsip-prinsip yang sudah dijunjung
oleh Nabi Muhammad seperti aturan paten yang memang tidak bisa di rubah. Bahwa
pada dasarnya manusia hidup di dunia ini hanyalah untuk berbuat baik. Lihatlah
dan dengarlah ceramah-ceramah agama yang selalu dan selalu saja “menyuruh”
orang untuk selalu dekat dengan Tuhan. Memikirkan akhirat adalah hal yang utama
dan selalu diajar-ajarkan. Terus terang saja walau saya bukan muslim tapi saya
kagum dengan sosok-sosok seperti Aa. Gym, Alm. Zainuddin MZ, Gus Dur, Cak Nur,
dan masih banyak lagi tokoh-tokoh yang mengajarkan banyak kebaikan tanpa pernah
menyepelekan tentang betapa pentingnya menghargai perbedaan.
Bagi umat kristiani tentu saja keteladanan Yesus
Kristus harus terus dipelajari, dan bukan hanya itu saja, tapi juga supaya
diusahakan sebisanya untuk mengejahwantahkan dalam perbuatan setiap hari. Segala
kebaikan yang Ia ajarkan. Segala teladan yang Ia sudah tunjukkan. Termasuk
bagaimana mengasihi sesama manusia, dan bukan hanya sesama manusia yang seagama
saja. Mengasihi sesama manusia, titik! Bukan sesama orang Kristen saja.
Saya begitu yakin bahwa semua orang pada dasarnya
baik dan bijaksana. Bukankah mereka rela banting tulang dan bekerja keras bukan
untuk dirinya sendiri, melainkan juga untuk hidup dan kehidupan orang lain. Ketika
mereka mau tersenyum dan menyapa orang lain juga adalah contoh klise bahwa manusia
sebenarnya dapat menjadi baik dan semakin baik lagi kalau mereka sendiri mau
untuk itu. Bahkan ada penelitian yang mengatakan sejahat apapun manusia itu
tetaplah masih ada butir-butir kebaikan dalam dirinya. Bahwa manusia yang jahat
sekalipun, tetaplah pantas dan layak mendapatkan cinta dan kasih.
Di India ada sebuah
penjara yang paling angker. Anda mungkin sudah pernah mendengar penjara bernama
Tihar di pusat New Delhi India. Di situ sudah terkenal sebagai penjara paling
mengerikan, kotor, rusak dan penuh kejahatan terselubung. Makanan yang dimasak
di dapur penjara itu untuk makanan para narapidana adalah sayur mayur saja,
tapi menurut kesaksian beberapa narapidana justru terlihat seperti non vegetarian food karena sayurannya
sudah dipenuhi banyak serangga.
Nah, di dapur itu
yang menjadi juru masaknya adalah seorang narapidana yang bisa masak, tapi ia
tidak dibayar. Ironisnya, narapidana yang tidak dibayar untuk masak memasak itu
adalah juga orang yang menyebarkan dan menularkan kuman, cacing, dan bakteri
karena kukunya tidak pernah dipotong, tangan dan baju tidak pernah dicuci,
serta rambut yang kusut dan kumal. Pokoknya serba kotor dan menjijikkan. Tukang
masak di penjara itu tidak pernah diperiksa kesehatannya, padahal ada yang
akhirnya ketahuan menderita penyakit TBC dan infeksi saluran penapasan, serta
penyakit-penyakit menular lainnya. Jadi inilah gambaran betapa jorok dan
kotornya penjara tersebut.
Penjara Tihar
juga sangat terkenal dengan berbagai tragedi yang menyayat hati. Di situ juga
sering terjadi peperangan antar geng, tempatnya para narapidana yang
menjalankan praktek pemerasan dari balik jeruji, sarana korupsi yang sudah luar
biasa merajalela oleh para aparat, serta kekerasan dan penganiayaan. Tempat
yang sangat layak disebut neraka. Lalu apakah ribuan orang dibalik jeruji besi
itu lantas bukan siapa-siapa lagi, dan pantas dihabisi saja? Atau dikucilkan,
dibiarkan, dan dibuang saja?
Bagi Dr. Kiran
Bedi jawabannya adalah ”tidak!” Mereka tetap pantas dikasihani dan dikasihi. Kiran
Bedi adalah seorang Inspektur Jendral yang ditugasi untuk memimpin penjara
paling angker Tihar tersebut. Sewaktu baru ditunjuk, sebagai orang baru ia
berkeyakinan sangat teguh bahwa ia akan bisa menjadikan penjara itu menjadi
Nirvana atau sorga bagi banyak orang. Anda mau tahu apakah ia berhasil atau
tidak? Setelah bertahun-tahun memimpin penjara Tihar, wanita itu akhirnya
berhasil mengubah penjara itu menjadi ’sorga’ bagi setiap penghuni di dalamnya.
Ia melakukan semuanya itu dengan segala cinta dan kasih yang ia miliki. Cinta
dan kasih yang tulus seperti yang dipunyai seorang Mother Theresa. Mereka
memperjuangkan amanat cinta kasih itu tanpa pernah membeda-bedakan. Bagi mereka
itulah arti menjadi orang baik.
Dr. Kiran Bedi
dianugerahi penghargaan Tom Gitchoff Award pada tahun 2001 di Amerika Serikat,
karena dianggap telah berhasil mengubah secara signifikan kualitas keadilan di
India. Keberhasilannya membuat Tihar menjadi Nirvana juga menjadi sorotan
banyak media masa kala itu. Bahkan ada sebuah kesaksian dari bekas narapidana
di penjara itu yang menulis seperti ini:
”Aku menyangka
Nirvana itu hanya ada ketika nyawaku telah tiada, namun ternyata aku salah.
Nirvana tidak hanya berada di alam sana. Ialah Tihar, sebuah Nirvana di balik
jeruji besi.”
Manusia
dengan latar belakang yang berbeda baik dari segi suku, ras, agama, dan warna
kulit adalah sebuah keniscayaan yang tak terelakkan. Semua hal berbeda itu
sudah ada sebelumnya dan seorang anak manusia harus belajar untuk menerima
semuanya itu dengan hati yang terbuka. Karena dihadapkan pada aneka kenyataan
perbedaan yang terberi ini, manusia belajar untuk menyesuaikan diri agar bisa
berelasi dengan sebaik mungkin dan secara harmonis dengan yang lain (yang
berbeda dengan dirinya). Dengan demikian, realitas perbedaan tidak bisa dihapus
sama sekali dari muka bumi ini demi sebuah harmoni palsu yang ingin dibangun.
Sebab harmoni sejati dibangun bukan di atas kesamaan, tetapi di atas perbedaan.
Kalau itu bisa terpahami dengan benar, maka menjadi orang yang baik bukan lagi
sekedar slogan atau fatamorgana semata. Menjadi orang baik seperti apa yang
dicontohkan Dr. Kiran Bedi boleh pula kita alami, lalui, bahkan lakukan dalam
hidup kita yang singkat ini.
Saya
pernah mendengar sebuah pandangan yang mengatakan bahwa katanya kenapa sih kita tidak membuat sebuah
pembaharuan dengan cara homogenisasi terhadap perbedaan itu agar bisa
mengurangi ketegangan dan konflik? Seperti apa misalnya? Ya, katanya lebih baik
semua manusia tidak beragama saja, agar bisa hidup damai, rukun, dan tentram
dengan tetangganya. Lebih baik menjadi atheist.
Bagi saya sikap, dan cara pandang seperti itu adalah kekanak-kanakkan, dan terlalu
pragmatis dalam menyikapi perbedaan. Atau ada juga yang menganjurkan, supaya
damai di bumi akan tercipta, maka lebih baik semua orang memeluk satu agama
yang sama. Itu adalah cara dan sikap yang tidak benar. Untuk kita menjadi
seorang yang baik, haruskah karena memiliki persamaan?
Bukankah
daripada berusaha mati-matian untuk menciptakan homogenisasi terhadap sebuah
kenyataan yang sudah pasti sangat heterogen, yang sebenarnya sudah Tuhan
ciptakan dengan amat sangat indah, adalah lebih realistis dan acceptable jika manusia belajar untuk
menghadapi kenyataan hidup yang serba berbeda dan jamak ini sebagai
sebuah kekayaan.
Kita harusnya memandang perbedaan itubukan sebagai “momok yang
menakutkan”, karena kalau itu yang terjadi maka jelas akan menghambat ruang
gerak dalam berelasi satu sama lain. Sebagai pemeluk agama, ras yang berlainan,
datang dari budaya yang tak sama, status sosial yang bertolak belakang, yang
memang sampai kapan pun tidak akan menjadi satu dan sama, marilah kita belajar
untuk memandang yang lain sebagai “sesama saudara ciptaan Tuhan”. Sesuatu yang
indah dan baik yang sudah Tuhan berikan. Ingatlah bahwa ketika Tuhan
menciptakan manusia pertama itu, Adam dan Hawa, IA melihat bahwa ciptaanNya itu
sungguh teramat baik. Kita ini adalah mahluk mulia, seberapa pun perbedaan
kita, tetaplah saudara di dalam DIA.
Yang lain itupun (baca: yang berbeda), akan
kita anggap sebagak kawan dan bukan lawan yang harus ditaklukan dan dikalahkan.
Hidup ini bukan soal kalah-menang, bukan soal menakhlukan yang berbeda dengan
saya agar menjadi sama dengan saya, masuk dalam kelompok saya, menganut agama
saya, mengikuti budaya saya, dan sebagainya. Menjadi orang baik itu bukan
ketika kita berhasil membuat banyak orang mengubah diri mereka untuk menjadi
sama seperti kita.
Kita
sebenarnya bisa menciptakan atau menghadirkan surga di bumi ini. Sebagaimana
Dr. Kiran menghadirkan surga di penjara Tihar, kita pun dapat menghadirkan
surga di mana pun kita berada. Tapi bagaimana mungkin bisa menjadi tempat yang
nyaman dihuni jika di mana-mana terjadi gontok-gontokkan, perang, pembunuhan,
penghancuran, karena tidak bijak menyikapi perbedaan? Bagaimana bumi bisa
menjadi tempat yang layak dihuni, jika bumi terus dirusak dengan cara-cara
sadis hanya karena masalah perbedaan?
Andai saja semakin banyak orang menyadari dan
menghargai bahwa perbedaan itu kekayaan yang bisa membentuk sebuah simfoni
kehidupan yang indah, maka semua makluk tidak perlu menantikan menikmati surga
sesudah kematian tetapi bisa mulai mengecapi nikmatnya surga itu saat ini
dan di sini, di bumi ini. Kenikmatan surga yang sesungguhnya bisa dinikmati
Anda dan saya, selama hayat masih dikandung badan. Selama kita masih hidup.
Tapi menghadirkan surga di bumi ini akan menjadi sulit terwujud karena manusia
terlalu picik dalam menyikapi semua perbedaan. Manusia belum mampu menjadi
orang baik bila berhadapan dengan orang lain yang berbeda dengan dirinya.
***
“ Hargailah perbedaan, maka engkau akan
dihargai oleh DIA yang sudah menciptakan kita secara berbeda “ --- Michael
Sendow
No comments:
Post a Comment