Monday, December 2, 2013

Kebebasan Kita Dalam Mengeluarkan Opini yang Terbatas

Siapapun dilindungi oleh hukum dan undang-undang untuk secara bebas menyatakan atau mengeluarkan pendapatnya. Ini adalah salah satu tanda dari adanya demokrasi. Dan sangatlah beruntung, saat ini kita sudah hidup di alam demokrasi yang seperti itu. Kita bahkan dapat menyebarkan pendapat atau opini kita melalui berbagai sarana, termasuk lewat media dengan sangat cepatnya.

Namun, apapun itu, ternyata kebebasan kita dalam mengeluarkan atau menyatakan pendapat kita ada batasannya. Kita tidak bisa sebebas-bebasnya mengeluarkan pendapat kita. Niscaya, kita juga harus memiliki ‘rambu-rambu’ terhadap kebebasan yang kita miliki.
Untuk sekedar menengok dasar hukumnya, maka kita mesti membuka terlebih dahulu dua poin penting di bawah ini:

  1. Pasal 28F UUD 1945, yang berbunyi demikian : “setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”.
  2. UU Hak Asasi Manusia No. 39 Tahun 1999 dalam Pasal 23 ayat (2), yang dengan jelas mengatakan seperti ini : “setiap orang bebas mempunyai, mengeluarkan, dan menyebarkan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan atau tulisan melalui media cetak maupun media elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa.”
Kalau kita perhatikan dengan seksama, tentu saja dengan menengok pasal 28F UUD 1945 serta UU Hak Asasi Manusia No. 39 Tahun 1999 Pasal 23 ayat (2) di atas itu, dapat kita lihat secara jelas bahwa dalam mengeluarkan dan menyebarkan opini, kita memiliki kebebasan. Itu dijamin undang-undang. Dan ternyata, di sisi lain, serempak kita juga dipagari, atau diajak untuk juga memerhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum serta keutuhan bangsa. Ini tak pelak mengajarkan kepada kita supaya tidak menyalahgunakan kebebasan yang ada. Kita dengan sendirinya tidak bisa sembarangan saja mengeluarkan serta menyebarkan opini kita dengan prinsip semau gue. Karena di bawah kolong langit ini tidak ada kebebasan yang tidak terikat. Tidak ada kebebasan yang tanpa batasan.

Plato pernah mengatakan bahwa, “Opinion is the medium between knowledge and ignorance”


Di Amerika, batas-batas dalam mengeluarkan pendapat dibagi menjadi seperti ini :
1. Mengatakan hanya kebenaran yang sesuai dengan fakta
2. Menghindari kata-kata tertentu yang dapat menganggu ketertiban umum
3. Menghindari kata-kata yang mengajak orang lain untuk melakukan tindakan kriminal

Kini, dengan berbagai kemajuan teknologi serta banyaknya kesempatan yang kita miliki, sangatlah terasa di dunia maya maupun di dunia nyata ada begitu banyak opini yang mengudara setiap saat. Saking banyaknya opini-opini itu, sangat sulit kita memilah dan memilih mana yang dapat membangun kita, dan mana yang sebaliknya, merusak kita. Opini-opini dari setiap orang tidak hanya melulu terpajang lewat tulisan penuh di sebuah media cetak, atau media sosial. Opini seseorang dapat ditemui juga lewat status pendek di BBM, FB, atau di Twitter, dan lain sebagainya. 

Di media-media besar, sensor terhadap suatu tulisan sangatlah diperlukan. Entahkah itu untuk sebuah tulisan opini, perspektif, atau berita. Untuk mengatasi kebebasan berpendapat yang tidak pada tempatnya, maka tulisan-tulisan tersebut memang sangat perlu disensor dulu sebelum naik tayang.
Bagaimana dengan media sosial? Agak sulit memang, karena siapa saja bisa menulis apa saja, dan ditayangkan kapan saja dia suka. Kalau di Kompasiana umpamanya, konten dan isi tulisan masih terlihat bisa dimoderasi oleh admin, walalu tidak secara langsung ketika tulisan itu tayang. Jadi ada waktu (celah) tulisan tersebut sudah lebih dulu disebar dan tersebar.
Informasi yang sampai kepada masyarakat (pembaca) mestinya adalah merupakan suatu kebenaran, serta mengandung fakta, bukan sesuatu yang membingungkan pembaca, dan terlebih bila itu isinya menyesatkan belaka.
Menulislah dengan bijak. Beropinilah dengan benar. Ketika kita menyebarkan fitnah, berita bohong, ajakan untuk ‘membunuh’ orang lain, maka pada saat itulah kesejatian kita sebagai penulis patut dipertanyakan. Apakah kita mau diperhamba oleh keakuan dan kesintingan kita, atau kita rela untuk sedikit membungkuk demi sebuah kebenaran?

Ujung-ujungnya, sensor paling pertama dalam membatasi beredarnya opini-opini menyesatkan, tentu harus datang dari si penulis bersangkutan, kemudian oleh disusul oleh sidang pembaca. Penulis bertanggungjawab penuh terhadap apa yang ia tulis, ia harus sanggup menyensor tulisannya sendiri, mana yang layak tayang dan mana yang tidak. Di lain pihak, pembaca harus mampu menganalisa apa yang ia baca, memampukan dirinya untuk menilai kebenaran sebuah tulisan yang terpampang di depan matanya dan tidak asal menelannya mentah-mentah. —Michael Sendow—
Beware of false knowledge; it is more dangerous than ignorance (George Bernard Shaw)

No comments: