Wednesday, May 28, 2014

Pejabat Publik Indonesia Adalah Raja korupsi?

Kejahatan Korupsi di Indonesia
14005842301201869899
Ilustrasi Korupsi: Binarmediaeducation.blogspot.com

“A man who has never gone to school may steal a freight car; but if he has a university education, he may steal the whole railroad.” ― Theodore Roosevelt
Menjadi orang yang baik itu tidak gampang. Menjadi orang yang jujur lebih tidak gampang lagi. Kita bisa saja mengucapkan berjuta kali di hadapan semua orang bahwa kita ini adalah seseorang yang baik dan jujur. Boleh saja beribu-ribu janji terlontar dari mulut kita, namun perbuatan kitalah yang kemudian akan menunjukkan siapa sesungguhnya kita ini. Seperti apa sebetulnya kita ini. Bukan karena kita berteriak lantang “saya bukan koruptor” maka saya lantas tidak akan korupsi bukan? Bukan juga ketika kita berjanji tidak akan korupsi lantas kemudian kita serta merta bebas dari korupsi. Kebaikan dan kejujuran seseorang mesti diuji terlebih dahulu. Anda ingin tahu seberapa kuat Anda dapat menolak untuk korupsi dan terbebas darinya? Maka cobalah masuk dalam sistem yang korup. Bergaulah dengan orang-orang yang korup. Bersahabatlah dengan atasan dan bawahan yang korup. Di sanalah ujian itu baru muncul. Sebab, mungkin saja kita tidak korupsi ya oleh karena memang kita hidup di tengah-tengah lingkungan yang tidak memungkinkan kita untuk korupsi dan memakan uang bukan milik sendiri dengan begitu rakusnya. Sederhananya, kita tidak korupsi karena tidak ada (belum ada) kesempatan untuk itu.

Bukankah sudah banyak contoh mereka yang tadinya berteriak-teriak dengan lantang menolak pejabat korup. Mereka dengan ganasnya menghina serta menistakan para koruptor dan tindakan korupsi yang sementara terjadi. Akan tetapi ketika mereka masuk ke dalam sistem. Tatkala mereka terpilih sebagai pejabat publik, eh justru mereka menjelma menjadi jauh lebih busuk dan lebih bobrok dari orang-orang yang mereka demo dan teriaki itu. Sangat kontras. Terlebih, kelak di kemudian hari, ini pastilah menjadi sebuah preseden buruk yang amat sangat memalukan bagi aktivis anti korupsi lainnya, bila ia kemudian menjadi jauh lebih “busuk” dari para koruptor yang sering dihujatnya. Amat memalukan. Dan amat memiriskan.

Terlepas dari semua kebimbangan dan keputusasaan kita terhadap kemurnian para aktivis anti koruptor tersebut, bangsa kita ternyata masih juga terus melahirkan pemimpin-pemimpin yang dapat dipercaya. Orang-orang yang anti korupsi seperti Ahok dan Jokowi, Mahfud MD, serta Abraham Samad membuktikan bahwa sistem dan lingkungan yang korup tidak sanggup menarik mereka masuk ke pusaran itu. Mereka masih punya hati nurani dan dapat berkata tidak, walau sebetulnya kesempatan itu sangatlah terbuka.

Jokowi dan Ahok umpamanya. Sebagai orang nomor satu dan dua di Jakarta ini, peluang untuk korupsi tentu begitu besar. Namun mereka masih setia kepada janji mereka. Mereka juga tetap menunjukkan ketegaran mereka sebagai pemimpin yang anti korupsi. Mereka masih menggunakan akal sehat dan hati yang bersih, bukan sebaliknya menggunakan dengkul dan (maaf) pantat yang mudah tergiur oleh godaan korupsi. Otak mereka masihlah sehat, bahwa uang negara, uang rakyat, tentu semuanya itu adalah demi kepentingan dan kesejahteraan rakyat semata, dan bukan untuk kenikmatan diri sendiri dan keluarga. Sama sekali tidak. Pemimpin yang jujur dan bersih harus sanggup menolak godaan korupsi.

Pemimpin-pemimpin seperti inilah yang mesti kita ancungi jempol dan dukung. Bangsa ini semakin terpuruk, jujur saja oleh karena salah satu alasan utamanya adalah masih begitu banyaknya pencuri dan maling yang duduk berkuasa dan menjadi pejabat publik. Berapa puluh atau bahkan ratus triliunan yang sudah dicuri mereka? Itu bukan jumlah yang sedikit. Lantas apakah kita akan tinggal diam melihat negara kita digerogoti dan dihabisi oleh orang-orang yang seharusnya melindungi dan menyejahterakan kita?

Gaya Ahok Marah dan Gebrak Meja

Marah-marah dan Gebrak Meja, Itulah Gaya Ahok
14007549101965558192“Mikir!” (Sumber gambar: Ahok gebrak meja — www.article.wn.com)
Dalam beberapa kesempatan, saya selalu bicara dan menulis tentang “style” Ahok yang di luar pakem itu. Saya bilang bahwa Ahok sebaiknya tidak mengubah gayanya itu. Ini jelas. Sebab kalau nggak marah-marah dan gebrak meja ya bukan Ahok namanya. Bukankah karena gayanya ini, maka ia terasa begitu serasi dengan Jokowi? Perpaduan yang sungguh harmonis. Dua karakter yang saling mengisi dan melengkapi. Setelah Soekarno – Hatta rasa-rasanya belum pernah ada lagi duet yang seterkenal dan sefenomenal itu. Apalagi dalam kelas gub-wagub. Kenangan Soekarno – Hatta mungkin hanya bisa didekati oleh duet Jokowi – Ahok. Siapa yang tidak tahu dan kenal Jokowi – Ahok. Duet ini akan dikenang dalam sejarah pemimpin Jakarta. 

Marah itu perlu. Bicara lantang itu perlu. Berteriak dan gebrak meja itu pun sangat diperlukan. Toh belum pernah ada yang mati atau terluka akibat dimarahi Ahok. Dan, belum ada meja yang rusak akibat digebraki Ahok. Semuanya masih aman dan terkendali. Lantas kemudian apa pasal saya bilang Ahok mesti mempertahankan gayanya itu? Tanpa gayanya itu, bisa jadi Ahok sudah “digilas” oleh kelakuan para birokrat kotor dan korup di Jakarta yang ganas ini. Tanpa gayanya itu, Ahok mungkin saja tidak akan menjadi seperti apa adanya dia saat ini.

Jakarta ini sudah terlalu lama dibelenggu oleh kekakuan dan kebuntuan komunikasi antara atasan dan bawahan. Bahkan antara pemimpin dan rakyat yang dipimpin. Antara penegak konstitusi dan konstituennya. Kebuntuan dan kekauan ini salah satunya adalah olehkarena komunikasi satu arah peninggalan orde baru. Setiap kata yang keluar dari mulut pemimpin kala itu laksana titah, jangan pernah dibahas, jangan pernah dibantah. Antara rakyat dan pemimpin juga terpampang jarak yang amat sangat tinggi, luas, dan tebal. 

Jokowi dan Ahok membongkar semua “kasta kepemimpinan” dan memberi ruang komunikasi menjadi semakin dalam. Antara pemimpin dan yang dipimpin bagaikan tak berjarak lagi. Nah, ada dua cara membongkar kebuntuan itu. Yaitu dengan cara Jokowi, turun ke bawah dan berkomunikasi dua arah langsung di lapangan. Cara kedua, adalah dengan cara Ahok, yaitu marah dan menggebrak meja ketika tidak memperoleh jawaban yang jelas, dipermainkan bawahan, dan dibodoh-bodohi bawahan. Dua cara itu sangat benar dan baik. Mereka yang terkesan dan juga yang terusik dengan cara Jokowi – Ahok ini menandakan bahwa ada dampak yang ditimbulkan. Ini penting dan perlu dalam sebuah komunikasi.