Tuesday, April 19, 2011

Bunglon Berbatik

Bunglon Berbatik



Saya baru saja menyaksikan sesuatu yang langka. Apa itu ? Bunglon berbatik !. Ini kisah nyata yang saya alami sendiri. Saya lagi menjemur kemeja batik saya di pekarangan belakang rumah, kegiatan rutin yang saya lakukan supaya batik saya tidak kusut. Ketika hendak mengangkat batik saya beberapa jam kemudian, saat itulah saya lihat ada seekor bunglon lagi nangkring diatas batik saya dan lucunya ternyata benar kata orang bahwa bunglon itu bisa berubah rubah warna tubuhnya. Pada waktu itu saya ketawa sendiri melihat ada bunglon berbatik. Bentuk warna tubuh bunglon itu tepat mengikuti warna batik saya yang agak kecoklatan berbunga.

Bunglon adalah sejenis reptil yang termasuk ke dalam suku (familia) Agamidae. Bunglon meliputi beberapa marga, seperti Bronchocela, Calotes, Gonocephalus, Pseudocalotes dan lain-lain. Bunglon bisa mengubah-ubah warna kulitnya, meskipun tidak sehebat perubahan warna chamaeleon (suku Chamaeleonidae). Nah si bunglon ini bisa berubah dari warna-warna cerah (hijau, kuning, atau abu-abu terang) menjadi warna yang lebih gelap, kecoklatan atau kehitaman. Bunglon ini memiliki nama ilmiah Bronchocela jubata (Duméril & Bibron, 1837). Nama lainnya dalam bahasa Inggris cukup menyesatkan: bloodsuckers, karena pada kenyataannya kadal ini tidak pernah menghisap darah.
Dan ini keunikan serta kehebatannya bahwa di saat Bunglon merasa terancam , Ia akan mengubah warna kulitnya menjadi serupa dengan warna lingkungan sekitarnya, sehingga keberadaannya tersamarkan. Fungsi penyamaran demikian disebut kamuflase. Hal ini berbeda dengan "mimikri", yakni penyamaran bentuk atau warna hewan yang menyerupai makhluk hidup lain.

Melihat pemandangan langka itu saya teringat dan membayangkan bahwa betapa banyaknya ‘bunglon berbatik’ lainnya di negeri kita ini… Mereka tersebar dimana saja, ratusan jumlahnya, atau bahkan ribuan atau ratusan ribu atau entah berapa banyak lagi..Mereka kelihatan sangat hebat, sangat gaya, sangat mentereng dengan kemeja batik yang mereka pakai. Para bunglon berbatik ini ada dihampir semua propinsi di Indonesia dan mungkin disetiap instansi dan organisasi apapun tak terkecuali organisasi politik dan sosial dinegeri ini. Bahkan mereka banyak berkeliaran di gedung-gedung Wakil Rakyat, dipusat-pusat pemerintahan negara dan daerah. Tidak sedikit yang bercokol di department-departement strategis di pusat maupun daerah. Atribut bunglon berbatik ini memang cocok ditujukan bagi mereka para abdi negara, wakil rakyat, pelayanan masyarakat dan lain-lainnya itu yang tabiatnya persis seperti bunglon. Apa itu..? Di saat Bunglon merasa terancam , Ia akan mengubah warna kulitnya menjadi serupa dengan warna lingkungan sekitarnya, sehingga keberadaannya tersamarkan. Fungsi penyamaran demikian disebut kamuflase !
Bukankah tidak sedikit para abdi negara, wakil rakyat serta yang memegang kekuasaan di pusat-pusat pemerintahan akan dengan seketika berubah menjadi penjilat, pecundang, munafik dan ‘berubah warna’ ketika keadaan mereka terancam, atau ketika karir, jabatan, kedudukan, posisi, keuangan dan pangkat mereka dalam posisi terancam ? Ada berapa banyak dari mereka yang bisa dan mampu serta mau mempertahankan kredibilitas serta integritas janji mereka ketika diperhadapkan pada posisi-posisi tersebut ? Ada berapa banyak yang masih mau peduli dengan suara rakyat, keberpihakkan terhadap kepentingan rakyat dan kepentingan umum ? Bukti nyata para bunglon berbatik ini sangat terlihat ketika lagi ramainya kasus si Gayus dan mafia pajak, juga ketika Sri Mulyani di-lengserkan secara halus oleh orang-orang yang haus kekuasaan, harta dan jabatan itu. Mereka yang takut keberadaannya terancam. Mereka yang lebih suka jadi penjilat dan “yess boss” demi menyenangkan atasan dan mengamankan posisi. Tapi jangan salah, para bunglon berbatik ini paling hebat kalau berkoar-koar dan berteriak-teriak didepan publik dan masyarakat seakan-akan kepentingan rakyatlah yang selalu mereka perjuangkan…Aaaagh dasar bunglon !
Ada tiga “P” yang tumbuh berkembang di dunia yang rakus akan kekuasaan ini yaitu Pejabat, Penjilat dan Penjahat. Ketika seorang pejabat menjadi penjilat maka otomatis ia akan menjadi penjahat. Kenapa ? Karena ia telah menjahati kepentingan orang banyak. Kepentingan masyarakat dan lebih memilih untuk memelihara kepentingan sendiri, mengenyangkan dan berusaha membuat buncit perut sendiri, Rakus, serakah untuk mengisi belanga sendiri tanpa peduli hak dan kepentingan orang banyak.

Menyimak sejarah politik Indonesia sama artinya dengan menyimak ulang konsep politik Machiavelli. Politik Indonesia pertama-tama bukan memikirkan bagaimana pejabat dan penguasa mengatur tata hidup bersama, melainkan bagaimana mereka mengatur tata pemerintahan sedemikian rupa sehingga ia tetap dicintai, dikagumi dan diandalkan rakyatnya. Politik Indonesia lebih memikirkan bagaimana kekuasaan dipertahankan selama mungkin daripada bagaimana Indonesia dibangun sebaik mungkin. Dengan cara apapun termasuk cara-cara kotor seperti berkamuflase ala bunglon. Sementara itu, institusi-institusi politik juga dikembangkan sedemikian rupa sehingga menghasilkan formasi politik yang mendukung para penguasa dan pejabat tinggi. Kekuasaan politik berpusat di tangan pemerintah/penguasa. Institusi perwakilan politik rakyat secara efektif bekerja untuk melegitimasi kebijakan pemerintah. Fungsinya sebagai wakil rakyat (atau saya tulis huruf besar WAKIL RAKYAT) tidak dilaksanakan secara memadai. Dengan demikian, kekuasaan penguasalah yang dilanggengkan oleh rekayasa politik yang banyak kita jumpai kalau kita peka. Para politisi di anggota dewan misalnya jelas terlihat bahwa kebanyakan adalah penganut Machiavellian juga. Sebab sangat terlihat mereka tampaknya berjuang keras melanjutkan aspirasi rakyat. Waktu yang lalu bahkan mereka berteriak, melompati meja dan saling dorong atas nama rakyat. Namun siapakah yang tertawa senang melihat aksi itu? Rakyat? Saya kira tidak. Rakyat justru malu melihat para wakilnya seperti para preman berdasi. Kita mesti bertanya lagi. Apakah itu sungguhan ataukah hanya kamuflase semata? Apakah terdorong oleh nurani kemanusiaan ataukah hanya untuk mempertahankan kedudukannya sebagai anggota dewan. Memperjuangkan aspirasi rakyat ataukah berdusta dan menarik simpati rakyat? Tinggal kita sendiri yang harus pintar-pintar menilai tindak tanduk mereka. Jangan biarkan para bunglon berbatik tersebut mengelabui kita. Tapi kita juga mesti jujur bahwa tidak semua mereka seperti itu. Pasti masih ada segelintir yang memiliki nurani bersih dan memegang teguh prinsip serta memiliki integritas yang mumpuni. Yang berpihak pada orang banyak bukan pada diri dan kantong sendiri.

Kalau saja para bunglon berbatik ini mau berubah dan menjadi lebih berbakti dan sungguh-sungguh untuk kepentingan bangsa, kepentingan masyarakat…maka kita boleh bernafas agak lega melihat masa depan bangsa ini....

No comments: