Wednesday, June 10, 2015

Nasib Tukang Becak


1383380825969813467

Sudah lima kali saya mengunjungi kota Semarang. Tidak pernah bosan rasanya mata ini dimanjakan oleh keindahan Semarang. Menginap di seputaran Simpang Lima sebagai pusatnya keramaian Semarang, sangat tepat dan pas. Ini adalah betul-betul tempat yang cocok, dan jelas tidak mungkin saya salah pilih. Wisata kuliner di tempat ini pun sepertinya menjadi ciri khas tersendiri, apalagi bila malam telah tiba, maka tak pernah alpa saya berjalan menuju ke tenda-tenda yang banyak menjual jagung bakar. Nah, ini adalah salah satu makanan ringan kesukaan saya, oleh sebab itu selama di Semarang jagung bakar menjadi teman setia saya.

Kali ini ada yang menarik dari perjalanan saya yang ingin saya tuliskan. Keindahan Semarang memang sudah tidak diragukan lagi. Tapi yang hendak saya angkat kali ini adalah tentang becak, dan si tukang becak di Semarang. Mungkin ini hanyalah sepenggal pengalaman kecil yang entah kenapa secara spontan terbesit untuk saya tulis. Di balik semuanya itu, satu hal yang amat pasti adalah bahwa perjalanan dan pengalaman yang yang sangat dapatkan di Semarang, sungguhlah berarti, setidak-tidaknya bagi saya pribadi.

Ada apa sebenarnya dengan yang namanya becak, dan kenapa saya sepertinya begitu tertarik dengannya? Begini, sewaktu di Semarang selama tiga hari berturut-turut, saya tidak pernah melewatkan untuk menggunakan jasa angkutan yang masih menggunakan tenaga manusia ini. Saya memutari Simpang Lima, kemudian menyisir jalanan di kota tua, termasuk juga singgah untuk sekedar menguji nyali saya di Lawang Sewu (yang sangat terkenal dengan sebutan gedung seribu pintu dan begitu menyeramkan itu), sampai akhirnya berhenti sejenak untuk foto-foto di Sam Pho Khong, tempat di mana Laksamana Cheng Ho mendarat. Orang China yang pertama kali menyebarkan agama Islam di Semarang. Seluruh perjalanan saya tersebut menggunakan becak. Tentu bukan saya yang mengayuh becaknya, tapi orang lain.

Nah, menurut catatan yang saya temukan, kata becak itu sendiri berasal dari sebuah kata yang diambil dari bahasa Hokkien “be chia” yang artinya kereta kuda. Lucunya atau uniknya, bahwa moda transportasi beroda tiga ini bukan ditarik oleh kuda namun oleh manusia, bahkan banyak yang sudah tua usianya. Tapi ya begitulah, menjadi pengemudi becak bisa jadi adalah salah satu dari banyak cara untuk mendapatkan nafkah yang paling mudah. Karenanya jangan heran bila jumlah pengemudi becak di beberapa daerah yang sulit mendapatkan pekerjaan, maka jumlahnya akan menjadi sangat banyak juga.


Di Jakarta sendiri becak sudah dilarang sejak sekitar akhir tahun 1980-an. Alasan resminya saat itu adalah bahwa moda transportasi bernama becak ini berujung pada sebuah tindakan yang katanya “eksploitasi manusia atas manusia”. Hingga akhirnya becak pun digantikan oleh Bajaj, Helicak, ojek motor dan yang sejenisnya. Di beberapa daerah lain ada yang namanya bentor (becak motor). Tapi becak masih terus beroperasi di luar Jakarta, seperti halnya di Yogya, Solo dan Semarang.

Pak Tua Pengayuh Becak

Sewaktu menggunakan becak mengelilingi beberapa tempat di Semarang selama beberapa jam itu, ada dua perasaan bergelayut di benak saya. Yang pertama saya merasa senang karena dapat membantu pengemudi becak itu, dalam arti sudah turut melariskan becaknya. Tapi di sisi yang lain saya merasa terenyuh dan sedih melihat seorang yang sudah sangat tua itu mesti mengayuh becaknya berjam-jam, di bawah terik matahari yang sangat menyengat membakar kulit itu. Sungguh sebuah pemandangan yang sesungguhnya menyakitkan bagi saya. Terbayang bagaimana kalau itu adalah orang tua saya sendiri. Karenanya saya sempat mengajak pak tua itu untuk istirahat minum juice sebentaran.

Bapak tua ini menjelaskan kepada saya, bahwa itulah satu-satunya cara ia bisa memperoleh nafkah bagi istri dan anak-anaknya. Tidak mengayuh becak berarti tidak makan. Absen dari mengayuh becaknya, maka dapur bakalan tidak mengepul. Karena alasan itulah juga, ia harus berupaya untuk tidak jatuh sakit. Entah hari panas terik ataupun sementara diguyur hujan, ia akan terus dan tetap mengayuh becaknya. Bagi pak tua ini, mengayuh becak adalah hidupnya. Tidak mengayuh maka tidak hidup.



Memang ada pro dan kontra dengan keberadaan becak-becak ini. Di antaranya adalah bahwa ketika becak hadir di perkotaan maka dapat mengganggu lalulintas dan tentu juga menyebabkan kemacetan, oleh karena kecepatannya yang sangat lamban itu. Positifnya adalah bahwa becak merupakan alat angkutan yang ramah lingkungan serta tidak menyebabkan polusi, karena yang ada hanyalah kucuran keringat sang pengayuhnya. Becak juga tidak menyebabkan kebisingan, karena boleh jadi yang akan terdengar hanyalah gemuruh suara pengayuhnya yang ngos-ngosan serta kelelahan itu. Becak juga sebetulnya dapat menjadi sebuah daya tarik tersendiri bagi para turis. Banyak turis yang menggunakan becak untuk berkeliling, karena tidak hanya ‘seru’ namun juga dengan menggunakan becak maka mereka nampaknya lebih puas menikmati pemandangan sekeliling.

Kembali ke pak tua dalam kisah saya di atas itu. Setelah berkeliling selama kurang lebih 5 jam. Kita sih jalannya berhenti-berhenti, karena saya kebetulan harus mampir di banyak tempat. Banyak hal yang ia utarakan. Ia juga bertutur tentang kekhawatirannya dengan semakin banyaknya pengguna kendaraan bermotor (mobil dan motor). Ketika saya tanya kenapa ia mesti gusar dan khawatir, jawabannya sangat sederhana, “Kemungkinan orang yang akan makai jasa becak saya pasti berkurang…”

Singkat cerita, setelah usai memakai jasanya, saya tanya berapa biayanya kepada pak tua sang pengayuh becak itu. Jawabannya lebih membuat saya terenyuh. Sebab ia menyerahkan tarifnya terserah saya saja maunya berapa. Mana boleh sudah mengayuh begitu lama, mana cuaca panas terik lagi, tapi kok bilangnya suka-suka saya saja mau bayarnya berapa. Baik hati banget orang ini. Entah apa maksud di balik jawabannya itu, saya tetap merasa sangat kasihan melihat kondisi seperti itu. Akhirnya karena saya ngotot supaya diberitahu berapa tarifnya, ia pun bilang 300 ribu saja. Tapi saya memberinya 500 ribu. Menurut saya itu tarif yang pantas (bahkan mungkin masih kurang?) karena ia sudah mengantar saya berkeliling selama 5 jam lebih.

Becak memang alat transportasi yang sangat sederhana, ya sesederhana mereka yang mengayuhnya. Alat transportasi yang masih menggunakan tenaga manusia ini memang menyimpan banyak pertanyaan yang mengganjal. Apakah memang moda transportasi ini adalah wujud ‘eksploitasi manusia atas manusia lain’? Atau justru ada keuntungan mutualistis antara si penumpang dan si pengayuh? Bukankah juga seperti ungkapan sangat sederhana pak tua tadi, “Tidak mengayuh berarti tidak makan…” Apa sebabnya? Ya karena becak adalah satu-satunya mata pencaharian pak tua itu. Entahlah

No comments: