Kejahatan Korupsi di Indonesia
“A
man who has never gone to school may steal a freight car; but if he has
a university education, he may steal the whole railroad.” ― Theodore Roosevelt
Menjadi
orang yang baik itu tidak gampang. Menjadi orang yang jujur lebih tidak
gampang lagi. Kita bisa saja mengucapkan berjuta kali di hadapan semua
orang bahwa kita ini adalah seseorang yang baik dan jujur. Boleh saja
beribu-ribu janji terlontar dari mulut kita, namun perbuatan kitalah
yang kemudian akan menunjukkan siapa sesungguhnya kita ini. Seperti apa
sebetulnya kita ini. Bukan karena kita berteriak lantang “saya bukan
koruptor” maka saya lantas tidak akan korupsi bukan? Bukan juga ketika
kita berjanji tidak akan korupsi lantas kemudian kita serta merta bebas
dari korupsi. Kebaikan dan kejujuran seseorang mesti diuji terlebih
dahulu. Anda ingin tahu seberapa kuat Anda dapat menolak untuk korupsi
dan terbebas darinya? Maka cobalah masuk dalam sistem yang korup.
Bergaulah dengan orang-orang yang korup. Bersahabatlah dengan atasan dan
bawahan yang korup. Di sanalah ujian itu baru muncul. Sebab, mungkin
saja kita tidak korupsi ya oleh karena memang kita hidup di
tengah-tengah lingkungan yang tidak memungkinkan kita untuk korupsi dan
memakan uang bukan milik sendiri dengan begitu rakusnya. Sederhananya,
kita tidak korupsi karena tidak ada (belum ada) kesempatan untuk itu.
Bukankah sudah banyak
contoh mereka yang tadinya berteriak-teriak dengan lantang menolak
pejabat korup. Mereka dengan ganasnya menghina serta menistakan para
koruptor dan tindakan korupsi yang sementara terjadi. Akan tetapi ketika
mereka masuk ke dalam sistem. Tatkala mereka terpilih sebagai pejabat
publik, eh justru mereka menjelma menjadi jauh lebih busuk dan lebih
bobrok dari orang-orang yang mereka demo dan teriaki itu. Sangat
kontras. Terlebih, kelak di kemudian hari, ini pastilah menjadi sebuah
preseden buruk yang amat sangat memalukan bagi aktivis anti korupsi
lainnya, bila ia kemudian menjadi jauh lebih “busuk” dari para koruptor
yang sering dihujatnya. Amat memalukan. Dan amat memiriskan.
Terlepas dari semua
kebimbangan dan keputusasaan kita terhadap kemurnian para aktivis anti
koruptor tersebut, bangsa kita ternyata masih juga terus melahirkan
pemimpin-pemimpin yang dapat dipercaya. Orang-orang yang anti korupsi
seperti Ahok dan Jokowi, Mahfud MD, serta Abraham Samad membuktikan
bahwa sistem dan lingkungan yang korup tidak sanggup menarik mereka
masuk ke pusaran itu. Mereka masih punya hati nurani dan dapat berkata
tidak, walau sebetulnya kesempatan itu sangatlah terbuka.
Jokowi dan Ahok
umpamanya. Sebagai orang nomor satu dan dua di Jakarta ini, peluang
untuk korupsi tentu begitu besar. Namun mereka masih setia kepada janji
mereka. Mereka juga tetap menunjukkan ketegaran mereka sebagai pemimpin
yang anti korupsi. Mereka masih menggunakan akal sehat dan hati yang
bersih, bukan sebaliknya menggunakan dengkul dan (maaf) pantat yang
mudah tergiur oleh godaan korupsi. Otak mereka masihlah sehat, bahwa
uang negara, uang rakyat, tentu semuanya itu adalah demi kepentingan dan
kesejahteraan rakyat semata, dan bukan untuk kenikmatan diri sendiri
dan keluarga. Sama sekali tidak. Pemimpin yang jujur dan bersih harus
sanggup menolak godaan korupsi.
Pemimpin-pemimpin
seperti inilah yang mesti kita ancungi jempol dan dukung. Bangsa ini
semakin terpuruk, jujur saja oleh karena salah satu alasan utamanya
adalah masih begitu banyaknya pencuri dan maling yang duduk berkuasa dan
menjadi pejabat publik. Berapa puluh atau bahkan ratus triliunan yang
sudah dicuri mereka? Itu bukan jumlah yang sedikit. Lantas apakah kita
akan tinggal diam melihat negara kita digerogoti dan dihabisi oleh
orang-orang yang seharusnya melindungi dan menyejahterakan kita?
Budaya Korupsi di Indonesia
Coba kita cermati.
Lembaga dan institusi mana di negeri ini yang tidak disantroni maling?
Hampir tidak ada satupun lembaga atau institusi yang kita punyai yang
bebas korupsi. Maling-maling bertitel keren sebagai koruptor itu hadir
dan muncul dimana-mana. Mereka itu sudah mewabah, dan sakit yang
mereka ciptakan sudah teramat akut. Kekronisan dari penyakit yang
ditimbulkan oleh korupsi ini tidak bisa lagi dipandang sebelah mata. Hadir
menggerogoti setiap sendi-sendi negeri ini. Melumat hampir semua ruang
yang dilaluinya. Laksana ruang gelap yang tak kita jumpai lagi berkas
cahaya terang. Ibarat tidak lagi ada ruang pengharapan di sana.
Pengharapan bahwa negeri kita akan bebas dari korupsi.
Ada sebuah organisasi non profit
yang selama ini memiliki perhatian sangat khusus terhadap korupsi.
Organisasi ini kerap kali melakukan survei soal korupsi. Nama organisasi
ini adalah Transparansi Internasional (TI). Pada tahun
kemaren (2013) mereka mengeluarkan daftar tentang indeks persepsi
korupsi selama tahun 2013. Lantas apa hasilnya? Nah, hasilnya adalah
bahwa Afganistan, Korea Utara dan Somalia menjadi tiga negara terkorup
tahun 2013. Mereka adalah peraih medali emas, perak dan perunggu dalam
urusan korupsi. Lantas bagaimana dengan posisi Indonesia?
Berdasarkan tabel yang
dimuat di situs resmi TI, Indonesia ternyata berada di posisi ke-114
dengan indeks persepsi 32. Posisi Indonesia ini masih sangat jauh bila
dibandingkan dengan posisi Singapura, yang menjadi satu-satunya negara
Asia bertengger di posisi ke-5 dengan indeks persepsi 86. Artinya
Indonesia masilah termasuk dalam daftar negara-negara terkorup.
Menurut peneliti utama
TI, Finn Heinrich, korupsi pastilah akan sangat melukai kaum miskin.
Dan menurutnya, itulah yang sesungguhnya Anda lihat ketika menyaksikan
bagian paling bawah dari suatu negara. Selain merugikan negara, maka
perbuatan korupsi juga pasti akan menyengsarakan rakyat kecil. Warga
negara mana yang tidak akan sakit hati dan terpukul melihat negaranya
masuk dalam urutan tukang korup terhebat? Semakin korup sebuah negara,
pasti rakyatnya akan semakin miskin dan sengsara.
TI melakukan survei
terhadap 175 negara, dibantu para ahli yang bekerja di beragam
organisasi seperti Bank Dunia, Bank Pembangunan Afrika, Unit Intelijen
Ekonomi, Bertelsmann Foundation, Freedom House dan
kelompok-kelompok lainnya. Peringkat negara diberikan skala 0-100. Nilai
“0” berarti sektor publik di negara itu dianggap sangat korup,
sedangkan 100 dianggap paling bersih. Memang dari 175 negara yang
disurvei, tidak ada satu pun yang meraih angka sempurna 100.
Jangan pernah lupa,
salah seorang mantan presiden kita bahkan sudah pernah menduduki posisi
teratas dalam jajaran pemimpin negara yang terkorup kelas dunia. Beliau
menjabat sebagai presiden Indonesia selama tak kurang dari 31 tahun
(Maret 1967-Mei 1998). Ia berada di nomor urut 1 kepala negara terkorup
di dunia, bahkan lebih parah dari Ferdinand Marcos, Mobutu Sese Seko,
dan Slobodan Milosevic. Ia dan keluarganya berhasil menjarah uang rakyat
sebesar 15–35 miliar USD. Sebuah angka yang amat sangat fantastis
tentunya.
Di bulan Desember, tepatnya tanggal 9 Desember, seluruh warga dunia selalu merayakan hari anti korupsi.
Namun sayangnya, Indonesia sepertinya tidak mengenal perayaan itu. Di
sini, 364 dalam setahun adalah hari biasa, dimana korupsi pun akan tetap
berjalan sebagaimana biasanya. Korupsi tetap akan terus merajalela dan
semakin menggila. Bisa jadi, di Indonesia “hari anti korupsi” itu masih tidak lazim. Justru yang lazin dan lumrah adalah “hari korupsi”
karena itulah yang terjadi setiap harinya. Kebiasaan yang membudaya.
Budaya korup yang terbiasakan. Saking sangat biasanya, orang tidak tahu
malu lagi melakukannya.
Di Indonesia ini,
semua barang dan jasa bisa dikorupsi. Apapun itu bisa diduitin. Bahkan
ada yang sampai kehilangan akal sehat sehingga pengadaan Alquran pun
dikorupsi, belum lagi baju muslim hingga pengadaan sarung yang sempat
mencuat kepermukaan dan menghebohkan itu. Di sini juga penjahat kerah
putih dengan teganya mengorupsi sumbangan bencana alam, uang bantuan
tunai, hingga kepada batuan untuk sekolah-sekolah. Jerat korupsi ada
dimana-mana dan sampai ke mana-mana.
Rakyat yang Marah
Makanya, wajarlah kita
melihat rakyat yang marah dan kesal. Setiap saat ada rakyat yang marah.
Rakyat menjadi begitu marahnya melihat para pejabat korup kelas kakap
pun yang kelas teri masih tetap berseliweran dengan bebasnya, sambil
menaiki mobil mewah, dan tinggal di istana yang dibangun mungkin dari
uang hasil korupsinya itu. Sementara itu di banyak tempat, masih begitu
banyak bangunan sekolah yang nyaris roboh. Anak-anak SD harus
menyeberangi jembatan yang hampir putus untuk dapat sampai di
sekolahnya. Tak sedikit yang mesti makan hanya beralaskan daun pisang,
dan yang tidurnya hanya dilapisi kertas koran bekas. Apakah ini adalah
perwujudan dari salah satu sila Pancasila yang kita hormati dan agungkan
itu: Yakni, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia?
Semoga pemimpin kita yang baru nanti mampu memberantas korupsi sampai
ke akar-akarnya. Mengembalikan kedaulatan rakyat pada satu aras —
Pancasila, utamanya sila yang ke-5 itu. Menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Karena korupsi di
negeri ini sudah begitu akut. Laiknya sakit kronis yang susah
disembuhkan. Bahkan pun, karena politisi dan pejabat korup di negeri ini
sudah begitu membudaya, maka politisi atau pejabat yang kebetulan
bersih sekalipun bisa saja akan tetap dicap korup dan kotor juga. Inilah
mungkin arti dari pribahasa yang berkata bahwa nila setitik dapat
merusak susu sebelanga itu, atau dalam bahasa Henry Kissinger ia
membahasakannya begini, “Corrupt politicians make the other ten percent look bad.” Semoga Indonesia cepat bangkit dari ketertinggalan dan keterpurukannya. —Michael Sendow—
Sumber: Raja Korupsi
#jangankorupsi
No comments:
Post a Comment