Thursday, February 17, 2011

Generasi Muda Sebagai Tiang Masyarakat

GENERASI MUDA MINAHASA SEBAGAI TIANG MASYARAKAT
Michael E Sendow

“……Kiapa so ngana ! Ini urusan kita, kita mo bamabo kek, mo ke diskotik,
minum obat-obatan ato mo beking apa kek, itu kita peurusan bukang ngana !” (ungkapan-ungkapan dalam dialek Manado)
Itulah kira-kira kalimat hardikan beberapa teman saya saya bertahun-tahun yang lalu, ketika ia saya tegur untuk tidak melakukan hal-hal demikian. Mereka tinggal di salah satu kampung di Minahasa. Adalah merupakan hal yang sungguh ironis apabila kita merefleksikan kehidupan generasi muda di kota-kota besar. Dan ternyata sebagaimana itu terjadi di kota-kota besar, itu juga sudah mewabah/ menjamur di pedesaan!

…”Ngana rupa cewek jo ! Sombong !, napa bagate sadiki, ini cap tikus asli – bakar manyala !....”” …Kalu nyanda minum berarti nyanda batamang torang !” Ajakan-ajakan seperti itu sudah sangat familiar kalau kita masuki pelosok-pelosok kampung di Minahasa !
Sikap-sikap arrogant dan keras-kepala, kadang dibalut dengan kemunafikan sudah tradisi di kalangan anak muda. Memang tidak semua, tapi ada begitu banyaknya (sangat banyak) anak-anak muda yang masih terikat dengan hal-hal yang demikian.
Lihat saja, sudah berapa banyak perkelahian antar kampung yang terjadi dioleh karenakan anak-anak muda tersebut sudah minum, mabuk dan baku-panas ?
Belum lagi sikap-sikap sok jagoan, pemerasan (bapajak), ada pengunjung dari kampung lain datang, maka sapaan pertama justru tidak ada nuansa persahabatan sama sekali; “…Hey Boss, dari mana ngana ?! Bukang orang sini kang ?! Kaseh kamari dulu doi, atik mo beli rokok deng mo bagate….!”

Sikap-sikap yang seperti ini walaupun kelihatan dan bahkan ada yang bilang biasa untuk kalangan anak muda, tapi sesungguhnya ini justru akan menjadi preseden buruk bagi citra dan kelangsungan hidup harmoni diantara generasi muda Minahasa (bukang Cuma for satu kampung), juga dimata para pendatang .
Memang latar belakang pendidikan banyak menentukan tindak-tanduk dan sikap banyak diantara mereka. Pendidikan juga tidak hanya pendidikan formal, pendidikan informal termasuk lingkungan sekitar turut memberi andil bagi perkembangan selanjutnya dari generasi muda tersebut.
Ada yang bilang bahwa generasi muda Minahasa ada di persimpangan jalan, itu memang betul. Secara jujur memang untuk Minahasa, generasi mudanya ‘harus’ identik dengan ‘generasi muda gereja’. Ini bukan mau menafsikan generasi muda dari agama lain, ini cuma mau menggambarkan apa realitasnya di masyarakat.
Sebab memang banyak pemuda-pemuda dari kalangan gereja berada di persimpangan jalan. “Quo Vadis..?”. Mau jadi anak Tuhan atau ?
Benar bahwa banyak organisasi kepemudaan : Ada Karang Taruna, KNPI, Pemuda Pancasila, GMNI, GMKI, dll. Belum lagi organisasi-organisasi pemuda di bawah payung GMIM, tapi apakah organisasi-organisasi itu berhasil mangangkat keberadaan sesungguhnya dari anak-anak muda ini. Atau hanya jadi tempat pelarian belaka ?!.

Kalau saja generasi muda Minahasa bisa menunjukkan ‘taji’ nya, bukan Cuma jago kandang, bukan Cuma jago bapajak, bukan Cuma jago judi, bukan Cuma jago mabo, bukan Cuma jago bademo (yang tak jelas), maka tentu akan ada ‘sesuatu’ yang bisa diberikan bagi Minahasa-nya, bagi masyarakat sekitar, bahkanpun bagi Bangsa ini secara keseluruahan.

GENERASI MUDA BISA DIANDALKAN
Walaupun memang batasan usia mereka yang disebut generasi muda dan generasi tua masih ada kerancuan, tapi saya coba menarik suatu garis---bahwa generasi muda itu sampai usia 40---
Ada sebenarnya banyak contoh bahwa generasi muda Minahasa sungguh handal; ambil contoh, mereka yang sekarang lagi studi di luar dan dalam negeri dalam rangka menyelesaikan program S2, S3. saya sungguh salut dengan mereka, bahwa ternyata kita punya pemikir-pemikir, pelajar-pelajar yang pintar, bukan Cuma itu tapi punya niat, punya kesungguhan untuk menuntut ilmu, punya kemauan !. Bukan mau mendiskreditkan bagi mereka yang tidak/belum melanjutkan studinya. Ini hanya ungkapan bangga dan salut saya, bahwa orang Minahasa ternyata bisa ! Lulusan-lulusan mereka juga tidak sembarangan, lulus diatas rata-rata. This is really matter, because education is number one ! Begitu kata teman baik saya yang saya kenal sangat antusias dengan pendidikan, Ia lulus dengan summa cum laude.
Banyak juga yang sementara kuliah dan sungguh di atas rata-rata dibandingkan rekan-rekan dari propinsi lain. Ini sesungguhnya adalah suatu ‘nilai’ yang harus dicermati dan ditindaklanjuti. Di bidang bisnis dan dunia perpolitikan memang sudah banyak yang berhasil walau tidak sesuai porsi yang seharusnya. Mungkin karena faktor kesempatan.
Pendidikan memang sangat penting dalam pemahaman memberikan nilai-nilai utuh tentang banyak hal termausk agama, membentuk generasi muda yang berwawasan dan berintelektual yang tidak lupa akan budayanya dan memegang teguh imannya.
Pendidikan terbukti memegang peranan penting bagi sikap dan kelangsungan daya pikir dari satu generasi ke generasi berikutnya, ada banyak catatan-catatan sejarah mengenai betapa pentingnya pendidikan umum maupun keagamaan bagi suatu generasi. Nicolaas Graafland dalam tulisan-tulisan berbentuk monografi seperti yang bisa kita lihat dalam Mededeelingen vanwege het Nederlandsche Zendelinggenootschap (sering disingkat menjadi MNZG). Diantaranya ada yang penting dalam memahami kerohanian dan keberagamaan Minahasa zaman dulu adalah tulisannya yang berjudul “De geestesarbeid der Alifoeren in de Minahassa gederunde de heidensche periode”. Dalam tulisannya Graafland antara lain menelusuri arti paling hakiki dan makna terpenting tentang bentuk-bentuk kerohanian tua dibeberapa wilayah Minahasa (khususnya di wilayah berbahasa Tombulu), dari masa sebelum Kekristenan masuk . Disamping mendalami doa-doa tua, Graafland berusaha menggali mitos tentang asal-usul manusia dan sejumlah legenda pada masa itu.
Graafland adalah pendiri sekolah guru dibeberapa tempat di Minahasa, pertama kali di Sonder pada tahun 1851 tapi sekitar 3 tahun kemudian dipindahkan ke Tanawangko. Graafland jugalah yang akhirnya memulai penerbitan surat kabar pertama Ditanah Minahasa dengan memakai bahasa asli, “Tjahaja Siang”.

SEBAGAI TIANG MASYARAKAT
Sebagai tiang masyarakat generasi muda harus punya vitalitas orang muda yang percaya diri dan percaya Tuhan. Bukan jamannya lagi dimana generasi muda justru jadi parasit, ketergantungan terhadap generasi yang lebih tua. Tidak bisa mengambil dan membuat keputusan sendiri. Malu menyatakan pendapat, malu untuk tampil kedepan.
Bukankah Minahasa adalah ‘pintu’ bagi orang luar untuk belajar tentang keterbukaan dan keluwesan dalam pergaulan. Generasi Muda Minahasa harus bangun untuk menjadi tiang-tiang itu. Selain menuntut ilmu, harus dibarengi dengan iman-takwa serta kerendahan hati. Jadi pintar bagus, tapi bukan jadi sombong. Rendah hati bukan berarti rendah diri. Sudah saatnya generasi muda membangun opini positif dimata masyarakat sekitar bahkan seantero negeri bahwa ditengah-tengah keterpurukan negeri ini dalam segala bidang. Generasi Muda masih bisa menjadi tiang-tiang itu. Tiang-tiang yang siap mo tongka kalu torang pe negeri bagoyang, tiang-tiang yang siap mo tahan kalu torang pe Minahasa bagoyang !
Tidak banyak pelajaran lagi yang harus diberikan untuk jadi tiang-tiang itu, bagaimana harus jadi tiang-tiang itu ! Pendidikan di bangku sekolah, universitas sudah cukup, diorganisasi keagamaan sudah banyak ditempa dan dibentuk. Tulisan ini hanya sekedar mengingatkan sekaligus membangkitkan ‘rasa’ itu. ‘Rasa’ yang mungkin sudah tertidur atau sudah mulai melemah. Rasa dan semangat untuk hidup, berbuat dan ada bagi masyarakat dan negeri ini !
- Pendidikan formal (Secara utuh)
- Pendidikan informal (Secara lengkap)
- Keyakinan diri (Melingkupi semua aspek)
- Iman dan Ketakwaan (Berbasiskan semua segi)
- Vitalitas (Secara berkesinambungan)

Cukuplah itu sebagai titik tolak untuk maju kedepan. Sebagai bentuk nyata dari “Kekuatan” dalam diri orang muda Minahasa yang sesungguhnya sudah ada di diri masing-masing tinggal diejawantahkan dalam kehidupan sehari-hari. Pasti kita bisa ! Melangkah pasti menuju masa depan dan meraih sukses !
“ Percayalah kepada TUHAN dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri. “ (Amsal 3:5).
^~Mich~^

1 comment:

Anonymous said...

Cerita yang bagus dan menarik. Sangat inspiratif.