Ada yang pintar menjalin kata-kata lewat puisi,
ada yang suka melucu, bercerita perjalanan hidupnya. Bahkan banyak
dokter di Kompasiana ini, ahli hukum, pendidik sampai tukang becak dan
penjual bakso pinggir jalan.
Fenomenal. Menurut catatan sejarah probability, Kompasiana ini kemungkinan dihuni not only quite possibly but most probably puluhan ribu kompasianer,
aktif maupun pasif. Itu berarti ada puluhan ribu otak untuk dipakai
berpikir demi kemajuan bersama. Puluhan ribu pikiran yang bisa dipakai
untuk memikirkan tentang sesuatu.
Kalaupun kita terkadang gagal menuangkan isi
otak kita (baca: ide) kedalam bentuk tulisan, bersabarlah. Kegagalan
adalah sukses yang tertunda. Asal nggak lama-lama ketundanya, iya kan?
Makanya dikit demi dikit belajar untuk mulai menulis buah pikiran kita.
Yang gampang-gampang dululah, tuliskanlah kicauanmu tentang apa saja di
sekitarmu, tidak perlu berimajinasi terlalu susah dulu, tuliskanlah apa
yang ada di depan matamu, apa yang kau lihat, yang kau cium, yang kau
raba. Setelah engkau fasih menulis hal-hal yang ada di sekitar, barulah
kembangkan imaginasimu. Ada yang menjadi badut, ada yang menjadi
politikus, ada yang menjelma menjadi ahli hukum, pengamat olah raga
bahkan juru masak!
Mengenai kegagalan dalam menulis, saya teringat seorang yang bernama William Gold,
orang Australia yang lahir bulan Juni 1922. Ia berhasil menulis 8 buku
yang sangat tebal serta 7 buah novel selama 18 tahun karir menulisnya!
Tapi hanya satu artikel (tulisan pendek) yang laku dijual, dimuat di
salah satu harian lokal di Canberra Australia dimana tulisannya dihargai hanya 50 Cents.
Makanya orang ini dikenal sebagai penulis terburuk dalam catatan
sejarah. Bayangin 18 tahun dalam karir menulisnya, ia cuman mendapatkan
50 Cents untuk satu artikel saja. Kalau kita baru gagal secuil saja,
jangan mudah menyerah. Jadikan rumah sehat ini sebagai sarana
atau langkah awal keberhasilan kita. Keberhasilan dalam menulis. Apapun
bentuk keberhasilan itu engkau artikan.
Kadang-kadang kita stress dan luka batin
menjadi penghambat kita untuk menulis. Tapi tak jarang sebaliknya,
mereka yang lagi tertekan, sangat lancar menggoreskan penanya di atas
kertas. Juga tidak bisa dipungkiri, apa yang dilihat mata tidak
selamanya memang demikian adanya. Seorang pelawak pasti pernah stress,
dokter pernah sakit, guru pernah diajar. Penampilan orang bisa menilai,
tapi isi hati siapa yang tahu?
Ada seorang dokter yang stress berat karena
tekanan pekerjaan. Ia lalu memutuskan, bahwa nanti malam, setelah
selesai praktik, ia akan mengajak keluarganya menonton sirkus untuk
menghilangkan semua beban yang ada dalam batinnya. Tetapi apa yang
terjadi? Di tengah-tengah jam praktik, ia dipanggil ke rumah sakit
karena ada pasien yang sedang gawat. Ia buru-buru pergi. Ternyata siapa?
Pasien itu adalah badut yang paling kocak dan paling lucu dari
rombongan sirkus yang akan ia tonton. Badut yang berhasil menghibur
ribuan orang itu berusaha bunuh diri, karena ia tidak tahan memikul luka
batinnya. Badut itu menderita luka batin yang parah. Tetapi Cuma dia
sendiri yang tahu. Orang lain mungkin mengatakan “Wah, alangkah bahagianya kalau bisa seperti dia! Tidak pernah susah.”
Menyembunyikan atau menekan luka batin, bukanlah jalan yang terbaik. Malah dapat dikatakan, itu adalah jalan yang buruk. Dr.Erick Linderman dari Massachusetts General Hospital adalah
perintis studi dan penelitian mengenai luka batin dan segala akibatnya.
Ia bercerita tentang seorang perawat yang selama musim dingin merawat
ayahnya yang sakit parah, dan yang amat dicintainya. Sering sekali ia
meneteskan air mata melihat penderitaan ayahnya itu.
Akhirnya ayahnya meninggal. Seorang rekannya—dengan
maksud baik—memberi nasehat agar suster muda itu jangan sedikitpun
menunjukkan kesedihan hatinya, terutama di depan ibunya yang menderita
penyakit jantung kronis.
Demi cintanya kepada sang ibu, ia berusaha
keras menekan luka batinnya. Dan ia berhasil! Di balik wajahnya yang
ceria ia menyembunyikan luka batin yang amat dalam. Akan tetapi, ada
harga yang harus dibayar. Beberapa bulan kemudian, suster itu menderita
sakit maag yang sangat parah. Lambat laun sistem syaraf tubuhnya ikut
porak poranda. Akhirnya, tidak sampai setahun ia meninggal. Meninggal
karena dibunuh oleh luka batin yang selama ini ia tekan dalam-dalam.
Luka batin jangan ditekan dan dipendam. Kita
bisa mengeluarkan, selain uneg-uneg kita, juga luka batin kita lewat
tulisan. Tanpa sadar, kadang kita merasa sangat plong setelah
menuliskan keluh kesah kita, ungkapan penderitaan kita, harapan-harapan
kita, beban berat yang kita pikul. Menulis adalah sarana kita untuk
tidak hanya sekedar berbagi cerita, tapi juga sebagai sarana untuk share secara lebih dalam.
Ingin luka batin anda sembuh secara
perlahan-lahan? Jangan pendam itu! Mulailah untuk menulisnya. Selain
dapat membuat hati anda lebih plong, juga anda telah berbagi. Tulisan
anda bisa menjadi sarana pembelajaran bagi para pembaca yang lain.
Mulailah dari dunia sekitar…dan mulailah dari yang gampang…mulailah dari Kompasiana!
Selamat Menulis.
-Mich-
No comments:
Post a Comment