Monday, June 16, 2014

Turun Tangan Menjadi Orang Baik dalam Pilpres 2014

Ajakan salah satu jubir dan tim pemenangan Jokowi-JK, Anies Baswedan yang terus mengumandangkan ajakan kepada orang baik untuk mendukung orang baik tentu perlu kita apresiasi. Di berbagai kesempatan, Anies selalu menggagas gerakan turun tangannya itu. Orang baik yang diajak supaya turun tangan untuk melakukan kebaikan. Pencetus Indonesia Mengajar ini ternyata tak pernah pupus harapan untuk menciptakan Indonesia yang lebih baik menjadi kenyataan. 

Dia mengerti betul, bahwa manusia adalah aset utama suatu bangsa, bahwa dengan membangun manusianya maka suatu bangsa akan menjadi kaya. Ini tidak terlalu mengherankan, karena Anies adalah seorang tokoh pendidikan muda yang kita miliki saat ini, dan menjabat sebagai rektor Universitas Paramadina. Maka itu, tidak mengherankan pula ketika ia mengatakan (sesuai sejumlah tulisan yang beredar yang dikutip banyak orang) bahwa pola pemikiran yang menganggap gas, minyak, dan hasil tambang adalah kekayaan utama suatu negara adalah pola pemikiran kolonialisme. Menurutnya, justru kekayayaan utama dan terbesar suatu bangsa adalah manusianya. Rakyatnya. Masyarakatnya. Warga negaranya. Seperti itu. Tentu ia tidak bermaksud menisbikan SDA yang kita miliki, hanya saja dia menekankan kepada sesuatu yang ia anggap harus lebih dulu ada, yaitu kualitas SDM.

Sekarang kembali ke pernyataan orang baik harus turun tangan mendukung orang baik. Semua orang baik semestinya berkumpul dan bersinergi untuk menciptakan Indonesia yang lebih baik, terlepas dari golongan dan latar belakang apa orang itu berasal. Terlepas dari agama dan kesukuan apa orang itu berasal. Nah, ini artinya orang baik itu bisa datang dari mana saja dan siapa saja. Orang baik bukan milik suku tertentu, agama tertentu, dan golongan tertentu. Ia ada dimana-mana dan tersebar dimana-mana. Orang-orang baik yang tersebar itulah yang diajak untuk turun tangan. Sekarang muncul pertanyaan selanjutnya, apa sih kriteria orang baik?

Saya mempunyai sebuah cerita. Begini, konon ada tiga orang koruptor yang diperiksa di pintu Neraka. Berkatalah sang penjaga Neraka kala itu, “Anda bertiga akan disiksa di satu tempat yang sama seumur hidup!” Lalu mereka kemudian diantar ke suatu rumah. Itu adalah awal cerita gubahan novel berjudul No Exit karya Jean Paul Sartre seorang filsuf terkemuka asal Perancis.

Kata penjaga, “Inilah rumah penyiksaan kalian bertiga.” Ketiganya langsung masuk kerumah itu dan mulai melihat-lihat isi rumah tersebut. Ternyata isi rumah itu sangat menyenangkan. Ada rak buku, TV, ada kulkas, ada AC, dan sebagainya. Segala sesuatunya tersedia dengan lengkap. Lantas dimana alat-alat penyiksaannya? Katanya ini rumah penyiksaan? Alat-alat itu tidak nampak di rumah itu, ini tentu saja membuat ketiganyapun menjadi lega.

Tetapi, beberapa hari kemudian mereka mulai merasa tersiksa. Apa alasannya? Yang seorang berkata, “Tabiatmu ini aneh dan menyebalkan!” Yang lainnya pun berkata tak kalah garangnya, “Sifatmu lebih aneh lagi. Aku juga sebal!”. Begitulah mereka akhirnya saling benci dan memusuhi satu sama lain, dan akibatnya makin lama mereka menjadi makin tersiksa.


Anda tahu, bahwa substansi novel setebal 200 halaman ini telah diungkap oleh ketiga karakter itu. “Aku baru tahu sekarang. Yang namanya neraka adalah seperti ini. Sungguh menyebalkan. Neraka adalah tempat aku harus hidup bersama orang lain. Aku tersiksa. Orang lain adalah neraka. Dan, neraka adalah orang lain!” (Seperti yang dapat terbaca lengkap dalam tulisannya Dr. Andar Ismail berjudul Orang lain: Surga atau Neraka)

Novel yang terkesan sederhana ini sebenarnya merupakan sejumlah dalil filsafat eksistensial yang pelik, namun dibungkus dalam bentuk narasi. Sartre menekankan bahwa manusia mempunyai kebebasan mutlak untuk menentukan arti dan arah keberadaan dirinya. Tiga orang dalam novelnya itu juga sebetulnya memiliki pilihan yang mutlak ditentukan oleh diri mereka sendiri. Ingin menjadi neraka bagi orang lain atau tidak. Kemudian mereka juga punya kebebasan menetukan arah hidup mereka, akankah mereka menganggap orang lain sebagai musuh (neraka) atau sebagai sahabat. Katanya kemudian, “We are stuck with each other forever. There is no need for instruments of torture. Real hell is other people!” Tidak butuh alat-alat penyiksaan, karena neraka yang sesungguhnya adalah orang lain.

