Di
negara ini kita punya begitu banyak wanita yang bekerja sangat keras
demi menghidupi keluarganya. Ada begitu banyak wanita yang bertindak
sebagai single parent oleh karena ditinggal pergi suaminya. Ada
juga wanita-wanita yang mesti kerja membanting tulang (kerja luarbiasa
keras) karena keadaan keuangan yang tidak mencukupi. Kepada mereka
jugalah catatan kecil ini saya tujukan. Bahwasanya seorang wanita
bernama R.A Kartini sudah mengajarkan kita nilai-nilai hidup yang luar
biasa. Ia sudah memberi contoh lewat perkataan pun tindakan. Bahwasanya
juga, wanita-wanita Indonesia tidak mesti menjelma menjadi laki-laki
untuk supaya dapat dihargai dan diterima, tetapi perjuangan, hak
berkarya, serta kesempatan-kesempatan yang ada tidaklah boleh menjadi
lebih rendah dari kaum laki-laki.
Sekarang
bukan lagi era di mana wanita itu tempatnya hanyalah di dapur, di
pasar, dan di tempat tidur. Wanita boleh berkarya dan berkarir sebaik
dan setinggi mungkin. Ia tidak bisa ditempatkan lagi sebagai sosok yang
lemah dan loyo. Kalau tempo hari wanita mungkin masih tidak punya hak
suara dan hak pilih. Wanita tidak boleh berpidato di depan umum, dan
lain sebagainya, maka sekarang tidak seperti itu lagi. Sekarang wanita
bahkan bisa menjadi direktur, menteri, atau pun presiden. Tapi serempak,
tentu juga tidak boleh dengan serta merta melupakan kewajibannya
sebagai seorang wanita (sejati). Ia boleh menjadi apa saja, tapi tidak
pernah boleh melupakan siapa dia sesungguhnya. — Itulah penggalan akhir
tulisan saya di Hari Kartini tahun 2013 yang lalu (Perempuan Bukan Laki-laki)
Kali
ini saya hendak menyampaikan lain hal, bahwa sesungguhnya ada ajakan
yang termaktub jelas dalam tindakan dan hasil karya Kartini, yang tentu
saja ditujukan bagi kita semua, generasi-generasi penerus. Ajakan itu
adalah ajakan sederhana untuk membaca dan menulis. Untuk supaya di dalam
diri kita menyeruak muncul semangat membaca dan menulis yang luar biasa
membara. Sebab hanya dengan membaca dan menulislah, Kartini bisa
menjadi seperti apa adanya dia saat itu. Membaca adalah jendela kita
melihat dunia, dan menulis adalah alat kita ‘menguasai’ dunia.
Semangat
yang sama itu rupa-rupanya juga dimiliki oleh kakaknya, yaitu Raden Mas
Panji Sosrokartono. Kakak dari Raden Ajeng Kartini ini termasuk polyglot
yang pertama di Indonesia. Seperti dikutip dari berbagai sumber,
ternyata kakak Kartini ini menguasai 26 bahasa asing, dan juga 10 bahasa
daerah Indonesia. Sosrokartono, yang kelahiran 10 April 1877 itu memang
dikenal sebagai seorang pemuda cerdas. Sebagai anak bangsawan
Sosrokartono mengenyam pendidikan setara orang-orang Belanda yang ada di
Indonesia saat itu, pendidikan ‘kelas satu’ tentunya. Ia banyak membaca
banyak buku dan literatur asing. Bahkan, kakak Kartini ini mengembara
sampai ke banyak tempat di seluruh Eropa, menekuni bermacam-macam
pekerjaan seperti penterjemah dan wartawan di media Eropa, hingga
akhirnya ia pun menjadi wartawan media terkenal dari Amerika - The New York Herald Tribune. Ia pernah meliput Perang Dunia I.
Kembali
ke Kartini, beranjak dewasa, maka semakin bertambah pula kematangannya
dalam berpikir. Itu juga jelas sekali adalah oleh karena bahan bacaannya
yang sangat luas, yang meliputi buku-buku dan surat kabar. Ia membaca
banyak hal, budaya, agama, sastra, keperempuanan, dan sebagainya.
Ayahnya memberikan buku-buku yang berbahasa Belanda, Jerman dan
Perancis, sehingga tak mengherankan bila pengetahuan Kartini mengenai
bangsa Eropa begitu luas dan dalam. Kartini menimba ilmu tidak hanya
dari negeri Barat saja, ia memperkaya pengetahuan dari negeri timur
juga, ia banyak belajar dari bangsa Koja dan Tionghoa.
Kartini banyak membaca surat kabar di Semarang. Ia juga menerima leestrommel
(paket majalah yang diedarkan toko buku kepada langganan). Di antaranya
terdapat majalah kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang isinya cukup
berat, juga ada majalah wanita Belanda De Hollandsche Lelie. Kartini pun lantas kemudian beberapa kali mengirimkan tulisannya dan dimuat di De Hollandsche Lelie.
Dari surat-suratnya tampak Kartini membaca apa saja dengan penuh
perhatian, sambil membuat catatan-catatan. Ini hal yang patut kita
teladani.
Di antara buku yang dibaca Kartini sebelum berumur 20, terdapat judul Max Havelaar (salah satu favorit saya juga) dan Surat-Surat Cinta karya Multatuli. Ada juga De Stille Kraacht (Kekuatan Gaib)
karya Louis Coperus. Kemudian karya Van Eeden yang bermutu tinggi.
Masih ada juga tulisan karya Augusta de Witt yang dibacanya. Berikut
juga roman feminis karya Nyonya Goekoop de-Jong Van Beek, dan sebuah
roman anti-perang karangan Berta Von Suttner, Die Waffen Nieder (Letakkan Senjata). Semuanya berbahasa Belanda (Wikipedia).
Nah,
pada usia 16 tahun saja Kartini sudah menulis sebuah esai dengan
memakai bahasa Belanda. Tulisannya adalah tentang “Upacara Perkawinan
Pada Suku Koja.” Kemudian sekitar tiga tahun kemudian, tulisannya
tentang seni Jepara, dalam bahasa Belanda juga diterbitkan di Bijdrage Voor Taal, land en Volkenkunde, sebuah jurnal ilmiah sangat bergengsi di Belanda. Kartini menulis dalam bahasa Belanda yang
sempurna meski waktu itu kebanyakan orang Belanda menganggap bahasa
Belanda tidak cocok diucapkan oleh lidah pribumi — Padahal, ternyata di
Minahasa kampung asal saya, banyak sekali orang-orang tua yang sangat
fasih bertutur memakai bahasa Belanda — .
Karena
kefasihan Kartini berbahasa, dan pengetahuannya yang luas berkat banyak
membaca, Kartini pun berhasil menulis banyak surat kepada
sahabat-sahabatnya di banyak tempat. Kumpulan surat-suratnya itu
(1879-1904) lantas diterbitkan menjadi sebuah buku lumayan tebal pada
tahun 1911 yang diberi judul, “Door Duisternis tot Licht” (Habis gelap Terbitlah Terang).
Bagaimana
bisa Kartini dapat menulis banyak surat dalam bahasa Belanda jikalau ia
tak banyak membaca? Bagaimana mungkin kumpulan suratnya bisa
diterbitkan menjadi sebuah buku, jikalau tulisan-tulisannya tidak layak
dipublis? Dan, bagaimana bisa pemikiran-pemikiran yang cemerlang dapat
dikonsumsi publik bila ia tak pernah menulis? Jadi, bagi Kartini membaca
dan menulis adalah ‘alat’ dan ‘senjata’ dia dalam menampung pesan, juga
dalam menyampaikan pesan atau buah-buah pikiran. Karena ada kemauan
besar dalam dirinya untuk melakukan perubahan besar.
“Tahukah
engkau semboyanku? Aku mau! Dua patah kata yang ringkas itu sudah
beberapa kali mendukung membawa aku melintasi gunung keberatan dan
kesusahan. Kata “Aku tiada dapat!” melenyapkan rasa berani. Kalimat “Aku
mau!” membuat kita mudah mendaki puncak gunung” —- R. A. Kartini
Bukunya
yang berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang membuat orang-orang Eropa
kala itu kagum dan ‘kaget’. Conrad Theodor van Deventer, seorang
pengacara kaya dan wakil kaum liberal di parlemen Belanda bahkan sempat
menulis ulasan khusus tentang buku tersebut di jurnal ya ia pimpin, De Gids. “Surat-surat
Kartini membuktikan seberapa jauh seorang pribumi, dengan ketrampilan
bahasa Belanda dan pengetahuan Barat, mengembangkan sebuah peradaban
dengan kehalusannya yang luar biasa…” (Van Deventer: 1913).
Kartini,
disamping ia mengajarkan buah pikirannya tentang emansipasi dan
perjuangan kaum perempuan, ia juga mengajarkan banyak hal lainnya.
Secara nyata, kesaksian hidupnya dan apa yang dia sudah lakukan, mampu
mengajarkan kita banyak permenungan. Salah satunya adalah dalam hal
semangat kita untuk banyak membaca dan menulis. Siapapun kita dan
sebagai apapun posisi kita, maka semangat membaca dan menulis tidak akan
pernah lekang dimakan zaman. Mahasiswa – membaca dan menulis
karya-karya ilmiah adalah sebuah kemestian. Pengusaha, pebisnis –
membaca dan menulis adalah keharusan. Budayawan, satrawan apalagi –
membaca dan menulis adalah ‘roh’ mereka. Jadi siapapun kita, ajakan
untuk tetap semangat dalam membaca dan menulis rasa-rasanya tetaplah
relevan. Apalagi saat ini dengan teknologi yang sebegitu majunya, maka
membaca dan menulis dapat dilakukan di mana saja dan kapan saja. No barriers for reading and writing.
Kalau
mungkin Kartini masih hidup di zaman kita ini, maka ia akan menjadi
perempuan paling aktif yang menulis di Kompasiana. Sudah gratis,
pemikiran-pemikiran kita dapat segera dibaca banyak orang pula. Di
Kompasiana kini memang banyak sekali Kartini-Kartini modern hadir dan
menulis tentang banyak hal, mereka menulis dengan intensitas tinggi, dan
dengan tulisan-tulisan bernas yang sangat menggugah. Saya sangat
mengapresiasi tulisan-tulisan mereka di Kompasiana ini. Kalau boleh saya
sedikit lebay, maka saya
akan bilang, bahwa tanpa mereka (penulis-penulis perempuan) maka di
Kompasiana ini habis gelap akanlah tetap gelap. Tulisan-tulisan mereka
bukan sekedar pemanis semata di Kompasiana, namun mereka adalah jantung
dan denyut nadi yang memancarkan ‘terang’ di Kompasiana, seterang
mentari pagi. –Mich-
“Gadis
yang pikirannya sudah dicerdaskan, pemandangannya sudah diperluas,
tidak akan sanggup lagi hidup di dalam dunia nenek moyangnya” — R. A.
Kartini
1 comment:
Borgata Hotel Casino & Spa - Mapyro
See 10 photos and 6 tips from 4000 visitors 사천 출장마사지 to Borgata Hotel Casino 대구광역 출장마사지 & Spa. "Beautiful place to 사천 출장마사지 stay! The Buffet is wonderful! Rating: 3.5 · 세종특별자치 출장마사지 11 votes 거제 출장안마
Post a Comment