Friday, July 11, 2014

Setelah Pilpres Apa? Berbeda Namun Satu!

Bahkan ketika pemungutan suara telah usai pun, ternyata justru semakin memanas konstelasi perpolitikan di tanah air. Selama masa kampanye, segala macam fitnah, pelecehan, dan tuduhan tak berdasar dengan begitu massive dan luar biasa panasnya beredar dimana-mana, terlebih kepada Jokowi. Tak pelak, segala macam isu panas pun beredar di angkasa perpolitikan Indonesia tercinta ini, membuat sebagian kita hanya sanggup megurut dada. Tak tanggung-tanggung, berbagai macam orang dari berbagai kelompok dan kalangan tertentu, termasuk para akademisi pun unjuk gigi angkat bicara. Saking panasnya suhu kampanye kala itu, maka banyak pakar turun tangan, namun tak sedikit pula rakyat kecil yang angkat tangan. Menyerah. Ya, mereka menyerah oleh karena kampanye ini menjurus ke hal-hal yang tidak lagi sehat. Semuanya berlomba-lomba untuk menang, bahkan ada yang akan memakai segala cara, apapun itu, asal kemenangan dapat diraih.Suasana yang tidak kondusif harus kita tata lagi. Suasana yang panas mesti kita dinginkan lagi. Agar tidak terjadi bentrok seperti yang sudah terjadi di beberapa tempat, termasuk yang di Jogya.

Semuanya mestinya akan wajar saja, bila itu kemudian tidak dibumbui dan disisipi berbagai kampanye hitam, super negatif, dan kotor. Seperti yang kerap kita lihat dalam berbagai arena atau gelanggang perang bernama media sosial, media cetak, mapun media debat di berbagai stasiun TV. Pakar politik yang punya kepakaran dan keahlian yang sama saja bisa punya pendapat yang jauh berbeda, sangat bergantung di kubu mana ia berada. Ibaratnya kita lagi melihat Monas. Yang dari Timur dan Barat melihatnya secara berbeda. Sama-sama melihat satu objek yang sama, Monas, tapi dari sudut pandang dan arah pandang yang berbeda. Apa kemudian yang dari Timur dan Barat harus bertikai hanya oleh karena pandangan yang berbeda tersebut? Memangnya Monas itu lebih bagus dilihat dari mana? Timur atau Barat? Paling bagus Monas itu dilihat dari atas. Coba saja kalau nggak percaya.

Kini semakin menampak, aksi dari berbagai pihak yang menamakan diri sebagai “pendukung setia” calon presiden pilihan diri mereka sendiri, mencoba menggelindingkan model kampanye yang selalu saja mengangkat isu SARA, sebagai senjata. Koran Obor Rakyat adalah salah satu contoh. Malah pada masa tenang sekalipun edisi ke-4 tetap beredar. Apakah aparan keamanan tidur saja? Pemrednya saja tidak mau sadar, bahwa itu bukanlah sebuah karya jurnalistik sama sekali. Isinya lebih dari setengah adalah copy paste, setengahnya lagi fitnah dan pelecehan. Suku, agama, ras, dan antar golongan memang acap kali masih dianggap senjata ampuh untuk berkampanye hitam. Menyerang dan mengait-ngaitkan calon tertentu dengan agama tertentu atau golongan tertentu umpamanya. Sesuatu yang menurut saya justru adalah akibat kekerdilan dan kedegilan cara berpikir semata. Kalau kita masih menghormati perbedaan dan kemajemukan, maka jangan sekali-kali kita memanfaatkan perbedaan-perbedaan SARA itu untuk menyerang lawan politik kita, apapun alasan di balik itu. Itu namanya menghalalkan segala cara.

Lantas apakah kemudian kita akan berkata bahwa kalau begitu berarti politik itu kotor? Sama sekali bukan. Yang kotor adalah orang-orang yang berpolitik. Tidak semua memang, namun banyak yang secara terang-terangan memperlihatkan betapa kotornya mereka berpolitik. Politik itu harusnya adalah sarana kita menyalurkan aspirasi terhadap cara pengelolaan negara, termasuk cara memperoleh, menggunakan, dan mengawasi kekuasaan. Jadi bukan politik yang kotor tetapi pelaku-pelakunya. Orang-orangnya. Politikus-politikusnya. Makanya nggak usah heran kalau ada anggapan politikus itu tingkahnya seperti tikus. Gerogoti sana-sini hanya untuk perutnya sendiri. Kalau tidak mau dibilang persis tikus, ya jangan bertingkah seperti tikus. Apalagi dengan omong kosong dan omong besar, bahwa mereka berpolitik demi rakyat.

Kita harusnya memandang hal ini dengan lugas dan terbuka. Begini, bahwa apapun tujuan kita berpolitik dan berkampanye demi memenangkan salah satu calon, maka tujuannya seharusnya diletakkan pada aras yang sama. Apa itu? Jelas sekali adalah demi mewujudkan Indonesia yang lebih baik, lebih maju, lebih sejahtera, lebih makmur, lebih adil, lebih aman, lebih terjamin, lebih hebat, dan lebih bermartabat? Tujuan mulia dan positif. Di luar semua tujuan yang baik-baik itu, maka calon tersebut berarti tidak berjuang untuk masyarakat banyak melainkan hanya untuk kepentingan dirinya dan kelompoknya. Kepentingan perutnya, dan tentu perut TIMSESnya. Namun, jikalaupun tujuan-tujuan mulia itu ternyata hanya sebatas supaya menang doang, setelah itu habis perkara, tidak ada upaya mewujudkannya, itu dosa besar. Dosa abadi yang akan diwariskan sampai ke anak cucu kita. Generasi ke generasi akan mencatat dosa abadi itu dalam catatan sejarah pemimpin pembohong. Jangan sampai seperti itu.

Berbeda-beda Namun Satu Jua

Bukankah dalam rangkaian isi dari visi – misi kedua Capres-Cawapres, baik itu Jokowi-Jk maupun Prabowo-Hatta, adalah memperjuangkan hal-hal yang hampir sama? Nah, kalau dua-duanya bermaksud untuk menjadikan Indonesia ini lebih baik, maka cara-cara yang dipakai juga perlu ditelaah. Apakah kita sudah berpolitik dengan baik dan benar? Apakah kita sudah berkampanye dengan baik dan benar? Ataukah kita malah menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan. Ini harus menjadi itikad bersama, bahwa pemilihan ini mestinya adalah sebuah pesta demokrasi, semuanya berpesta secara positif. Bukan kemudian pilpres ini justru dijadikan ajang pesta fitnah memfitnah, dan pesta jatuh menjatuhkan. Sangat disayangkan.

Sejak dilahirkan ke dunia ini kita ini memang sudah berbeda. Beranjak dewasa kita akan semakin berbeda. Tidak ada satu orang pun yang akan menjelma sama persis dengan orang lain. Bahkan saudara kembar yang struktur genetiknya sama, pastilah ada perbedaan-perbedaan dalam hal tertentu. Tidak akan ada dua individu yang sama persis. Hobi kita beda. Keinginan kita beda. Kepentingan kita beda. Cara pandang kita beda. Orientasi kita beda. Bahkan keyakinan kita pun pastilah akan berbeda satu sama lain. Perpedaan dan keragaman itu sudah ada dari sejak manusia diciptakan, dan akan begitu terus selamanya. Perbedaan itu hakiki adanya. Bahkan kalau boleh saya bilang, perbedaan dan keragaman itu adalah hak asasi setiap manusia, tidak bisa tidak. Itu tandanya bahwa Tuhan memang menghendaki supaya ada perbedaan dan keragaman. Kalau kita menolak perbedaan dan keragaman, perlahan namun pasti, kita berarti sementara membiarkan benih-benih otoriterianisme dan diktatorianisme tumbuh dan berkembang.

Segala sesuatu di alam semesta ini saling berbeda. Itu adalah kodrat yang sangat ilahi. Artinya, Allah Sang Maha Pencipta tentu memang menghendaki kita supaya berbeda. Makanya, apapun di alam semesta ini pasti ada perbedaan sana-sini. Apapun itu. Tiap buah mempunyai rasa yang berbeda. Alangkah sengsaranya kita bila buah mangga, manggis, pepaya, pisang, jambu air, jambu batu, kelapa, rambutan, dan lain sebagainya itu rasanya sama semua. Kemajemukan rasa inilah yang semakin memperkaya hidup kita. Jadi jangan pernah dipaksakan untuk diseragamkan atau hendak dibuat supaya menjadi satu rasa saja, dan sama semuanya. Jangan pernah. Demikian juga dalam perbedaan pilihan, entah itu pilihan hidup maupun pilihan politik. Pilihan calon Presiden juga pastilah akan berbeda. Perbedaan itu harus kita terima dan syukuri. Itulah Bhinneka Tunggal Ika. Nomor satu atau nomor dua, itu juga adalah sebuah pilihan.

Menurut Dr. Andar, Semboyan Bhinneka Tunggal Ika sebetulnya adalah salah satu ragam sastra puisi dalam tuturan sastra Kawi yang termuat dalam Kitab Sutasoma karangan Mpu Tantular. Ia adalah seorang pujangga agama Buddha abad ke-14 di Kerajaan Majapahit. Arti ungkapan itu adalah “Berbeda-beda namun satu”, atau juga, “Berbeda itu, satu itu”. Nah, kemudian hari, setelah Republik Indonesia ini lahir, kalimat Mpu Tantular yang sudah berusia ratusan tahun itu diambil dan dipakai menjadi semboyan resmi republik kita ini. Sebab pada hakikatnya kita memang berbeda-beda, namun kita ini satu jua adanya. Satu nusa, satu bangsa, satu bahasa: INDONESIA.

Mpu Tantular menuliskan semboyan yang sangat terkenal itu sekitar abad ke-14 itu. Kala itu wilayah Kerajaan Majapahit sangatlah luas, yaitu Selain meliputi Indonesia, ia juga mencakup sebagian wilayah yang sekarang adalah Malaysia dan Singapura. Di Kerajaan Majapahit tersebut konon hiduplah penduduk dari ratusan etnik dengan berbagai macam jenis bahasa dan latar belakang. Agama yang mereka anutpun bermacam-macam. Ada Buddha, Hindu, serta ratusan agama suku lainnya. Namun mereka semua tetaplah hidup berdampingan secara damai dan rukun. Kesemuanya itu adalah bukti bahwa meskipun penduduk Majapahit berbeda-beda, namun toh mereka ternyata dapat bersatu padu, hidup rukun demi mendatangkan kesejahteraan bagi Kerajaan majapahit. Jiwa keterpaduan itu digambarkan oleh Mpu Tantular dengan kata-kata, “Bhinneka Tunggal Ika”.

Kerajaan Majapahit masih begitu kuno, ia ada di abad ke-14. Bangsa Indonesia lahir, dan kini telah hidup di abad ke-21. Namun pada kenyataannya, bisa jadi justru Majapahit masih lebih modern dari Indonesia dalam hal menghargai perbedaan. Sebab di Republik ini kita masih begitu sulit menghargai sebuah perbedaan. Baik itu perbedaan gender, etnik, budaya, adat istiadat, pilihan hidup, pilihan politik, dan apalagi pilihan agama. Masakan kita harus tunggu dulu Mpu Tantular bangkit dari kuburnya untuk datang mengajarkan kepada kita tentang betapa pentingnya menghargai sebuah perbedaan, supaya kita dapat berjaya seperti Kerajaan Majapahit pada masanya? Semoga kita akan semakin mampu dan semakin bijak menghargai sebuah perbedaan. Apapun itu. Salam dua jempol. —Michael Sendow—

No comments: