Sejak kita dilahirkan sampai rambut kita beruban, kita sudah diperhadapkan
dengan budaya. Kita bersinggungan dan bahkan hidup dalam lingkungan budaya
tertentu. Budaya apa pun yang melingkupi setiap gerak langkah kita, haruslah
kita hargai dan posisikan sebagai mana mestinya.
Sebagai buah dari enkulturasi,
maka kita menjadi orang yang berbudaya. Hal itu tentu saja baik, namun serempak
ada bahayanya bahwa kita hanya mengenal budaya kita sendiri dan buta terhadap
budaya lain.
Menurut seorang filsuf terkenal bernama Aristoteles, demokrasi timbul dari
ide yang mengatakan bahwa semua manusia yang dalam hal tertentu memiliki
persamaan, sesungguhnya pada hakikatnya memang sama. Karena semua manusia sama-sama bebas maka semua
manusia secara mutlak memiliki kesamaan hak. Nah, saya lalu berpikir apa kesamaan
hak yang paling hakiki? Jawabannya adalah bahwa mereka berhak memilih. Apapun pilihan mereka itu adalah hak mereka
yang harus kita hormati. Oleh sebab itu pula, apapun budaya yang melingkupi
seseorang yang sudah dipilihnya, patut dan semestinya kita hormati. Sebagaimana
mereka menghormati budaya kita. Atau adap istiadat yang kita anut. Kalau kita
hendak memaksakan budaya kita supaya diikuti orang lain, itu berarti serempak
kita sementara menolak keberagaman dan diversity
kita sebagai suatu bangsa yang besar. Padahal di negeri sebesar Nusantara ini, multicultural dan diversity adalah sebuah keniscayaan.
Keragaman budaya atau “cultural diversity” di Indonesia
adalah suatu kenyataan. Dan kenyataan ini tidak mesti dan tidak boleh kita
tolak. Tapi memang pada satu sisi kenyataan itu bisa menjadi potensi yang
teramat bagus. Potensi yang tidak berkesudahan kalau kita mampu mengelolanya,
tapi di sisi lain dapat memunculkan konflik. Kenapa? Ya, kalau kita tidak mampu
mengatur dan saling menghargai keberagaman budaya yang ada, dapat saja memicu
suatu konflik. Kita harus memiliki apa yang saya istilahkan sebagai “multicultural
management” dan “multicultural
understanding.”