Monday, July 28, 2014

Menulis di Kompasiana, dan Menyembuhkan Luka

1301885472256593596
Ilustrasi/Admin (shutterstock)

Kompasiana itu ibarat gudang. Tempat penyimpanan. Di tempat itu (Kompasiana) tersimpan begitu banyak potensial. Mereka kadang diam membisu (silent reader katanya sih), tapi banyak yang sekali menulis, luar biasa, bahkan bulu kuduk bisa berdiri. Ada yang memang aktif menulis, tak terkira, bahkan ada yang sudah menulis ribuan artikel. Para penulis ini, entah yang masih muda maupun yang sudah agak ubanan adalah orang-orang pintar. Ia, menilik dari jenis-jenis tulisan, dapat dipastikan mereka Smart, Excellent, Brilliant, Piawai dalam hal tulis menulis. Tentu saja dengan gaya bertutur, gaya menulis, ciri khas masing-masing. Tulisan yang begitu banyak dan variatif adalah juga sarana pembelajaran. Berbagi ilmu. Istilah kerennya Knowledge Exchange. Untuk yang ingin menyambangi, membaca, pun menulis di blog keroyokan tersebut, silakan buka di sini: www.kompasiana.com

Ada yang pintar menjalin kata-kata lewat puisi, ada yang suka melucu, bercerita perjalanan hidupnya. Bahkan banyak dokter di Kompasiana ini, ahli hukum, pendidik sampai tukang becak dan penjual bakso pinggir jalan.

Fenomenal. Menurut catatan sejarah probability, Kompasiana ini kemungkinan dihuni not only quite possibly but most probably puluhan ribu kompasianer, aktif maupun pasif. Itu berarti ada puluhan ribu otak untuk dipakai berpikir demi kemajuan bersama. Puluhan ribu pikiran yang bisa dipakai untuk  memikirkan tentang sesuatu.

Kalaupun kita terkadang gagal menuangkan isi otak kita (baca: ide) kedalam bentuk tulisan, bersabarlah. Kegagalan adalah sukses yang tertunda. Asal nggak lama-lama ketundanya, iya kan? Makanya dikit demi dikit belajar untuk mulai menulis buah pikiran kita. Yang gampang-gampang dululah, tuliskanlah kicauanmu tentang apa saja di sekitarmu, tidak perlu berimajinasi terlalu susah dulu, tuliskanlah apa yang ada di depan matamu, apa yang kau lihat, yang kau cium, yang kau raba. Setelah engkau fasih menulis hal-hal yang ada di sekitar, barulah kembangkan imaginasimu. Ada yang menjadi badut, ada yang menjadi politikus, ada yang menjelma  menjadi ahli hukum, pengamat olah raga bahkan juru masak!




Mengenai kegagalan dalam menulis, saya teringat seorang yang bernama William Gold, orang Australia yang lahir bulan Juni 1922. Ia berhasil menulis 8 buku yang sangat tebal serta 7 buah novel selama 18 tahun karir menulisnya! Tapi hanya satu artikel (tulisan pendek) yang laku dijual, dimuat di salah satu harian lokal di Canberra Australia dimana tulisannya dihargai hanya 50 Cents. Makanya orang ini dikenal sebagai penulis terburuk dalam catatan sejarah. Bayangin 18 tahun dalam karir menulisnya, ia cuman mendapatkan 50 Cents untuk satu artikel saja. Kalau kita baru gagal secuil saja, jangan mudah menyerah. Jadikan rumah sehat ini sebagai sarana atau langkah awal keberhasilan kita. Keberhasilan dalam menulis. Apapun bentuk  keberhasilan itu engkau artikan.

Kadang-kadang kita stress dan luka batin menjadi penghambat kita untuk menulis. Tapi tak jarang sebaliknya, mereka yang lagi tertekan, sangat lancar menggoreskan penanya di atas kertas. Juga tidak bisa dipungkiri, apa yang dilihat mata tidak selamanya memang demikian adanya. Seorang pelawak pasti pernah stress, dokter pernah sakit, guru pernah diajar. Penampilan orang bisa menilai, tapi isi hati siapa yang tahu?
Ada seorang dokter yang stress berat karena tekanan pekerjaan. Ia lalu memutuskan, bahwa nanti malam, setelah selesai praktik, ia akan mengajak keluarganya menonton sirkus untuk menghilangkan semua beban yang ada dalam batinnya. Tetapi apa yang terjadi? Di tengah-tengah jam praktik, ia dipanggil ke rumah sakit karena ada pasien yang sedang gawat. Ia buru-buru pergi. Ternyata siapa? Pasien itu adalah badut yang paling kocak dan paling lucu dari rombongan sirkus yang akan ia tonton. Badut yang berhasil menghibur ribuan orang itu berusaha bunuh diri, karena ia tidak tahan memikul luka batinnya. Badut itu menderita luka batin yang parah. Tetapi Cuma dia sendiri yang tahu. Orang lain mungkin mengatakan “Wah, alangkah bahagianya kalau bisa seperti dia! Tidak pernah susah.”

Menyembunyikan atau menekan luka batin, bukanlah jalan yang terbaik. Malah dapat dikatakan, itu adalah jalan yang buruk. Dr.Erick Linderman dari Massachusetts General Hospital adalah perintis studi dan penelitian mengenai luka batin dan segala akibatnya. Ia bercerita tentang seorang perawat yang selama musim dingin merawat ayahnya yang sakit parah, dan yang amat dicintainya. Sering sekali ia meneteskan air mata melihat penderitaan ayahnya itu.

Akhirnya ayahnya meninggal. Seorang rekannya—dengan maksud baik—memberi nasehat agar suster muda itu jangan sedikitpun menunjukkan kesedihan hatinya, terutama di depan ibunya yang menderita penyakit jantung kronis.

Demi cintanya kepada sang ibu, ia berusaha keras menekan luka batinnya. Dan ia berhasil! Di balik wajahnya yang ceria ia menyembunyikan luka batin yang amat dalam. Akan tetapi, ada harga yang harus dibayar. Beberapa bulan kemudian, suster itu menderita sakit maag yang sangat parah. Lambat laun sistem syaraf tubuhnya ikut porak poranda. Akhirnya, tidak sampai setahun ia meninggal. Meninggal karena dibunuh oleh luka batin yang selama ini ia tekan dalam-dalam.


Luka batin jangan ditekan dan dipendam. Kita bisa mengeluarkan, selain uneg-uneg kita, juga luka batin kita lewat tulisan. Tanpa sadar, kadang kita merasa sangat plong setelah menuliskan keluh kesah kita, ungkapan penderitaan kita, harapan-harapan kita, beban berat yang kita pikul. Menulis adalah sarana kita untuk tidak hanya sekedar berbagi cerita, tapi juga sebagai sarana untuk share secara lebih dalam.

Ingin luka batin anda sembuh secara perlahan-lahan? Jangan pendam itu! Mulailah untuk menulisnya. Selain dapat membuat hati anda lebih plong, juga anda telah berbagi. Tulisan anda bisa menjadi sarana pembelajaran bagi para pembaca yang lain.
Mulailah dari dunia sekitar…dan mulailah dari yang gampang…mulailah dari Kompasiana!

Selamat Menulis.
-Mich-

No comments: