Monday, May 30, 2011

I’m Sorry, Excuse Me? Thank You!

I’m Sorry, Excuse Me? Thank You!


Mungkin ada tiga ucapan paling laris di Amerika. Apa itu? Mereka adalah “I’m sorry”, “Excuse me”, dan “Thank You”. Ucapan-ucapan ini jugalah yang paling banyak saya jumpai, entahkah di tempat kerja, lingkungan apartemen, pergaulan dan di mana saja. Sebenarnya makna yang tersirat dalam ucapan kata-kata itu dalam. Memang dalam keseharian sepertinya ucapan-ucapan itu hanyalah formalitas belaka.

Saya bukain pintu untuk seseorang pastilah akan menerima ucapan “thank you”. Memberi tempat duduk kepada seseorang di bis umum diucapin “thank you”. Hampir apapun yang Anda lakukan untuk seseorang dengan mudahnya mereka akan mengucapkan terima kasih. Ucapin selamat pagi dibalas “Thank you, good morning to you too”. Membeli sesuatu, membayar sesuatu pun diucapin “thank you”, terkecuali merampok jangan harap Anda akan menerima ucapan terima kasih. Bukankah akan ada perasaan terhargai dan dihargai bila seseorang mengatakan “terima kasih” terhadap apapun yang kita lakukan. Sekecil apapun itu?

Lalu ucapan “I’m sorry”. Sering sekali kata yang kemudian disingkat “sorry” ini diucapin di mana-mana. Mau duduk di sebelah seseorang dalam bis umum mereka ngomong “I’m sorry, can I sit next to you?” Bikin kesalahan besar bilang “I’m sorry”, buat kesalahan kecil berucap “I’m sorry”, bahkan tidak bikin kesalahan apapun tetap mengatakan “I’m sorry”. Pernah saya nabrak seorang ibu di depan pintu perpustakaan saking tergesa-gesanya ngejar waktu. Sebelum saya sempat minta maaf, ibu itu malah sudah duluan bilang “I’m sorry sir”. Padahal salah yang salah. Mau antri makanan bilang “I’m sorry”, mau nanya jalan ke polisi pun bilang dulu “I’m sorry officer”. Bahkan mau pulang duluan dari tempat kerja ngomong dulu “I’m sorry but I have to leave now”. Mengungkapkan rasa bela sungkawa banyak yang berujar “I fell so sorry about your lost” (di sini arti sorry bukan maaf tapi rasa prihatin. Turut merasakan duka cita). Merasa agak mengganggu seseorang? Katakan saja “I’m sorry to bother you” Nah, bukankah kita akan merasa “nyaman” ketika mengucapkan “maafkan saya”, lalu yang mendengarnya juga pasti akan respek dengan kata-kata kita.

Ungkapan “Excuse me” termasuk di deretan yang paling sering diucapkan. Anda akan banyak mendengar kata-kata ini di misalnya stasiun, mall, pusat kota. “Excuse me”nya orang yang lalu lalang mendahului Anda akan terdengar jelas di kiri-kanan. “Excuse me” atau permisi ini juga sering di pakai di ruang-ruang rapat misalnya “Excuse me, can I see your report Mike?” Pokoknya seabrek-abreklah penggunaan “excuse me” ini dalam lingkup formal maupun pergaulan sehari-hari. Bertanya marah pun seorang tante berujar dengan “Excuse me…what did you say?” dengan nada yang di tinggi-tinggikan. Teman saya memotong pembicaraan bos besar (mucho grande) dengan “Excuse me sir, I don’t wanna hear nothin’ coz what just happened isn’t my fault!”

Nah, secara berkelakar saya bilang ke teman saya karena terlalu banyak ucapin permisi maka Amerika dan dunia menjadi kian permisif. Tidak ada lagi yang mau mengakui kesalahan walau sudah terbukti bersalah. Apa pun---asal “senang sama senang” dan tidak merugikan siapa-siapa----silahkan saja. Apa pun asal “mau sama mau” dan “tidak saling memaksa”---nggak apa-apalah. Maka terjadilah budaya permisif itu dimana-mana. Janin di bunuh biasa. Kumpul kebo lumrah. Manusia di “cloning”, perang kimia dan nukir oke-oke saja. Virus HIV-AIDS “disebar-luaskan” nggak perlu dipertanyakan. Sangat permisif. Apa-apa boleh. Tapi ini cuma kelakar saya, entah benar atau pun tidak, itu cerita lain.

Lho, tapi bukankah makna kata “excuse me” ini juga paling doyan dipakai dan digunakan anggota dewan kita di Senayan sana? Tindakan permisif apa sih yang selalu dan selalu mereka lakukan yang justru tidak menyejahterakan rakyat? I’m sorry, I can’t tell you right now. Mungkin kali lain. Sekarang saya hanya pengen bilang saya lapar banget, mau cari makan dulu so you guys, please excuse me and I’m sorry can’t tell you more. Tapi thank you yah sudah membacanya sampai disini.

Michael Sendow

No comments: