Ajakan
salah satu jubir dan tim pemenangan Jokowi-JK, Anies Baswedan yang
terus mengumandangkan ajakan kepada orang baik untuk mendukung orang
baik tentu perlu kita apresiasi. Di berbagai kesempatan, Anies selalu
menggagas gerakan turun tangannya itu. Orang baik yang diajak supaya
turun tangan untuk melakukan kebaikan. Pencetus Indonesia Mengajar ini ternyata tak pernah pupus harapan untuk menciptakan Indonesia yang lebih baik menjadi kenyataan.
Dia
mengerti betul, bahwa manusia adalah aset utama suatu bangsa, bahwa
dengan membangun manusianya maka suatu bangsa akan menjadi kaya. Ini
tidak terlalu mengherankan, karena Anies adalah seorang tokoh pendidikan
muda yang kita miliki saat ini, dan menjabat sebagai rektor Universitas
Paramadina. Maka itu, tidak mengherankan pula ketika ia mengatakan
(sesuai sejumlah tulisan yang beredar yang dikutip banyak orang) bahwa
pola pemikiran yang menganggap gas, minyak, dan hasil tambang adalah
kekayaan utama suatu negara adalah pola pemikiran kolonialisme.
Menurutnya, justru kekayayaan utama dan terbesar suatu bangsa adalah
manusianya. Rakyatnya. Masyarakatnya. Warga negaranya. Seperti itu.
Tentu ia tidak bermaksud menisbikan SDA yang kita miliki, hanya saja dia
menekankan kepada sesuatu yang ia anggap harus lebih dulu ada, yaitu
kualitas SDM.
Sekarang kembali ke pernyataan orang baik harus turun tangan mendukung
orang baik. Semua orang baik semestinya berkumpul dan bersinergi untuk
menciptakan Indonesia yang lebih baik, terlepas dari golongan dan latar
belakang apa orang itu berasal. Terlepas dari agama dan kesukuan apa
orang itu berasal. Nah, ini artinya orang baik itu bisa datang dari mana
saja dan siapa saja. Orang baik bukan milik suku tertentu, agama
tertentu, dan golongan tertentu. Ia ada dimana-mana dan tersebar
dimana-mana. Orang-orang baik yang tersebar itulah yang diajak untuk
turun tangan. Sekarang muncul pertanyaan selanjutnya, apa sih kriteria
orang baik?
Saya
mempunyai sebuah cerita. Begini, konon ada tiga orang koruptor yang
diperiksa di pintu Neraka. Berkatalah sang penjaga Neraka kala itu,
“Anda bertiga akan disiksa di satu tempat yang sama seumur hidup!” Lalu
mereka kemudian diantar ke suatu rumah. Itu adalah awal cerita gubahan
novel berjudul No Exit karya Jean Paul Sartre seorang filsuf terkemuka asal Perancis.
Kata
penjaga, “Inilah rumah penyiksaan kalian bertiga.” Ketiganya langsung
masuk kerumah itu dan mulai melihat-lihat isi rumah tersebut. Ternyata
isi rumah itu sangat menyenangkan. Ada rak buku, TV, ada kulkas, ada AC,
dan sebagainya. Segala sesuatunya tersedia dengan lengkap. Lantas
dimana alat-alat penyiksaannya? Katanya ini rumah penyiksaan? Alat-alat
itu tidak nampak di rumah itu, ini tentu saja membuat ketiganyapun
menjadi lega.
Tetapi,
beberapa hari kemudian mereka mulai merasa tersiksa. Apa alasannya?
Yang seorang berkata, “Tabiatmu ini aneh dan menyebalkan!” Yang lainnya
pun berkata tak kalah garangnya, “Sifatmu lebih aneh lagi. Aku juga
sebal!”. Begitulah mereka akhirnya saling benci dan memusuhi satu sama
lain, dan akibatnya makin lama mereka menjadi makin tersiksa.
Anda
tahu, bahwa substansi novel setebal 200 halaman ini telah diungkap oleh
ketiga karakter itu. “Aku baru tahu sekarang. Yang namanya neraka
adalah seperti ini. Sungguh menyebalkan. Neraka adalah tempat aku harus
hidup bersama orang lain. Aku tersiksa. Orang lain adalah neraka. Dan,
neraka adalah orang lain!” (Seperti yang dapat terbaca lengkap dalam
tulisannya Dr. Andar Ismail berjudul Orang lain: Surga atau Neraka)
Novel
yang terkesan sederhana ini sebenarnya merupakan sejumlah dalil
filsafat eksistensial yang pelik, namun dibungkus dalam bentuk narasi.
Sartre menekankan bahwa manusia mempunyai kebebasan mutlak untuk
menentukan arti dan arah keberadaan dirinya. Tiga orang dalam novelnya
itu juga sebetulnya memiliki pilihan yang mutlak ditentukan oleh diri
mereka sendiri. Ingin menjadi neraka bagi orang lain atau tidak.
Kemudian mereka juga punya kebebasan menetukan arah hidup mereka,
akankah mereka menganggap orang lain sebagai musuh (neraka) atau sebagai
sahabat. Katanya kemudian, “We are stuck with each other forever. There is no need for instruments of torture. Real hell is other people!” Tidak butuh alat-alat penyiksaan, karena neraka yang sesungguhnya adalah orang lain.
Kriteria Orang Baik
Merumuskan
atau mendefinisikan apa dan siapa orang baik itu memang tidak mudah,
tapi juga tidak terlalu sulit. Kalau menurut saya pribadi, orang baik
itu dalah mereka-mereka yang dapat menciptakan sorga di bumi bagi
kehidupan orang lain. Mereka yang mampu menghadirkan sorga di bumi untuk
dirasakan bersama, terlepas apapun keyakinan yang kita anut.
Orang
baik adalah mereka yang mendatangkan damai sejahtera, bukan pertikaian
dan kerusuhan. Orang baik adalah mereka yang memunculkan perdamaian,
bukan peperangan dan perampasan hak. Orang baik adalah mereka yang
menjunjung tinggi nilai-nilai moralitas yang antara lain akan mewujud
menjadi buah-buah kebenaran: tidak mencuri, tidak merampok milik orang
lain, jujur dalam kepemimpinan, merakyat dan tidak membohongi rakyat,
dan sebagainya. Intinya, dia tidak boleh menjadikan hidupnya neraka bagi
orang lain. Atau hanya berdiam diri melihat neraka sementara terjadi di depan matanya.
Ajakan
orang baik untuk turun tangan mendukung orang baik tentulah bukan
sesuatu yang berlebihan. Karena memang itulah yang mesti dilakukan bila
kita berkeinginan menjadikan Indonesia ini lebih baik, lebih maju, dan
lebih sejahtera. Kumpulan orang baik ini tidak mungkin akan menjadikan
neraka hadir di bumi Pertiwi bukan? Kalau seperti itu berarti mereka
bukanlah kumpulan orang baik. Apa yang setiap orang baik yang sudah
turun tangan ini akan kerjakan? Banyak, namun satu hal yang pasti mereka
akan berusaha menghadirkan sorga di bumi Nusantara ini. Harus seperti itu.
Memunculkan
sorga bagi banyak anak bangsa yang masih hidup di bawah garis
kemiskinan, tidur di atas koran dan makan di atas daun pisang.
Menghadirkan sorga bagi mereka yang buta huruf dan putus sekolah.
Menghadirkan sorga bagi mereka yang belum merdeka secara
nyata dan masih tinggal di pelosok desa yang tidak ada jalan serta
fasilitas umum apapun, tidak ada sarana air bersih dan MCK. Menciptakan
sorga bagi masyarakat yang selalu menemukan ‘neraka’ dalam urusan
birokrasi dan selalu saja dipersulit padahal urusannya mudah. Untuk
hal-hal seperti inilah setiap orang baik itu mesti turun tangan dan
hadir.
Sebab,
saya yakin dan percaya, Tuhan tidak akan tutup mata bila sorgaNya kita
hadirkan ke muka bumi ini. Karena bukankah kalau kita memang mengasihi
Tuhan, maka perlakukan secara baik orang-orang yang miskin, para janda,
mereka yang terpinggirkan, mereka yang terdiskriminasi, mereka yang
terus ditekan, mereka yang tak mampu bersekolah dan berobat secara
layak. Mengasihi Tuhan bukan hanya berdiam diri di menara gading dan
berdoa, tetapi harus turun tangan untuk menyatakan kebaikan-kebaikan.
Orang baik, menurut saya, tidak mungkin hanya ada di salah satu kubu.
Orang baik itu ada di kedua belah kubu calon Presiden itu, makanya
semestinya ada sinergitas untuk mengarahkan kepada satu tujuan:
Kepentingan, kemakmuran, kesejahteraan, dan kebaikan rakyat banyak.
Makanya saya sangat mendukung ajakan orang baik untuk turun tangan, dan melakukan berbagai kebaikan. Pilihan
kebaikan yang Anda nyatakan hari ini, akan amat sangat berpengaruh bagi
kehidupan banyak orang di masa yang akan datang. Bahkan oleh
generasi-generasi sesudah kita. Semoga. —Michael Sendow—
“Kita
tidak hanya apa yang kita pikirkan, kita adalah juga apa yang kita
lakukan. Berpikiran baik itu bagus. Melakukan kebaikan, itu lebih bagus
lagi…”—Michael Sendow
#gerakanturuntangan
No comments:
Post a Comment