Kriteria Orang Baik

Merumuskan atau mendefinisikan apa dan siapa orang baik itu memang tidak mudah, tapi juga tidak terlalu sulit. Kalau menurut saya pribadi, orang baik itu dalah mereka-mereka yang dapat menciptakan sorga di bumi bagi kehidupan orang lain. Mereka yang mampu menghadirkan sorga di bumi untuk dirasakan bersama, terlepas apapun keyakinan yang kita anut.

Orang baik adalah mereka yang mendatangkan damai sejahtera, bukan pertikaian dan kerusuhan. Orang baik adalah mereka yang memunculkan perdamaian, bukan peperangan dan perampasan hak. Orang baik adalah mereka yang menjunjung tinggi nilai-nilai moralitas yang antara lain akan mewujud menjadi buah-buah kebenaran: tidak mencuri, tidak merampok milik orang lain, jujur dalam kepemimpinan, merakyat dan tidak membohongi rakyat, dan sebagainya. Intinya, dia tidak boleh menjadikan hidupnya neraka bagi orang lain. Atau hanya berdiam diri melihat neraka sementara terjadi di depan matanya.

Ajakan orang baik untuk turun tangan mendukung orang baik tentulah bukan sesuatu yang berlebihan. Karena memang itulah yang mesti dilakukan bila kita berkeinginan menjadikan Indonesia ini lebih baik, lebih maju, dan lebih sejahtera. Kumpulan orang baik ini tidak mungkin akan menjadikan neraka hadir di bumi Pertiwi bukan? Kalau seperti itu berarti mereka bukanlah kumpulan orang baik. Apa yang setiap orang baik yang sudah turun tangan ini akan kerjakan? Banyak, namun satu hal yang pasti mereka akan berusaha menghadirkan sorga di bumi Nusantara ini. Harus seperti itu.

Memunculkan sorga bagi banyak anak bangsa yang masih hidup di bawah garis kemiskinan, tidur di atas koran dan makan di atas daun pisang. Menghadirkan sorga bagi mereka yang buta huruf dan putus sekolah. Menghadirkan sorga bagi mereka yang belum merdeka secara nyata dan masih tinggal di pelosok desa yang tidak ada jalan serta fasilitas umum apapun, tidak ada sarana air bersih dan MCK. Menciptakan sorga bagi masyarakat yang selalu menemukan ‘neraka’ dalam urusan birokrasi dan selalu saja dipersulit padahal urusannya mudah. Untuk hal-hal seperti inilah setiap orang baik itu mesti turun tangan dan hadir.

Sebab, saya yakin dan percaya, Tuhan tidak akan tutup mata bila sorgaNya kita hadirkan ke muka bumi ini. Karena bukankah kalau kita memang mengasihi Tuhan, maka perlakukan secara baik orang-orang yang miskin, para janda, mereka yang terpinggirkan, mereka yang terdiskriminasi, mereka yang terus ditekan, mereka yang tak mampu bersekolah dan berobat secara layak. Mengasihi Tuhan bukan hanya berdiam diri di menara gading dan berdoa, tetapi harus turun tangan untuk menyatakan kebaikan-kebaikan. Orang baik, menurut saya, tidak mungkin hanya ada di salah satu kubu. Orang baik itu ada di kedua belah kubu calon Presiden itu, makanya semestinya ada sinergitas untuk mengarahkan kepada satu tujuan: Kepentingan, kemakmuran, kesejahteraan, dan kebaikan rakyat banyak.

Makanya saya sangat mendukung ajakan orang baik untuk turun tangan, dan melakukan berbagai kebaikan. Pilihan kebaikan yang Anda nyatakan hari ini, akan amat sangat berpengaruh bagi kehidupan banyak orang di masa yang akan datang. Bahkan oleh generasi-generasi sesudah kita. Semoga. —Michael Sendow—

Kita tidak hanya apa yang kita pikirkan, kita adalah juga apa yang kita lakukan. Berpikiran baik itu bagus. Melakukan kebaikan, itu lebih bagus lagi…”—Michael Sendow
#gerakanturuntangan

No comments: