“I
am free, no matter what rules surround me. If I find them tolerable, I
tolerate them; if I find them too obnoxious, I break them. I am free
because I know that I alone am morally responsible for everything I do.”
― Robert A. Heinlein
Setiap
kita mesti bertanggungjawab atas apa yang telah kita buat. Hanya kita,
yang harus mempertanggungjawabkan kepada Tuhan apa yang sudah kita buat,
yang kita sementara buat, dan akan buat nantinya. We are morally responsible for everything we do. Semua kegilaan kita yang menyeruak muncul akibat frustasi dan depresi, adalah juga tanggungjawab kita, bukan orang lain.
Pemilu legislatif
sudah usai, dan sampai sekarang, sedikit demi sedikit mulai bermunculan
ke permukaan berbagai caleg gagal yang jadi caleg gila, atau yang akan
segera jadi caleg gila. Pastinya, belum ada data resmi berapa banyak
caleg gagal yang mesti diinapkan di RSJ, namun jumlahnya semakin
meningkat.
Fakta sudah berbicara
lebih dari cukup. Dari berbagai pemberitaan di media seluruh Indonesia,
nampak jelas bahwa caleg gagal yang bermetamorfosis menjadi gila,
ataupun yang sekedar berpotensi menjadi gila sudah semakin banyak. Tidak
sedikit juga yang mengunjungi paranormal untuk minta petunjuk. Ini yang
saya bilang sebagai political disorder. Sakit luar biasa akut yang menjadikan mereka sebetulnya tidak layak menjadi wakil Anda dan saya. Menjadi wakil kita.
Sebelum pileg dimulai,
mereka acap kali mengunjungi dukun biasa serta dukun politik demi
mencapai tujuan utamanya, sekali lagi bukan sebagai wakil rakyat, tapi
dengan tujuan memenangi pileg DEMI DIRI SENDIRI. Saya lihat di TV, ada
dukun yang pasang harga dari jutaan, miliar, bahkan 1 triliunan untuk
level Presiden. Ia jamin, kalau pakai jasanya, pasti jadi sesuai yang
dinginkan. Masalahnya, kalau ada 5 calon Presiden bayar 1 triliuan,
apakah kemudian Indonesia akan mendapatkan 5 Presiden sekaligus? Luar
biasa. Ya, luar biasa menggelikan. Apakah ada jaminan caleg-caleg model
begini memang dapat berfungsi sebagai wakil kita? I don’t think so.
Nah, para caleg-caleg
inilah yang ketika gagal, maka berpotensi besar menjadi gila.
Implikasinya sangat kentara dan sudah tercium baunya. Apa itu? Bila
gagal, maka apapun yang sudah dikeluarkan akan diupayakan untuk diambil
kembali, bila perlu dengan memakai segala macam cara. Makanya saya amat
sangat yakin, untuk memuluskan jalan mencapai kemenangan, mereka-mereka
itu juga niscaya akan dengan senang hati menghalalkan segala cara. Tidak
ada ketulusan di sana. Dan, tidak ada kemurnian untuk menjadi wakil
kita. Maka kita semestinya patut berbela sungkawa sedalam-dalamnya, bila
mendapatkan wakil-wakil seperti mereka itu. Kita harusnya malu. Kita
mestinya kecewa.
Criss Jami (Diotima, Battery, Electric Personality) bilang, “Man
is not, by nature, deserving of all that he wants. When we think that
we are automatically entitled to something, that is when we start
walking all over others to get it.” Jelas sekali, ketika
Anda mencalonkan diri untuk menjadi wakil rakyat, apapun konsekuensinya,
bila tujuanmu tulus, maka hasil apapun di lapangan harus siap diterima
dengan lapang dada. Tidak ada yang dapat Anda klaim dan dengan demikian
menjadi 100% hak Anda. Apapun yang dicoblos oleh jari-jari yang
mencoblos, itulah hasil yang harus Anda terima. Apapun itu.
Setiap kali pemilu,
peristiwa caleg gila akibat gagal menjadi anggota dewan memang sudah
menjadi fenomena lumrah. Katakanlah sebagai fenomena lima tahunan. Pada
Pileg 2009 lalu umpamanya, setidaknya Kementerian Kesehatan mencatat ada
sekitar 7.736 caleg gila di seluruh Indonesia. Perinciannya seperti
ini: Caleg gila untuk DPR
RI sebanyak 49 orang, DPRD provinsi sekitar 496 orang, untuk DPD 4
orang dan DPRD kabupaten dan kota berkisar 6.827 orang. Sebuah angka
statistik yang fantastis tentunya. Indonesia rasa-rasanya perlu satu
lembaga khusus untuk menangani fenomena caleg gila ini. Namakan saja
lembaga itu sebagai: Lembaga Penanganan Caleg Gila disingkat LPCG.
Ada caleg yang merebut
paksa kotak suara ketika petugas baru saja merampungkan penghitungan
suara. Ada juga caleg yang jadi gila lantaran mendapat suara sangat
sedikit, ujung-ujungnya ia menarik kembali bantuannya untuk mushola di
sebuah kecamatan di Jawa Timur. Sebanyak 2.000 batu bata, 10 sak semen
dan satu truk pasir diminta kembali. Bayangkan saja, sumbangan untuk
tempat ibadah ditarik kembali? Betapa nistanya orang-orang seperti ini,
apalagi berkoar-koar seakan-akan mau menjadi wakil rakyat. Wakil apaan
coba?
Ada caleg yang
marah-marah dan berdemo karena tidak terpilih. Ada yang memblokir jalan.
Ada yang teriak-teriak persis orang gila. Misalnya juga kisah tragis
caleg gagal lainnya yang ada di Maluku. Ia bersama sejumlah pendukungnya
melakukan aksi demonstrasi ke beberapa desa di Kecamatan Waeapo,
Kabupaten Buru, Maluku, setelah mengetahui bahwa ia tidak mendapat
dukungan suara dari masyarakat setempat. Aneh, dukungan kok mau
dipaksakan? Harusnya dia mengoreksi diri kenapa sampai tidak terpilih.
Harusnya semakin hari kita semakin dewasa dalam berpikir. Sikap-sikap seperti yang ditunjukkan oleh sebagian caleg gagal yang menjadi gila itu adalah muara kekerdilan cara pikir. Bagaimana bisa Anda akan menjadi wakil rakyat kalau sikap-sikap seperti itu yang dipertontonkan? Tak mustahil, masyarakat yang tidak memilih Anda akan mengurut dada, menengadahkan tangan, sembari berucap, “Syukurlah bukan dia yang saya pilih!” —Michael Sendow—
“For time and the world do not stand still. Change is the law of life. And those who look only to the past or the present are certain to miss the future”—John F. Kennedy
No comments:
Post a Comment