Capailah dan Raihlah Tujuan
Utama Pendidikan
“Jika Anda menunjukkan
antusiasme pada semua yang ditanyakan anak Anda tentang ‘apa’ dan ‘bagaimana’. Dan
apabila Anda menjawab dan menjelaskan dengan kesabaran dan penuh kebijaksanaan
semua pertanyaan mereka, sudah barang tentu akan menumbuhkan kepercayaan diri
dan rasa suka belajar pada anak-anak Anda. Mereka akan bergiat untuk belajar
dan terus belajar lagi” --- Michael Sendow.
Dari sejak jamannya nenek
moyang kita tempo dulu sebenarnya proses belajar mengajar sudah berlangsung.
Mereka belajar dari leluhur mereka cara berburu, bagaimana membuat perapian dan
tungku pemanas air, dan banyak hal sederhana lainnya. Kemudian secara turun
temurun proses tersebut diajarkan kembali ke anak-cucu mereka. Berlangsung secara
terus menerus. Sekarang, di jaman kita ini belajar mengajar tidak lagi atau
bukan hanya semata soal yang remeh temeh, tapi sudah begitu kompleks dan
menjangkau sampai ke hal-hal yang luar-biasa tinggi. Teknologi dan
komputerisasi telah secara signifikan “memaksa” setiap orang untuk belajar
lebih giat lagi kalau tidak mau ketinggalan kereta. Sampai sejauh mana
masyarakat mencapai dan menggapai hasil maksimal dari proses pembelajaran
tersebut adalah cerita lain. Yang pasti, proses belajar-mengajar akan terus ada
selama hayat kita masih dikandung badan. Istilah kerennya adalah long term education program, atau juga lifetime learning. Belajar itu mesti
dilakukan seumur hidup kita. Tidak bisa tidak. Tidak ada tawar menawar. Itu adalah
keniscayaan dan kemestian apabila kita ingin maju dan berhasil.
Saat ini masyarakat memang
harus semakin diberi pencerahan apa arti sesungguhnya mendidik dan mengajar
tersebut. Apa makna dan tujuan terdalam dari belajar maupun mengajar itu. Bahwa
pendidikan dan pembelajaran itu lebih dari sekedar untuk mendapatkan rangking
akademik atau supaya meraih juara dalam kelas. Pendidikan itu bahkan sudah dimulai
jauh sebelum siswa itu bersekolah. Beberapa ahli mengatakan sejak bayi masih
dalam kandungan pun proses ‘pendidikan’ sudah dimulai oleh sang ibu.
Lalu apa inti dari mendidik
dan mengajar itu? Apa tujuan utama pendidikan? Saya mendifinisikannya sebagai
“memanusiakan manusia”. Itu adalah tujuan utama pendidikan. Sebab di dalam
kalimat pendek itu tertanam nilai-nilai luhur pendidikan yang amat dalam.
Ketika kita mengimani dan mengamini bahwa tujuan kita mengajar dan mendidik
seseorang adalah untuk supaya ia menjadi lebih manusiawi, lebih cerdas, lebih
toleran, lebih berwawasan maka di situlah makna terdalam memanusiakan manusia lain
kita capai. Siswa yang pintar belum tentu berperilaku luhur. Siswa yang hebat
belum tentu toleran. Siswa yang terkenal belum tentu memiliki empathi terhadap
orang lain. Jadi sederhananya begini, mengajarkan anak supaya pintar adalah
baik, tetapi itu belum sampai pada titik memanusiakan manusia lain. Ingat
benar, otak dan hati harus seimbang. Iman dan ilmu harus bersamaan. Berdoa dan
bekerja harus seiring. Sharing dan caring harus serempak. Menjadikan mereka
manusia yang mampu memanusiakan manusia lain. Sekaligus mempersiapkan mereka
menjadi guru kehidupan untuk mengajarkan hal yang sama pada generasi sesudah
mereka.
Saya melihat dan mengamati. Ada banyak kurikulum di
sekolah yang mubazir dalam penerapan dan penggunaan. Artinya, apa yang
diajarkan tidak terlalu relevan terhadap siswa terdidik ketika lulus dan hendak
bekerja nantinya. Ada
yang tidak sesuai, ada pula yang masih sangat kurang, atau bahkan belum
dikurikulumkan. Nah, oleh karena harapan setiap guru, orang tua murid,
pemerhati dunia pendidikan adalah supaya pendidikan disekolah boleh membawa
perubahan bagi para siswa dari segi pengetahuan(knowledge), keterampilan (skill),
sikap mental (attitude), dan spiritualitas
(spirituality) menuju kearah kebaikan
dan kemajuan, maka cara-cara yang benar harus ditempuh dan dijalankan. Salah
satu cara adalah dengan penambahan, pengurangan, dan penyesuaian kurikulum.
Setelah semuanya dijalankan,
apakah sudah selesai sampai di situ? Tunggu dulu. Semuanya belum selesai. Itu
baru awal. Pembelajaran yang sesungguhnya baru dimulai. Ketika bangku sekolah
sudah selesai, pembelajaran nyata di luar sekolah pun sudah menanti. Itu ujian
dan tantangan berikutnya. Pembelajaran nyata yang justru mungkin saja akan jauh
lebih berpengaruh dari apa yang ia dapati di bangku sekolah. Tugas orang tua,
keluarga, dan lingkunganlah yang selanjutnya mengambil peran sebagai pendidik.
Apa yang hendak dididik? Ya itu tadi, memberikan kepada sang anak atau sang
siswa pelajaran paling mulia sebagai seorang yang berpendidikan. Mereka yang
mungkin saja adalah tamatan sekolah hebat dan mahal. Atau juga mereka yang
lulus dengan predikat terbaik. Pelajaran mulia itu adalah mengajarkan mereka
untuk mampu memanusiakan manusia lain dengan segala kelebihan serta kepintaran
yang mereka punyai. Dengan semua berkat yang sudah mereka terima.
Bagaimana mereka mampu
berbagi kecerdasan dan kepintaran dengan jutaan anak putus sekolah di luar sana. Bagaimana
ketrampilan yang mereka miliki bisa mengangkat derajat saudara-saudara mereka
yang tidak berkesempatan mengenyam bangku pendidikan formal oleh karena
kemiskinan dan keserbakekurangan yang ada. Atau juga bagaimana mereka berbagi
berkat, dan kelebihan yang mereka punyai kepada orang lain yang membutuhkan
tapi tak sanggup memiliki dan menikmatinya. Potensi-potensi kepekaan, kebisaan,
serta kemampuan berbagi inilah yang akan terus diwariskan dan diajarkan.
Sehingga suatu ketika nanti, generasi penerus kita adalah orang-orang yang
bukan hanya sukses secara ilmu pengetahuan, tapi dalam segala hal. Tujuan mulia
dari pendidikan pun akan semakin menampak dan nyata dirasakan.
Apa-apa yang harus menjadi
tujuan tetap kita tempatkan sebagai tujuan, bukan sebagai alat. Begitu pula
sebaliknya. Kalau kita menjadikan alat sebagai tujuan atau tujuan dijadikan
alat, maka kita tidak akan pernah mendapatkan ataupun sampai pada tujuan utama
yang hendak kita capai. Dengan mengetahui tujuan utama pendidikan mendorong
kita lebih peka serta membuka diri untuk lebih maju lagi. Lulus sekolah,
menjadi lulusan terbaik, dan atau mendapatkan beasiswa bukanlah tujuan utama.
Semuanya itu hanyalah alat dan sarana semata. Bukan akhir dari segalanya. Bukan
sesuatu yang mutlak. Jangan pernah memutlakkan yang nisbi dan menisbikan yang
mutlak.
Seandainya pendidikan kita
memang mengajarkan apa yang benar. Sistem pendidikan kita benar-benar sesuai
apa yang paling dibutuhkan negeri ini. Dan kalau saja Pengajaran dan
pembelajaran itu setidak-tidaknya dapat menjangkau sampai ke seluruh sudut
negeri ini, saya percaya kita akan mampu menciptakan generasi emas, Golden Generation. Sebuah generasi di mana setiap insan
terdidik mampu mengaplikasikan semangat berbagi dengan landasan memanusiakan
manusia lain. Semangat dan landasan yang pada situasi tertentu akan menegur
serta membatasi mereka ketika kelak menjadi pemimpin-pemimpin negeri ini.
Menjaga mereka untuk tidak menjadi pemimpin yang lalim, bebal, korup, dan tidak
manusiawi. Membatasi mereka supaya tidak menjelma menjadi pemimpin arogan yang
serakah dan selalu mementingkan diri sendiri. Bukankah sudah banyak contoh
pemimpin yang bergelar akademik sangat tinggi, pintarnya minta ampun, tapi
bobrok dalam memimpin. Kurang sanggup menjaga amanah. Meremehkan dan melecehkan
rakyat yang mereka pimpin, serta tak sedikit yang melacurkan tugas serta
jabatan yang diemban hanya karena harta dan tahta.
Akhirnya, saya ingin mengajak
pembaca mengintip sejenak UU RI Nomor 20 Tahun 2003 yang mengatakan demikian, “Pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan bangsa.” Apakah slogan itu
sudah mewujud atau hanya sebatas pemanis bibir semata? Andalah penilainya.
Selamat belajar dan teruslah belajar!
Michael Sendow