Pilihan Untuk Tidak Memilih Partai Agama, Apa Dasar Utama Kita Memilih Partai Berlabel Agama Tertentu?
Bertahun-tahun mengikuti pemilihan umum, saya
tidak pernah tertarik dan mungkin belum akan tertarik untuk memilih
partai yang berlabelkan agama. Partai yang menonjolkan identitas
keagaamaannya sebagai dasar partai tersebut. Tapi kenapa? Karena bagi
saya pribadi, memilih itu, pemilihan umum itu bukan berdasarkan agama
kita, tapi kita memilih sebagai warga negara. Tidak lebih tidak kurang.
Saya setuju dengan pendapat Prof Sahetapy beberapa tahun yang lalu yang
kurang lebih mengatakan seperti ini, election not by religion but as citizen. Kita memilih bukan karena alasan agama, tapi karena kita adalah warga negara.
Lantas kenapa pilihan untuk tidak memilih “Partai
Agama” serasa sangat tepat. Begini, mari kita jujur berpendapat. Apa
untungnya partai berlabel agama (apapun itu) untuk kita pilih? Apakah
karena kemudian mereka akan memperjuangkan masyarakat yang memilih
mereka, dalam arti kesejahteraan, kemakmuran, kemudahan demi kemudahan
akan nyata dirasakan? Atau label agama hanya dipakai sebagai mesin
penarik suara rakyat dengan tujuan memenangkan pemilu? Saya sangsi dan
ragu. Fakta sudah membuktikan, siapapun kader partai yang terpilih
kebanyakan hanya akan memikirkan bagaimana memperkaya diri dan keluarga,
itu sudah terang benderang. Lalu apa bedanya kita memperjuangkan partai
berlabel agama? Yang jadi malah seperti ini, right or wrong it’s still my religion, terdegradasi makna menjadi, right or wrong it’s still my party.
Benar atau salah, itu tetap partai saya. Karena ada label agamanya,
maka saya kemudian harus memperjuangkan dan memenangkan partai tersebut
terlepas dari baik atau buruknya kelakuan petinggi dan pemimpin partai
tersebut. Kita dituntut memilih secara membabibuta hanya karena agama
yang diusung partai itu adalah agama saya juga.
Kemudian akan menjadi soal besar, dan terlihat
sangat mengada-ada bila kemudian partai berlabel agama itu berkoar-koar
seakan-akan memilih partai tersebut berarti menghormati, menjunjung, dan
memuliakan agama yang disandangnya. Lucunya, bila ada beberapa partai
yang menyandang agama yang sama, katakanlah tempo hari ada Partai
Kristen Nasional (Krisna) kemudian ada Partai Kristen Demokrat (PKD),
ini tentu akan menjadi pemicu pendapat bahwa partai Kristen sayalah yang
paling betul, atau partai Kristen sayalah yang paling benar. Demikian
juga bila ada Partai Islam Nasional dan PKS misalnya, sama-sama
menyandang partai berlabel agama, pasti yang terjadi adalah ‘bentrok
antar pemeluk agama yang sama’. Ini keniscayaan dalan dunia politik.
Kalau demikian adanya, apa manfaat paling hakiki
berdirinya partai-partai agama tersebut? Kalau boleh saya sediki berkata
lancang, partai-partai itu terbentuk untuk menarik suara massa
berbasiskan agama yang dianut. Tidak lebih. Kadang-kadang, dipertajam
dengan seruan-seruan, pidato-pidato, dan ajakan-ajakan yang sepertinya
‘membakar’ sense of belonging pengikut partai bahwa mendukung
partainya itu berarti mendukung pula agama yang dianutnya, memunculkan
fanatisme membabibuta pada tataran tertentu. Padahal, tidak ada kesertamertaan bahwa mendukung dan membela partai itu sama dengan membela agama.
Apalagi, partai itu bukan Gereja atau Mesjid.
Mau diakui atau tidak,
kenyataan membuktikan dan sudah berbicara, bermain kotor, licik, korup,
dan sebagainya itu, kalau di dunia politik adalah ‘barang halal’,
walaupun sembunyi-sembunyi, hal mana tidak boleh terjadi dalam agama.
Pengalaman melihat, bahkan sedikit mengikuti
pemilihan di Amerika, telah banyak membuka mata saya. Di sana itu hanya
ada tiga partai, dua partai besar yaitu Demokrat dan Republik, serta
partai Independen bagi yang tidak memilih keduanya. Dan ketiga partai
ini bukanlah partai berlabelkan agama manapun. Ranah agama
seharusnya tetap dipermuliakan di mana ia seharusnya berada, ketika
agama dibawa-bawa dan ditarik-tarik memasuki dunia politik, ia justru
akan tercemari dan menjadi kotor.
Tidak percaya? Silahkan tengok petinggi-petinggi
partai berlabel agama yang ketangkap tangan melakukan korupsi, perbuatan
asusila, dan bermain kotor untuk mendapatkan posisi dan jabatan, apa
yang lantas ia rusak? Bukan hanya dirinya, tapi label agama di partai
yang ia tongkrongi. Partai-partai seperti ini, saya rasa bukan lagi
memuliakan agama, tapi cenderung merusak nilai-nilai keagamaan yang ada.
Apalagi kalau tujuan berlabelkan agama, untuk mendulang suara sebanyak
mungkin, ini sudah sangat memalukan. Kita tidak lagi diajar untuk
memilih karena kita adalah warga negara yang baik, tapi agama yang kita
anut dijadikan ‘mesin pencetak suara’ semata. Hasilnya? Banyak pemimpin
partai yang jadi kaya, sedangkan grass root-nya tetap miskin melarat, dan demonstrasi melulu kerjaannya. Kasihan sekali.
Pemilihan presiden di Amerika selalu saja diikuti
oleh orang-orang yang sudah benar-benar kaya. Ada pemilik perkebunan
terbesar di Amerika, ada pengusaha dan punya perusahaan kecap serta saus
tomat terbesar, ada yang punya perusahaan minyak, ada yang menjadi lawyer
kaya, punya peternakan besar, dan sebagainya. Ini meminimalisir
keinginan memperkaya diri ketika terpilih nanti, dan terbukti bahwa
jarang atau hampir tidak ada pejabat tinggi ditemukan korup di sana,
kalau main perempuan mungkin iya. Lha, di negeri kita ini bagaimana?
Pengeluaran habis-habisan gara-gara kampanye, pasti akan ditebus
manakala terpilih menjabat. Sudahlah, tak perlu dijelaskan panjang
lebar. Itu sudah menjadi bagian sejarah panjang negeri ini, yang
nyatanya luput ditulis oleh buku-buku sejarah yang beredar luas di
sekolah-sekolah.
No comments:
Post a Comment