Monday, May 25, 2015

Awas, Caleg Gila!

“I am free, no matter what rules surround me. If I find them tolerable, I tolerate them; if I find them too obnoxious, I break them. I am free because I know that I alone am morally responsible for everything I do.” ― Robert A. Heinlein

Setiap kita mesti bertanggungjawab atas apa yang telah kita buat. Hanya kita, yang harus mempertanggungjawabkan kepada Tuhan apa yang sudah kita buat, yang kita sementara buat, dan akan buat nantinya. We are morally responsible for everything we do. Semua kegilaan kita yang menyeruak muncul akibat frustasi dan depresi, adalah juga tanggungjawab kita, bukan orang lain.

Pemilu legislatif sudah usai, dan sampai sekarang, sedikit demi sedikit mulai bermunculan ke permukaan berbagai caleg gagal yang jadi caleg gila, atau yang akan segera jadi caleg gila. Pastinya, belum ada data resmi berapa banyak caleg gagal yang mesti diinapkan di RSJ, namun jumlahnya semakin meningkat.

Fakta sudah berbicara lebih dari cukup. Dari berbagai pemberitaan di media seluruh Indonesia, nampak jelas bahwa caleg gagal yang bermetamorfosis menjadi gila, ataupun yang sekedar berpotensi menjadi gila sudah semakin banyak. Tidak sedikit juga yang mengunjungi paranormal untuk minta petunjuk. Ini yang saya bilang sebagai political disorder. Sakit luar biasa akut yang menjadikan mereka sebetulnya tidak layak menjadi wakil Anda dan saya. Menjadi wakil kita.

Sebelum pileg dimulai, mereka acap kali mengunjungi dukun biasa serta dukun politik demi mencapai tujuan utamanya, sekali lagi bukan sebagai wakil rakyat, tapi dengan tujuan memenangi pileg DEMI DIRI SENDIRI. Saya lihat di TV, ada dukun yang pasang harga dari jutaan, miliar, bahkan 1 triliunan untuk level Presiden. Ia jamin, kalau pakai jasanya, pasti jadi sesuai yang dinginkan. Masalahnya, kalau ada 5 calon Presiden bayar 1 triliuan, apakah kemudian Indonesia akan mendapatkan 5 Presiden sekaligus? Luar biasa. Ya, luar biasa menggelikan. Apakah ada jaminan caleg-caleg model begini memang dapat berfungsi sebagai wakil kita? I don’t think so.
 
Nah, para caleg-caleg inilah yang ketika gagal, maka berpotensi besar menjadi gila. Implikasinya sangat kentara dan sudah tercium baunya. Apa itu? Bila gagal, maka apapun yang sudah dikeluarkan akan diupayakan untuk diambil kembali, bila perlu dengan memakai segala macam cara. Makanya saya amat sangat yakin, untuk memuluskan jalan mencapai kemenangan, mereka-mereka itu juga niscaya akan dengan senang hati menghalalkan segala cara. Tidak ada ketulusan di sana. Dan, tidak ada kemurnian untuk menjadi wakil kita. Maka kita semestinya patut berbela sungkawa sedalam-dalamnya, bila mendapatkan wakil-wakil seperti mereka itu. Kita harusnya malu. Kita mestinya kecewa.

Criss Jami (Diotima, Battery, Electric Personality) bilang, “Man is not, by nature, deserving of all that he wants. When we think that we are automatically entitled to something, that is when we start walking all over others to get it.” Jelas sekali, ketika Anda mencalonkan diri untuk menjadi wakil rakyat, apapun konsekuensinya, bila tujuanmu tulus, maka hasil apapun di lapangan harus siap diterima dengan lapang dada. Tidak ada yang dapat Anda klaim dan dengan demikian menjadi 100% hak Anda. Apapun yang dicoblos oleh jari-jari yang mencoblos, itulah hasil yang harus Anda terima. Apapun itu.

Setiap kali pemilu, peristiwa caleg gila akibat gagal menjadi anggota dewan memang sudah menjadi fenomena lumrah. Katakanlah sebagai fenomena lima tahunan. Pada Pileg 2009 lalu umpamanya, setidaknya Kementerian Kesehatan mencatat ada sekitar 7.736 caleg gila di seluruh Indonesia. Perinciannya seperti ini: Caleg gila untuk DPR RI sebanyak 49 orang, DPRD provinsi sekitar 496 orang, untuk DPD 4 orang dan DPRD kabupaten dan kota berkisar 6.827 orang. Sebuah angka statistik yang fantastis tentunya. Indonesia rasa-rasanya perlu satu lembaga khusus untuk menangani fenomena caleg gila ini. Namakan saja lembaga itu sebagai: Lembaga Penanganan Caleg Gila disingkat LPCG.

Jumlah caleg gila bisa jadi akan meningkat tajam usai pileg 2014 kali ini. Sudah ada beberapa catatan dan cerita bagaimana sejumlah caleg gagal kemudian berbuat ‘gila’ di beberapa daerah. Keterwakilannya juga hampir dari semua partai. Merata.

Ada caleg yang merebut paksa kotak suara ketika petugas baru saja merampungkan penghitungan suara. Ada juga caleg yang jadi gila lantaran mendapat suara sangat sedikit, ujung-ujungnya ia menarik kembali bantuannya untuk mushola di sebuah kecamatan di Jawa Timur. Sebanyak 2.000 batu bata, 10 sak semen dan satu truk pasir diminta kembali. Bayangkan saja, sumbangan untuk tempat ibadah ditarik kembali? Betapa nistanya orang-orang seperti ini, apalagi berkoar-koar seakan-akan mau menjadi wakil rakyat. Wakil apaan coba?

Ada caleg yang marah-marah dan berdemo karena tidak terpilih. Ada yang memblokir jalan. Ada yang teriak-teriak persis orang gila. Misalnya juga kisah tragis caleg gagal lainnya yang ada di Maluku. Ia bersama sejumlah pendukungnya melakukan aksi demonstrasi ke beberapa desa di Kecamatan Waeapo, Kabupaten Buru, Maluku, setelah mengetahui bahwa ia tidak mendapat dukungan suara dari masyarakat setempat. Aneh, dukungan kok mau dipaksakan? Harusnya dia mengoreksi diri kenapa sampai tidak terpilih.

Aksi gila lainnya dilakukan caleg gagal di Kabupaten Klungkung Bali, ia rupa-rupanya gagal meraih dukungan mayoritas masyarakat. Lantas demi menjawab kekecewaannya ia kemudian memblokade akses jalan warga di sekitar rumahnya di Nusa Penida. Serta masih ada begitu banyak contoh kasus lainnya. Sikap-sikap yang menunjukkan kurang dewasanya kita berpolitik. Tak takut maju namun takut kalah. Senang bila menang namun menjadi gila tatkala kalah. Inilah arogansi calon wakil rakyat yang siap menang dan tak siap menerima kekalahan. Sungguh kasihan. Bagaimana nasib rakyat bila mereka terpilih? Caleg gila ini dapat mengkerdilkan arti demokrasi.
Harusnya semakin hari kita semakin dewasa dalam berpikir. Sikap-sikap seperti yang ditunjukkan oleh sebagian caleg gagal yang menjadi gila itu adalah muara kekerdilan cara pikir. Bagaimana bisa Anda akan menjadi wakil rakyat kalau sikap-sikap seperti itu yang dipertontonkan? Tak mustahil, masyarakat yang tidak memilih Anda akan mengurut dada, menengadahkan tangan, sembari berucap, “Syukurlah bukan dia yang saya pilih!” —Michael Sendow—
“For time and the world do not stand still. Change is the law of life. And those who look only to the past or the present are certain to miss the future”—John F. Kennedy

No comments: