Monday, May 9, 2016

Ahok dan Korupsi


Ahok (Pic Source: Kompas.com)


Corruption is the enemy of development, and of good governance. It must be got rid of. Both the government and the people at large must come together to achieve this national objective.---- Pratibha Patil

Korupsi memang sudah menjadi common enemy bagi banyak orang, baik dia seorang warga biasa, ataupun dia seorang pejabat yang duduk di lembaga pemerintahan. Korupsi adalah musuh pembangunan, dan musuh abadi sebuah pemerintahan yang bersih. Korupsi itu penyakit. Ia harus benar-benar dihilangkan dan diberantas habis. Menurut Patil, korupsi ini harus diberantas baik oleh orang banyak pun oleh pemerintah yang baik, keduanya mestinya bekerja secara bersama-sama untuk tujuan itu. Gotong royong. Ini adalah ‘national objectice’, yang mesti dicapai secara bersama pula.

Makanya saya heran ketika ada begitu banyak pihak yang seakan-akan pro koruptor dan malah begitu amat mencintai korupsi. Mereka adalah orang-orang atau pejabat-pejabat yang tidak tau diri dan tak punya malu lagi. Sampah negara! Apalagi belum lama ini saya baca ada yang mengibaratkan korupsi sebagai oli pembangunan, atau oli (minyak pelumas) dalam perpolitikan di sebuah negara? Bagi saya yang bicara itu manusia sakit jiwa. Korupsi tetaplah korupsi apapun alasan dibalik tindakan itu.

Di sisi yang lain, saat ini di Jakarta, Ahok dengan segala sikat tegas dan terlihat selalu mengumbar amarah karena ia sudah begitu muak terhadap korupsi, suap, kemalasan, eeh ternyata justru dituduh dan dicecar dengan berbagai tuduhan melakukan tindak pidana korupsi. Dan ternyata, toh sampai detik ini tidak terbukti sama sekali. Bahkan yang menuduh dan mencecar Ahok, satu demi satu sudah mulai memakai rompi orange. Ini artinya senjata makan tuan, air comberan terpecik ke muka sendiri. Satu tangan menunjuk ke depan, ada empat jari menuding diri sendiri. Inilah sebetulnya para ‘tikus-tikus got', dalam istilah lagu Iwan Fals, yang semestinya justru harus dibasmi habis. Mereka berteriak-teriak lantang dengan tujuan tak jelas tetapi malah memakan uang rakyat dan korupsi secara berjemaah. Sampah negara!

We are made wise not by the recollection of our past, but by the responsibility for our future, demikianlah kata George Bernard Shaw. Kita menjadi bijaksana tidak oleh karena kumpulan masa lalu yang tak jelas juntrungannya, akan tetapi oleh tanggung jawab kita terhadap masa depan. Ya, masa depan negeri ini. Masa depan anak cucu kita. Masa depan bangsa yang bebas dari korupsi dan suap.

Hanya nuranilah yang dapat memastikan secara hitam putih mana pejabat yang benar-benar berjuang dan berkorban demi tugas dan tanggungjawabnya, dan mana yang tidak sama sekali. Mana yang benar-benar demi pengabdian, dan mana yang nggak. Mana yang jujur, bersih, transparan serta profesional dan mana yang nggak. Hanya hati nurani yang bersihlah yang dapat benar-benar mengatakan hitam itu hitam dan putih itu putih.

Kalau hati kita sudah dibutakan oleh kebencian dan rasa ketidaksukaan, maka percayalah makanan enak pun akan terasa kotoran hewan di mulut kita. Bau sedap ayam panggang pun akan tercium kotoran kuda di hidung kita. Indahnya bunga justru akan terlihat layaknya rumput penuh onak dan duri di mata kita. Ya, itulah kita, manusia biasa yang gampang terbuai namun gampang juga terhasut. Manusia yang acap lalai memaknai arti perubahan. Manusia yang kerap memutlakkan yang nisbi serempak menisbikan yang mutlak.

Ahok lagi berusaha membenahi Jakarta sekuat yang dia mampu. Masakkan tidak ada sedikit saja rasa terima kasih dan penghargaan kita bagi dia? Semoga Jakarta akan semakin maju dan menjadi kota yang benar-benar disegani kota besar lainnya. ---Michael Sendow----

The way you see people is the way you treat them, and the way you treat them is what they become (Johann Wolfgang von Goethe)

No comments: