[Siap-siap melaut nelayan desa Lopana, diantar istri dan anak.... (pic: michael)]
Desa
kecil ini terletak di semenanjung Minahasa Selatan. Desa ini menyimpan
begitu banyak memori dalam benak orang-orang yang pernah berdiam di desa
tersebut dalam kurun waktu yang relatif lama, seperti saya.Dan juga
bagi mereka yang baru mengunjunginya, meski hanya sebentaran saja. Desa
itu dinamai Lopana.
Sore
itu, saya tiba dari Amerika dengan satu keinginan kuat yang tak
tertahankan lagi. Yaitu untuk kembali mengunjungi desa dimana ibu saya
dilahirkan, Lopana.
Dari
kota Manado, saya memerlukan waktu 45 menit sampai 1 jam untuk sampai
di Lopana. Itu tentu kalau jalanan tidak macet. Perjalanan menuju Lopana
memang selalu mendebarkan. Kita harus melewati jalanan panjang nan
berliku. Di beberapa lokasi, terlihat jurang yang sangat dalam, bukit
yang begitu tinggi, dan lereng yang amat terjal berkelok-kelok.
Pohon
kelapa (nyiur melambai) terlihat mendominasi tanaman di sepanjang
jalan. Kalau ke desa Sonder didominasi tanaman cengkeh, maka ke Lopana
pohon kelapalah rajanya. Saya sangat menikmati perjalanan itu, walaupun
cuaca tak terlalu mendukung. Mendung dan gerimis. Ini menjadikan
pemandangan mata saya terbatas, dan kamera pun lebih banyak
diistirahatkan saja.
Tiga
puluh menit perjalanan, kita sudah sampai di sekitar desa Matani. Di
desa ini jalanan mulai lurus dan tak terlihat satu kelokan sekalipun. Di
sebelah kanan jalan terlihat hamparan tanaman padi yang begitu luas.
Konon, di tempat inilah kelak airport Samratalungi akan dipindahkan.
Desa Tumpaan adalah desa berikutnya setelah Matani. Setelah Tumpaan,
baru sampailah kita di desa Lopana. Tujuan saya berlibur kali ini.
Menghilangkan kepenatan hidup dan hectic-nya suasana perkotaan.
Edy sang nelayan di Lopana
Mayoritas
penduduk Lopana memiliki mata pencaharian sebagai nelayan dan petani.
Ini tentu oleh karena desa ini berada tepat di tepi pantai. Memasuki
desa Lopana, bila kita datang dari arah Manado, terlihat sangat jelas
kekontrasannya. Di sebelah kiri Jalan nampak jelas daerah perbukitan dan
perkebunan, tempatnya bagi para petani. Sementara itu di sebelah kanan
jalan, terlihat laut membiru yang begitu dekat. Inilah tempatnya para
nelayan bekerja demi sesuap nasi. Demi hidup keluarga serta pendidikan
anak-anak.
Adalah
seorang lelaki separuh baya, sebut saja namanya Edy. Ia adalah orang
yang menemani saya selama di desa itu. Dari Pak Edylah saya mendapat
banyak cerita tentang kehidupan di desa Lopana masa kini. Ia sendiri
adalah salah satu contoh warga desa yang senantiasa berharap suatu
ketika nanti, hidup dan kehidupan mereka akan lebih baik lagi.
Kesejahteraan hidup akan meningkat, walau seberapa saja.
Edy sekarang bekerja sebagai seorang nelayan. Tadinya, ia adalah seorang petani. Ia menanam rica
(rawit). Tetapi pengolahan lahan tanaman rawitnya masih sangat
sederhana. Ia menyiram rawit yang ia tanam dengan menimba air di sumur
dengan bermodalkan dua buah ember. Bayangkan saja, berapa puluh kali ia
harus bolak-balik menimba air tersebut untuk menyirami seluruh tanaman
rawit miliknya di kala musim kemarau tiba. Bahkan jarak antara sumur dan
lahan rawitnya lumayan jauh.
Nah,
setelah cukup gagal dengan bercocok tanam rawit, ia alih profesi
menjadi ‘kuli panjat’. Ya, ia mencari nafkah dengan memanjat pohon
kelapa milik para petani kelapa besar, dan menerima upah harian. Namun
sayangnya usia Edy tidaklah muda terus. Kini ia bertambah tua, dengan
sendirinya staminanya juga sudah mulai berkurang. Tenaganya tidak sekuat
dahulu lagi.
‘Sekarang kita so tako ja nae itu pohong kalapa tinggi…’ (sekarang
saya sudah takut memanjat pohon kelapa yang tinggi), demikianlah ia
bertutur ketika saya tanya kenapa tidak lagi memanjat pohon kelapa. Ia
mengakui bahwa usianya tidak muda lagi, dan itu membuatnya takut berada
di ketinggian. Banyak hal yang membuatnya harus berpikir panjang
mempertahankan profesi ‘kuli panjat’nya itu.
Menyiasati
kehilangan pekerjaan, Edy pun secara kreatif berpindah lokasi. Kini,
seluruh upaya penghidupan untuk memenuhi kebutuhan keluarga, sepenuhnya
ia gantungkan dari profesi barunya. Menjadi nelayan. Bermodalkan sebuah
perahu sema-sema, dan sebuah perahu motor pinjaman, ia kini sudah beralih dari petani, kuli, kemudian menjadi nelayan.
Setiap
subuh ia sudah keluar rumah, baru kembali setelah mentari sudah mulai
memasuki peraduannya. Kadang kala, ia keluar rumah melaut pada sore
menjelang malam, dan baru kembali menjelang subuh. Tak menentu.
Tergantung musim dan keadaan. Juga tergantung kesehatan tubuhnya, yang
tentu saja semakin menua.
Menurut
Edy, sudah setahun lebih ia menjadi seorang nelayan. Sebuah pekerjaan
yang ia yakini amat mulia. Benar, karena hasil ikan yang ia dapatkan
setiap hari, memberi hidup bagi keluarganya, dan serempak memenuhi
kebutuhan pasar ikan di Lopana, yang dengan sendirinya tentu saja
memberi hidup bagi warga Lopana lainnya. Tak pelak lagi, dengan demikian
maka ia menekuni pekerjaannya itu dengan motivasi tinggi dan penuh
ucapan syukur.
Sore
itu, dengan tubuh yang hanya dibalut celana pendek dan kaos tanpa
lengan, Edy mengajak saya menuju pantai. Tubuhnya terlihat masih kekar,
dengan kulit yang semakin berwarna coklat karena dibakar terik matahari
terus menerus. Hari itu ia sengaja mengambil ‘cuti melaut’ demi menemani
saya mengelilingi kampung. Kami berjalan beriringan di tepian pantai.
Ia menjelaskan panjang lebar, bahwa banyak sekali warga kampung yang
terus berganti profesi seiring dengan tuntunan hidup yang semakin
menggila. Harga-harga naik tak menentu.
Saya
juga melihat di beberapa lokasi pinggir pantai ada banyak gerobak sapi
diparkir di sana. Bahkan ada truk-truk berukuran besar. Melihat mata
saya memandang penuh tanda tanya, sebelum pertanyaan keluar dari mulut
saya, Edy sudah terlebih dahulu menjelaskan. “Oh iyo, skarang dorang so ganti profesi menjadi penjual paser…” (Iya, sekarang mereka-mereka itu sudah ganti profesi menjadi penjual pasir).
Ternyata
akibat meletusnya gunung Soputan beberapa tahun yang lalu memberi
rejeki tersendiri bagi para warga sekitar. Banyak sekali pasir gunung
yang hanyut melalui sungai menuju pantai. Di sana, pasir-pasir itu
menumpuk. Warga pun menjadikannya sebagai ‘proyek sementara’. Setiap
hari ada saja warga yang bolak-balik dengan gerobak maupun mobil untuk
mengambil pasir-pasir tersebut, dan akan menjualnya lagi. Menurutnya,
hasil dari jualan pasir lebih banyak daripada bercocok tanam
kecil-kecilan. Makanya jangan heran kalau ada banyak orang yang
mengangkut pasir di tepian pantai Lopana.
Kehidupan tolong menolong di kampung
Ternyata,
cerita tentang betapa kuatnya ikatan tolong menolong di desa Lopana
bukan hanya isapan jempol semata. Hampir di setiap rumah yang saya
singgahi kala itu, pasti saya akan terus menerus ditawari makanan.
Entahkah itu makanan berat, seperti nasi dan lauk pauknya, pun juga
makanan ringan sejenis kue-kue khas Lopana. Dan tawaran mereka bukan
sekedar basa-basi. Kalau menawarkan sesuatu maka pasti sesuatunya itu
ada, bukan hanya di mulut saja.
Satu
hal yang pasti, tanpa memandang itu keluarga cukup berada, atau yang
miskin sekalipun, mereka akan tetap menawari Anda makan bila singgah di
rumah mereka. Apapun itu. Di mata mereka tamu adalah seseorang yang
mesti dilayani sebaik mungkin. “Torang nyanda mungkin mo kaseh biar….malu torang kalu nyanda kaseh apa-apa”, demikian
seorang ibu tua bilang ke saya. (Artinya, kita tidak mungkin untuk
tidak melayani tamu…..malu kita sebagai tuan rumah kalau tidak
memberikan apa-apa).
Ada
lagi kebiasaan mencolok lainnya yang semakin membuka mata saya. Bahwa
di desa seperti ini, tingkat kekeluargaan dan persaudaraan masih begitu
diperhitungkan. Ambil contoh, dalam kehidupan mereka masih ada itu
istilah ‘pinjam api’ atau ‘minta bara’.
Dan tetangga lainnya yang memilikinya pasti akan memberikan dengan
senang hati. Artinya mereka masih sangat suka menolong dan sangat senang
memberi.
Tetangga yang tidak punya api di dodika
(tungku perapian) mereka, dapat memintanya ke tetangga sebelah tanpa
perlu takut akan diomeli dan dimarahi. Memberi bagi kehiduan mereka
adalah seperti sementara membagikan berkat. Berkat yang dibagikan pasti
akan mendatangkan kebahagiaan melimpah. Sebab, kebahagiaan yang tidak
dibagikan ke orang lain, ke tetangga sebelah, ke siapapun di luar sana
misalnya, maka itu bukanlah kebahagiaan yang sejati.
Dari
kehidupan di desa Lopana saya belajar banyak hal. Mulai dari semangat
juang yang amat tinggi dalam mencari kehidupan. Daya juang yang tidak
main-main, umpamanya dari kisah seorang Edy, sampai kepada keluasan hati
untuk memberi dan menolong sesama dari warga Lopana.
Dua
minggu di sana, seakan-akan saya mendapati kembali apa artinya hidup
dan menghidupkan orang lain (sesama kita). Sepertinya saya menemukan
kembali ‘rasa’ yang sulit, atau mungkin tidak pernah lagi saya jumpai di
kota besar.
Namun
kemesraan itu ternyata harus cepat berlalu. Dua minggu liburan sudah
usai. Kaki ini harus kembali meninggalkan jalan sunyi pedesaan, menuju
jalan ramai perkotaan. Tapi semua kenangan indah itu pasti akan selalu
membekas di hati ini.
Semoga
mata air kehidupan pedesaan itu dapat saya bawa ke kota besar di mana
saya tinggal. Meskipun, hari-hari ini, semakin terlihat bahwa nilai
tulus persaudaraan dan kemanusiaan, nilai-nilai kepedulian sudah mulai
memudar, namun saya masih akan tetap untuk terus berharap serta percaya,
bahwa nilai-nilai itu tetap ada di hati orang-orang dekat saya, di
lingkungan saya, bahkan di hati pemimpin-pemimpin negeri ini. Semoga.
—Michael Sendow—
No comments:
Post a Comment