Perlunya Belajar Budaya dan Kebiasaan Unik Orang Lain
Kadang
kita merasa lucu melihat sebuah prilaku, atau kebiasaan, atau budaya,
atau adat yang baru pertama kali kita lihat, dan menurut kaca mata kita,
apa yang kita lihat itu lucu dan unik. Pantas ditertawai. Tidak jarang
kita merasa geli lantas menertawakannya. Sering juga, kita menjadi gemas
lantas mengejekinya. Bahkan pun kita marah dan mengumpatinya manakala
kita tidak suka.
Padahal perbedaan budaya, adat istiadat, dan kebiasaan sebuah kelompok
atau komunitas musti dihargai sebagaimana adanya ia. Itu adalah sebuah
keniscayaan. Sesuatu yang tidak bisa tidak harus seperti itu.
Ketidaksukaan kita tidak lantas menjadikan kita dapat berlaku seenaknya,
merasa bahwa budaya atau kebiasaan yang kita punya itu sudah paling
hebat dan bagus. Kalau kita merasa memang harus ada perasaan dan
pengakuan semacam itu, ya simpan saja di dalam hati, tidak perlulah
diumbar sembari memutlakkannya serempak menisbikan budaya milik orang
lain yang kita anggap aneh.
Di Amerika yang terkenal sebagai ‘negara pendatang’, karena dipenuhi
banyak imigran (baik yang ‘terang’ maupun ‘gelap’ – istilah untuk yang
resmi dan tidak resmi). Apalagi New York yang sudah dikenal sebagai ‘’melting pot’,
tempat menyatunya segala macam ras, etnis, budaya, bahasa, dan bangsa
manapun tentu akan ada banyak persinggungan budaya. Sudah pasti
perjumpaan-perjumpaan dengan budaya, kebiasaan, dan adat yang aneh akan
jamak kita temui. Saya sudah begitu sering ‘beririsan’ serta
‘bersentuhan’ dengan bermacam perbedaan itu belasan tahun lamanya. Dan
tentu juga saya musti berusaha membuang jauh-jauh apriori terhadap
segala macam perbedaan itu. Bagi saya itulah kekayaan New York. Justru
dengan demikian juga saya belajar dapat banyak hal di balik segala
bentuk perbedaan itu. Bahwa semakin beragam semakin indah.
Melihat orang Jamaica makan buah avocado
(alpukat) campur nasi sudah biasa. Melihat laki-laki bersorban asal
India yang ketika sorbannya dibuka maka rambutnya bisa terurai mencapai
lutut, sudah sering. Katanya, ‘haram’ bagi pria asal daerah di mana dia
tinggal untuk memotong rambut. Melihat direktur perusahaan, bahkan
pemilik perusahaan (owner) angkat-angkat kardus dipenuhi botol wine (anggur) ke truk angkutan barang, itu juga sudah biasa. Rupa-rupanya boss tidak musti hanya duduk dibalik meja dan main perintah doang.
Direktur saya bahkan sangat senang angkat-angkat barang sendiri setiap
hari. Ada juga kebiasaan anak sekolah yang angkat kaki di atas meja
walau ada gurunya di situ. Kesal juga ngeliatnya, tapi ya begitulah.
Lalu, entah berlaku secara umum atau tidak, tapi ternyata seorang pria di Lebanon diperbolehkan untuk bercinta atau berhubungan badan dengan binatang asalkan binatang itu betina. Hukuman mati akan dikenakan bagi pria yang ketahuan berhubungan dengan binatang jantan. Luar biasa aneh. Tapi apa mau kita bilang?
Masih ada yang lebih gila lagi, saya pernah baca bahwa di Hongkong istri yang dihianati atau diselingkuhi, maka adalah sah secara hukum untuk membunuh suaminya yang selingkuh itu. Tetapi ia hanya diperbolehkan membunuh dengan hanya menggunakan tangan kosong. Bagaimana bisa ya? Padahal, bila itu wanita maka selingkuhannya boleh dibunuh dengan cara apapun.
Sekarang tidak usah kita bicara jauh-jauh dan panjang lebar. Budaya di
meja makan saja pasti berbeda-beda. Apabila yang duduk adalah
orang-orang yang datang dari berbagai bangsa dan latar belakang budaya
yang berbeda-beda, Anda lihat saja keunikan yang bakalan muncul di meja
tersebut. Saya pernah duduk satu meja dengan orang-orang yang datang
dari berbagai bangsa. Apa yang terjadi? Kelucuan demi kelucuan.
Orang Amerika makan dengan garpu (jarang saya temui sendok untuk
dipakai makan di rumah-rumah orang Amerika asli). Orang Cina makan pakai
sumpit. Indonesia (termasuk saya) makan pakai sendok dan garpu. Tapi
ternyata ada yang makan pakai tangan juga lho (kalau yang beginian sudah sering saya lihat dilakukan sebagian orang Padang dan Minahasa,) beberapa yang asal Afrika.
Waktu di meja makan itu, ada satu orang Myanmar yang terus berdahak
sementara makan. Tiba-tiba kawan saya berdiri dan marah-marah, katanya
tidak sopan berdahak di meja makan. Saya tenangin dia, terus saya bilang
itukan kata kita tidak sopan, tapi ternyata di Myanmar mereka biasa
begitu dan wajar saja. Jadi kita coba saja mengerti dia, dan bilang
baik-baik, ngapain teriak-teriak marah, orang Myanmar itu malah melongo heran.
Tadi malam saya pergi untuk makan malam bersama rombongan dan salah
seorang direktur perusahaan kami yang baru datang dari Cyprus, di Peking
Duck MKG. Waktu saya tawarkan daging yang dipenuhi rawit yang
dipotong-potong ia mengangguk. Saya tawarin terus. Ia kembali mengangguk
sementara mulutnya masih dipenuhi makanan. Saya heran, ia mengangguk
tapi tak mau ambil piring yang saya sodorkan. Selesai mengunyah ia
bilang “No Mike”. Saya bilang, “lho Anda bilang ‘no’ tapi kenapa
mengangguk?” Dia terus bilang begini, bahwa ya begitulah cara dia,
mereka bilang tidak dengan mengangguk. Ada-ada saja. Saya jadi teringat
sebagian orang India yang bilang ‘yes..yes..yes…’ dengan menggelengkan
kepala.
Kemudian malam ini saja kembali berpikir, ternyata tidak ada
kemutlakkan dalam menilai kebaikan atau kebenaran sebuah budaya,
prilaku, atau kebiasaan tertentu. Apa yang kita rasa sudah harus seperti
itu adanya, ternyata tidak musti selamanya seperti itu adanya. People are changing, and the way people think also changing. Mari
kita belajar semakin banyak tentang apa-apa yang berbeda. Sebab berbeda
itu ternyata indah juga. Dan lagi, supaya kita boleh semakin mampu
menghargai perbedaan itu, dan tentu saja semakin diperkaya olehnya.
No comments:
Post a Comment