Marah-marah dan Gebrak Meja, Itulah Gaya Ahok
“Mikir!” (Sumber gambar: Ahok gebrak meja — www.article.wn.com)
Dalam beberapa kesempatan, saya selalu bicara dan menulis tentang “style” Ahok yang di luar pakem itu. Saya bilang bahwa Ahok sebaiknya tidak mengubah gayanya itu. Ini jelas. Sebab kalau nggak marah-marah
dan gebrak meja ya bukan Ahok namanya. Bukankah karena gayanya ini,
maka ia terasa begitu serasi dengan Jokowi? Perpaduan yang sungguh
harmonis. Dua karakter yang saling mengisi dan melengkapi. Setelah
Soekarno – Hatta rasa-rasanya belum pernah ada lagi duet yang seterkenal
dan sefenomenal itu. Apalagi dalam kelas gub-wagub. Kenangan Soekarno –
Hatta mungkin hanya bisa didekati oleh duet Jokowi – Ahok. Siapa yang
tidak tahu dan kenal Jokowi – Ahok. Duet ini akan dikenang dalam sejarah
pemimpin Jakarta.
Marah
itu perlu. Bicara lantang itu perlu. Berteriak dan gebrak meja itu pun
sangat diperlukan. Toh belum pernah ada yang mati atau terluka akibat
dimarahi Ahok. Dan, belum ada meja yang rusak akibat digebraki Ahok.
Semuanya masih aman dan terkendali. Lantas kemudian apa pasal saya
bilang Ahok mesti mempertahankan gayanya itu? Tanpa gayanya itu, bisa
jadi Ahok sudah “digilas” oleh kelakuan para birokrat kotor dan korup di
Jakarta yang ganas ini. Tanpa gayanya itu, Ahok mungkin saja tidak akan
menjadi seperti apa adanya dia saat ini.
Jakarta
ini sudah terlalu lama dibelenggu oleh kekakuan dan kebuntuan
komunikasi antara atasan dan bawahan. Bahkan antara pemimpin dan rakyat
yang dipimpin. Antara penegak konstitusi dan konstituennya. Kebuntuan
dan kekauan ini salah satunya adalah olehkarena komunikasi satu arah
peninggalan orde baru. Setiap kata yang keluar dari mulut pemimpin kala
itu laksana titah, jangan pernah dibahas, jangan pernah dibantah. Antara
rakyat dan pemimpin juga terpampang jarak yang amat sangat tinggi,
luas, dan tebal.
Jokowi
dan Ahok membongkar semua “kasta kepemimpinan” dan memberi ruang
komunikasi menjadi semakin dalam. Antara pemimpin dan yang dipimpin
bagaikan tak berjarak lagi. Nah, ada dua cara membongkar kebuntuan itu.
Yaitu dengan cara Jokowi, turun ke bawah dan berkomunikasi dua arah
langsung di lapangan. Cara kedua, adalah dengan cara Ahok, yaitu marah
dan menggebrak meja ketika tidak memperoleh jawaban yang jelas,
dipermainkan bawahan, dan dibodoh-bodohi bawahan. Dua cara itu sangat
benar dan baik. Mereka yang terkesan dan juga yang terusik dengan cara
Jokowi – Ahok ini menandakan bahwa ada dampak yang ditimbulkan. Ini
penting dan perlu dalam sebuah komunikasi.
Sekarang
saya akan coba untuk fokus saja pada gaya ahok. Membahas tentang gaya
Ahok tersebut dari perspektif positif. Tidak bermaksud apa-apa, tapi
memang gaya Ahok marah-marah dan gebrak meja itu memang enak untuk
diulas, “dikulum”, dan “ditelan.” Enaaaaak rasanya…..
Bukankah
marah adalah salah satu faktor terpenting dalam diri siapapun. Bahkan
marah juga adalah penentu penting dalam kestabilan emosi manusia.
Manusia yang tidak pernah marah patut dipertanyakan kemanusiaannya. Anger is an essential human emotion.
Bayangkan saja, saking pentingnya subjek tentang MARAH ini,
sampai-sampai ada pelajaran atau studi khusus untuk membahas hal itu.
Ini salah satu dari mereka yang mempelajari tentang marah itu adalah
Doktor Aaron. Nah, Dr. Aaron Sell ini adalah salah seorang peneliti
tentang amarah (anger researcher) di University of California, Santa Barbara’s Center for Evolutionary Psychology. Doktor ini pernah mengatakan seperti ini, “We evolved an anger system to protect and enforce our own interests against those of other people.” Jadi
ternyata setiap kemarahan kita sesungguhnya bisa dijadikan semacam
proteksi bagi diri kita, bagi kepentingan kita, dan hal-hal yang baik
lainnya yang kita inginkan.
What would the world be like, if this anger system never existed? Actually, a complete mess. Apa
jadinya dunia ini jika semua orang tidak pernah marah? Bayangkan saja
dunia yang dipenuhi orang-orang yang tidak pernah marah? Kedengarannya very good? No way!
Justru sebaliknya, dunia akan dipenuhi ketidakbecusan dan
ketidakbenaran. Orang yang bikin salah tidak diamarahi. Pencuri dan
pencopet tidak dimarahi. Pelaku kejahatan tidak dimarahi. Koruptor kita
senyumi. Pembunuh kita jabat erat. Anak-anak nakal tidak dimarahi, dan
seterusnya.
Marahlah Selagi Masih Bisa Marah
Seorang
filsuf paling terkenal sepanjang masa, Aristotle, dalam sebuah tulisan
“Nicomachean Ethics” beranggapan bahwa marah itu sebetulnya baik bagi
seseorang. Tulisnya, “The man who is angry at the right things and
with the right people, and further, as he ought, when he ought, and as
long as he ought, is praised.” Memarahi
orang yang tepat, tentang satu hal yang tepat, dan pada waktu yang
tepat, juga demi tujuan yang tepat, adalah baik adanya. Bahkan marah
untuk tujuan demikian sangat diharuskan, sebab memang Anda harus marah
bila itu harus, jangan tinggal diam membisu atau menerima keadaannya
begitu saja. Ahok sudah melakukannya, dan rupanya masih jarang ada yang
seperti dia itu, makanya selain pujian dan sanjungan, cibiran dan makian
pun tertuju pada dirinya.
Pengamat politik, peneliti, penulis buku, dan ‘mantan’ calon Presiden Independen yaitu Muhammad Fadjroel Rachman dalam acara peluncuran (launching) buku Ahok Untuk Indonesia
di toko buku Kinokuniya Plaza Senayan, tadi malam pun sempat mengatakan
kesetujuannya dengan gaya Ahok tersebut. Gaya komunikasi Ahok yang
super lugas dan terbuka seperti itu harusnya tetap dipertahankan. Masih
menurut Bang Fadjroel, warga DKI Jakarta yang “keras” ini siap dengan
kelugasan dan keterbukaan Ahok. “Saya rasa warga Jakarta sudah siap, dan
biasa dengan komunikasi keras dan lugas tersebut”. Jadi sebenarnya
tidak ada masalah dengan gaya marah-marah dan gebrak mejanya Ahok itu.
Kawan
saya di Amerika mengirim pesan pendek kepada saya dan berkata, Wakil
Gubernur kamu memang ‘gila’ ya? Kerjaannya marah-marah terus. Saya
bilang, ‘iya’ emangnya kenapa? Dia memang seperti orang ‘gila’,
namun kegilaannya itu adalah demi kebaikan banyak orang. Dan lagi,
kalau dia terlihat seperti orang ‘gila’ yang marah-marah terus, tentu
ada alasan dan peyebabnya. Dan alasannya sudah pasti karena ada yang
membuat dia marah-marah. Itu alasan dan penyebabnya. Silakan simak dan
lihat di Youtube dan cari tahu di berbagai media yang ada.
Bagi
saya, Ahok sebetulnya tidak marah-marah setiap saat kok. Dia marah
kalau memang ada yang wajib dimarahi. Buktinya pada banyak kesempatan
dia bahkan tertawa lepas, tersenyum lebar, dan dengan ramahnya menyapa
orang-orang. Di acara Tatap Mata, sebuah program TV yang dibuat agak
kocak, pada suatu episode kita dapat melihat bagaimana Ahok memadukan
kejenakaan dengan marah-marahnya. Ketika diundang ke acara itu, ia
ternyata bisa tampil lucu juga, mengimbangi Rosi, Vincent Rompis, dan
Akbar. Jadi siapa bilang kerjaannya marah-marah melulu? Dia marah karena
ada yang bikin dia marah. Sesederhana itu. Toh dia marah-marah dan
gebrak meja juga adalah demi kepentingan orang banyak. Anggaran
berlebihan dipotong. Birokrat yang tidak jujur, tidak capable,
dan menyusahkan rakyat pasti dibentak dan dilabrak habis-habisan, kalau
tetap tidak becus, siap-siap untuk diganti. Jadi kita seharusnya marah
juga bersama dengannya. Kita wajib memarahi orang-orang yang dimarahi
Ahok itu, karena sebetulnya dalam hal ini yang peduli dengan keadaan
kita itu bukan mereka namun Ahok. Makanya jangan hanya kritik
marah-marahnya Ahok semata, tetapi telisiklah sebab-sebab kemarahan Ahok
itu apa.
Banyak
di antara kita yang mungkin masih memandang bahwa marah itu adalah
emosi negatif dalam diri kita yang tidak memiliki efek baik, dan tujuan
baik apapun. Seperti juga yang nampak pada sebuah survei dimana tercatat
sekitar kurang dari 30-an persen dari total responden yang disurvei
tersebut mengatakan bahwa ketika mereka marah, maka itu sebetulnya
sangat tidak bagus, karena marah itu tak ada guna dan manfaatnya, dan
pada umumnya hanya akan mengakibatkan kerusakan saja. (Beberapa bahan bacaan yang patut kita telaah dapat diintip di sini: Weber).
Aristotle
pun bisa jadi benar, bahwa marah itu memang sangat diperlukan dan baik
adanya. Marah justru bisa melindungi kita, hubungan kita, dan cara
pandang kita dalam melihat kebenaran suatu hal atau peristiwa. Dalam
sebuah pertarungan abadi antara yang baik dan yang jahat. Antara
kebaikan dan keburukan. Kebenaran dan ketidakbenaraan. Maka marah itu
sangat berguna dan diperlukan.
Kespontanitasan
diri kita marah ketika kita melihat atau mencium sesuatu saya salah dan
tidak beres, ternyata dapat membantu kita memosisikan diri sebagai
lebih sedikit di atas orang atau sesuatu yang salah itu. Lihatlah
wajah-wajah yang tertunduk menghadapi kemarahan Ahok. Tentu, kita
kemudian akan bertanya apakah pantas Ahok untuk marah? Menurut saya
sangat pantas, sebab kalau tidak marah maka dialah yang akan dimarahi
rakyat. Dia juga tentu tidak mungkin marah kalau tidak menemukan
berbagai kesalahan dan ketidakbecusan. The bodily effects of anger are meant to tell us that something is wrong, or something evil is happening. Maka marahlah dan jangan hanya diam saja!
Bahkan
menurut Prof. Silvyana Murni, Deputi Pariwisata dan Kebudayaan
pemerintah DKI Jakarta, yang hadir menggantikan Ahok pada acara
peluncuran Buku Ahok Untuk Indonesia tadi malam, bahwa ia menerima
sepenuhnya gaya Ahok yang lugas dan ceplas-ceplos, berikut gaya
marah-marahnya itu. Ia mengatakan bahwa selalu enjoy saja
dengan pekerjaannya, dan menjalaninya secara professional tanpa
embel-embel apapun. Ia merasa tidak ada jarak pemisah antara ia dan
atasannya itu. Dan lagi, menurutnya, ia suka dengan kepemimpinan Ahok. “Mendapatkan pimpinan seperti Pak Ahok itu luar biasa, tidak hanya untuk Jakarta namun juga untuk Indonesia.”
Masih
menurut Prof. Silvyana, yang penting kita tahu cara berkomunikasi
dengan Pak Ahok. Kalau dia lagi marah, ya didengerin saja, jangan beradu
argumen saat itu juga. Nah, ketika ia sudah cooling down
beberapa saat kemudian, barulah argumen-argumen yang kita rasa benar
disampaikan ke Pak Ahok. Itulah cara para bawahan Ahok (yang sudah
sangat memahami) lakukan setiap kali Ahok marah karena suatu hal.
Kemarahan Ahok Beralasan
Saya
pikir, semua kemarahan Ahok tentu ada alasan yang melatarbelakanginya.
Tidak pernah mungkin ia marah tanpa alasan. Hanya manusia kurang waras
yang marah setiap saat tanpa alasan apapun. Dan Ahok itu tidak marah
setiap saat, itu dapat dipastikan. Dia akan menjadi sangat marah bila
dijumpai kebusukan dan ketidakberesan di birokrasi serta dalam birokrat
yang dipimpinnya.
Yang
terkini adalah ketika ia sempat naik pitam dan menggebrak meja saat
rapat dengan Dinas Kebersihan dan operator kebersihan, Kamis 8 Mei 2014
yang lalu. Amarahnya menyeruak muncul karena beberapa hal. Menurut
catatan Liputan6.com, Ahok marah karena mengetahui jumlah pegawai
honorer Dinas Kebersihan DKI melonjak dari 3.500 pekerja menjadi 10.721
orang. Kepala Dinas Kebersihan DKI Saptastri Ediningtyas pun terkesan
menjadi sasaran tembak kemarahan Ahok sampai menggebrak meja itu.
Padahal menurut Ahok, ia sebenarnya tidak memarahi Kadis kebersihan itu. Yang ia marahi adalah Kepala Bidang Pengendalian Sampah, Made Indrayasa yang menurut Ahok telah menyewakan truk sampah dan melarang sistem angkut sampah per sekali jalan. “Sebenarnya sih saya nggak marahin dia. Saya marahin si Made. Sampah numpuk atau sewa truk sembarangan kamu bisa hitung nggak? Kan konyol tuh, saya nggak mau lagi pakai sistem hitungan absen, saya maunya per wilayah,” kata Ahok kala itu (Liputan6.com). Masih menurut Ahok, Made Indrayasa dan pegawai Dinas Kebersihan lainnya memang sengaja mempersulit proses perhitungan jumlah pegawai honorer dinasnya. Bahkan, ia menuding mereka sengaja ingin menipu Kadis kebersihan (Saptastri Ediningtyas) yang baru menjabat selama dua bulan itu.
Dalam
rapat evaluasi kontrak Dinas Kebersihan dan usulan kontrak berbasis
kinerja bersama para operator kebersihan Kamis 8 Mei 2014 itu, Ahok
mendapat laporan bahwa jumlah petugas kebersihan di Jakarta berjumlah
10.721 orang. Padahal, pada masa kepala dinas sebelumnya, jumlah petugas
hanya 3.500 orang. Karena itu Ahok menilai jumlah yang tiba-tiba
membludak itu patut diduga ada permainan yang dilakukan Dinas Kebersihan
dan perusahaan swasta dalam pengangkutan sampah.
Salah
seorang perwakilan swasta mengaku untuk satu kota hanya butuh sekitar
834 orang petugas. Nah, perwakilan swasta ini juga mengaku pegawainya
tidak diterima oleh Dinas Kebersihan padahal sudah 30 tahun bekerja. Ini
jelas berbau sesuatu yang tidak beres. Maka wajar Ahok marah. Apakah
Ahok harusnya diam seribu bahasa saja dan tidak perlu marah? Akumulasi
ketidakberesan tersebut jelas-jelas membuat kemarahan Ahok memuncak.
Ahok spontan menggebrak meja di hadapan para peserta rapat. “Bapak salah ini! Ada permainan ini. Saya minta data ini ada nama orang yang dicoret. Coret semua orang yang baru masuk,” tegas Ahok tanpa tendeng aling-aling. Itu adalah kemarahan yang tidak ditutup-tutupi.
Ahok meminta Dinas Kebersihan melengkapi data 10.721 petugas kebersihan dengan nama, alamat, dan nama jalan yang menjadi tanggung jawab petugas itu. Ahok memberi waktu 2 minggu ke depan untuk melengkapi data itu. Jika tidak, Ahok mengancam akan memutasi 90% pejabat di Dinas Kebersihan. Wajarkah Ahok marah dalam hal ini? Sangat wajar tentunya.
Contoh lainnya. Saat menggelar rapat dengan Dinas Pekerjaan Umum (PU) DKI Jakarta, Ahok meminta anggaran dipangkas 25 persen. Ahok
bahkan mengultimatum, bahwa jika jajaran Dinas PU DKI Jakarta tidak
sanggup memotong anggaran 25 persen, maka dia sendiri yang akan
membangun proyek-proyek infrastruktur dengan dana operasional yang
dimilikinya. Tantangan ini ditujukan langsung ke Dinas PU.
“Itu hitungan kami, ada dasarnya, dipotong 25 persen uang itu masih banyak ruang gerak, tidak apa-apa, jadi kalau bapak dan ibu tidak mau lakukan, dua pilihan, saya bangun kasih contoh, kita ambil 100 persen dari hitungan bapak, kita akan proses habis, kita bukan ngancam. “Atau cara kedua, kita tunda, tapi sampai eselon III kita copot. Terbuka, kita perang terbuka kami tidak ada pilihan, yang jelas PU harus potong anggaran. Kita potong 25 persen,” demikianlah Ahok ‘bersabda’. Salahkah dia? Tentu tidak.William Arthur Ward mengatakan, “It is wise to direct your anger towards problems — not people; to focus your energies on answers — not excuses.” Arahkan kemarahan Anda pada masalah yang dituju. Pada persoalan yang hendak diselesaikan. Fokuskan seluruh energi Anda pada jawaban, bukan berkutat pada alasan demi alasan tak jelas. Kemarahan yang terarah dan tertuju itu layak diberi sambutan positif. Kemarahan yang muncul demi kebaikan itu patut pula kita apresiasi. Saya membahasakannya sebagai, “marah yang bertanggungjawab”. Kemarahan yang dapat dijelaskan serta dibuktikan kenapa harus muncul ke permukaan.
Menurut James Russell Lowell bahwa, “Usually
when people are sad, they don’t do anything. They just cry over their
condition. But when they get angry, they bring about a change.” Orang
yang sedih tidak akan berbuat apa-apa, kecuali meneteskan air mata pada
kondisi yang sementara dihadapinya. Namun, orang yang marah justru akan
sanggup membuat sebuah perubahan.
Ahok
tidak akan bisa berbuat apa-apa jika berhadapan dengan birokrat atau
bawahan yang malas, penuh tipu daya, koruptor, dan lain sebagainya itu,
hanya dengan duduk manis dan duduk diam serta dengan mulut yang terkatup
rapat-rapat. Umpamanya hanya dengan bersedih hati dan apalagi menangis.
Ia harus marah. Kalau perlu, ya dengan menggebrak meja. Itupun
rasa-rasanya belum cukup, tindak lanjuti saja dengan surat peringatan,
dan adakan tindakan pencopotan kalau memang tetap tidak mau berubah.
Ingat, Jakarta ini sangat keras, bung!
Mengakhiri tulisan ini, saya kembali hendak menyitir apa yang dikatakan oleh Aristotle tentang MARAH itu. “Anyone
can become angry - that is easy, but to be angry with the right person
at the right time, and for the right purpose and in the right way - that
is not within everyone’s power and that is not easy.” Maka itu, menjadi seorang Ahok memang tidaklah mudah. —Michael Sendow—
|
Sumber: http://birokrasi.kompasiana.com/2014/05/22/marah-marah-dan-gebrak-meja-itulah-ahok-pertahankan-657168.html
1 comment:
makasih infonya
sangat menarik dan bermanfaat,,
mantap
Post a Comment