Monday, April 7, 2014

Jokowi di Mata Sosial Media

1395401910186248918
Jejaring sosial adalah sarana ampuh dan luar biasa untuk mempromosikan barang, juga diri. Bahasa sederhana saya, melalui media sosial kitapun sebetulnya dapat ‘menjual diri’, lebih kasar lagi bahwa kita dapat ‘melacurkan diri’ untuk itu. Seperti yang dapat Anda baca di sini: http://media.kompasiana.com/new-media/2011/07/28/melacurkan-diri-untuk-personal-branding-383489.html
 
Di dunia politik misalnya, menggunakan media sosial dan segala macam bentuk jejaring sosial yang ada, sudah bukan lagi barang tabu dan bukan barang baru. Semakin hebat Anda mensosialisasikan ‘barang dagangan’ Anda, akan semakin terkenal Anda. Ini adalah keuntungan politikus yang hidup di era keemasan dunia informatika seperti saat ini. Sangat menarik untuk dibahas, bagaimana manusia mengubah pola komunikasinya melalui mediasi-mediasi teknologi. Tentunya juga, ini akan menjadi pengalaman yang amat sangat pantas didokumentasikan oleh siapapun. 

Twitter dan Facebook, selain Kompasiana, adalah dua sarana mediasi itu, dimana orang-orang dapat bertemu ‘secara maya’, bertumbuh, bercinta, berkarya, bahkan sampai mencuri, menipu dan merusak sekalipun. Dua sarana tersebut, kini juga dipakai sebagai ladang berkampanye yang murah biaya, namun besar pengaruhnya. Sebagai contoh, Prabowo memaksimalkan peran itu dengan tepat dan jitu. Dia adalah satu-satunya politisi Indonesia yang memiliki jumlah follower di FB sebegitu banyaknya (hampir 5 juta orang), dan yang kemudian masuk dalam list 5 besar politisi dunia paling banyak di-follow. Ia tentu tau betul memanfaatkan media sosial.

Di Twitter, lihat saja politisi mana yang paling banyak followernya, dan yang paling sering berkicau, tentu akan menuai banyak hits. Mereka tentu paham betul pengaruh media sosial dalam memomulerkan diri. Artinya, semakin banyak pengikutnya dan kicauan terhadap dirinya, akan semakin memomulerkan yang bersangkutan.

Di Indonesia, kita punya Kompasiana. Media yang satu ini sangat unik. Dalam bahasa saya, Kompasiana adalah gabungan antara FB, Twitter dan Kaskus. Semua akan Anda dapatkan di sini. This is the one stop station, you can get anything you want here. Bahkan, ‘menjual’ serta ‘melacurkan’ diri, di sinilah tempat yang paling tepat. Dijamin akan laku keras. Dijamin akan terkenal.


Pencitraan di Media Sosial

Tempo hari, berlatar belakang kegilaan para anak muda terhadap Twitter dan jejaring sosial, maka lahirlah sebuah film bertajuk ‘Republik Twitter’. Film ini bercerita tentang seorang bernama Sukmo, lelaki dari Jogja yang begitu ambisius, lucu tapi sangat cerdas. Sukmo ini kemudian jatuh cinta kepada Hanum, seorang perempuan cantik yang pemurung. Cintanya bertumbuh lewat Twitter. Bertemunyapun hanya lewat Twitter. Bahkan pacarannyapun lewat Twitter.

Bagi Sukmo, dunia kehidupan Twitter adalah laiknya kehidupan nyata dirinya sendiri. Sebaliknya, bagi wanita yang dicintainya, Hanum, justru sebaliknya Twitter adalah bentuk pelariannya, alter ego bagi keceriaan yang tiada pernah ia peroleh dalam kehidupan nyatanya. Mereka dekat dan penuh cinta, akan tetapi dunia maya tidak akan pernah bisa memuaskan siapapun yang benar-benar hidup di dunia nyata. Tentu saja.

Nah, Sukmo berkeinginan sangat kuat untuk bertemu dengan Hanum. Ia bisa jadi lupa bahwa ada kelas sosial didunia nyata, dan itulah kenyataan yang ia terima ketika bertemu dengan Hanum. Ia lantas berusaha keras untuk membuat dirinya lebih terlihat nyata, serta lebih percaya diri. Sukmo sudah begitu lama hidup dan ‘terjebak’ dalam dunia 140 karakter bernama Twitter itu. Semakin lama, kegiatannya tersebut semakin mengikat diri dan pemikiran-pemikirannya. Ia begitu menjiwai bisnis pencitraan politik berbasis jejaring sosial itu. Tanpa pernah menghirup segarnya dunia nyata.

Saya rasa, cerita di atas itu adalah sebuah potret kehidupan dunia perpolitikan kita. Politisi yang taunya hanya mencitrakan diri lewat dunia maya, tanpa pernah menyentuh bumi, atau menyambangi rakyat kecil, atau pun hands-on (blusukan) memperkenalkan diri lewat tindak tanduk nyata, pastilah hanya akan menuai kekecewaan. Dunia politik Indonesia memang tidak sebatas maya-nyata semata. Namun olehkarena masyarakat kita sudah bertambah pintar, maka politisi mesti sadar bahwa betapa celakanya ia, bila hanya hebat di dunia maya.

Pencitraan ala Jokowi

Bagaimana dengan Jokowi? Menurut saya, Mas Jokowi ini sangat pintar berpolitik. Karena apa? Karena ia tidak hanya terkenal dan ‘laku dijual’ di dunia maya. Di dunia nyata pun ia begitu dikenal dan disukai. Dia menjalani kedua-duanya. Ini yang oleh Alexander Hamilton dibahasakan sebagai, “Those who stand for nothing fall for anything”. Jokowi berdiri demi apa yang ia yakini benar, dan berjuang demi rakyat di belakangnya. Mahatma Gandhi membahasakannya seperti ini, “I suppose leadership at one time meant muscles; but today it means getting along with people”. Luar biasa. Bacaan menarik untuk disimak: http://sosbud.kompasiana.com/2013/08/20/jokowi-perlu-dikritisi-dan-dipuji-585531.html

Bukankah negeri kita perlu orang-orang seperti Jokowi ini. Sebab, negeri yang kaya tetapi banyak orang miskin ini sudah terlalu ruwet untuk ditangani orang-orang ‘lama’. Kita butuh ‘orang baru’. Pemikiran baru. Dan dengan sebuah sepak terjang baru. Diharapkan sangat, bahwa di masa mendatang, berbagai kelompok orang muda seperti Jokowi kian berani untuk tampil percaya diri, dan bersaing secara terbuka. Tidak hanya di dunia maya, tapi juga di dunia nyata. Mencitrakan diri secara tepat dan natural. 

Perdebatan sehat pemimpin-pemimpin muda dari berbagai kutub pemikiran tentunya akan menentukan mutu negara ini ke depannya. Dan ini perlu. Orang-orang muda ini pun tetap harus memilih gerbong keretanya secara tepat. Seorang Jokowi tidak bisa maju seorang diri. Ia harus memilih gerbong, dan PDIP beruntung memiliki dirinya. Dalam demokrasi berbentuk parlementarian, maka partai politik adalah alat artikulasi konsep paling memadai dan menyeluruh. 

Ke depannya, rasa-rasanya perlu sekali bagi kaum muda membangun partai sendiri untuk memenangkan konsep tentang bentuk-bentuk pembagian sumber daya dalam masyarakat secara adil sekaligus efisien. Jika tidak, tudingan pastilah akan datang bermunculan, bahwa mereka sekadar meminta kekuasaan dari kaum tua yang selalu mereka kritik itu. Atau, ikrar mereka dianggap sekadar sebuah pembicaraan santai akhir pekan, (mengutip pemikiran Sonny Mumbunan). Tanpa partai, di atas Bumi ini, maka tak ada yang bisa ditumpangi kaum muda menuju stasiun sejarah berikutnya. Apa pun nama stasiun itu.

Jokowi tidak pernah dan tidak perlu mencitrakan diri secara khusus, ia sudah terlampau disukai dan dicintai. Ia juga tidak meminta dirinya untuk dicitrakan, namun media berbondong-bondong dengan senang hati terus menerus memberitakan tentang dirinya. Tentang tindakannya. Tentang berbagai kebijakannya. Dan tentang masa depan Indonesia di tangan Jokowi. Ia memang adalah sebuah magnet, dan magnet itu sudah memberi efek-efek lanjutan. (Jokowi Effect). Baca juga ini: http://ekonomi.kompasiana.com/marketing/2012/08/03/ayat-ayat-social-marketing-jokowi-ahok-luar-biasa-482254.html.

Demikianlah, negeri ini sementara menanti Jokowi berjuang dengan caranya, ‘pencitraan’ ala dirinya yang sederhana itu, menuju ke stasiun berikutnya. Stasiun Indonesia Baru. —Michael Sendow—

No comments: