Blog ini berisikan, cerita-cerita Michael, baik berupa catatan perjalanan, opini-opini maupun bentuk-bentuk tulisan lainnya. Juga dalam Blog ini tidak lupa disertakan tampilan-tampilan foto, dimana melalui foto tersebut tertuang maksud si tukang foto. Sebab kadang kala melalui foto, isi cerita lebih nyata untuk dimengerti dan dihayati.As long as you are still alive, you are capable of changing and growing. You can do anything you want to do, be anything you want to be. Cheers...
Tuesday, May 31, 2011
Kendala Bahasa Inggris dan American Slang
Kalau suatu saat punya kesempatan jalan-jalan ke Amerika, atau berbicara dengan native speaker asal Amerika jangan sampai salah mengartikan apa yang mereka ucapkan. Kebanyakan orang Amerika kota sering menggunakan slang atau juga kata-kata plesetan yang bukan ungkapan resmi. Bahkan ada kata-kata yang sama sekali tidak akan ditemukan di kamus.
Banyak kisah unik ketika berbicara dengan mereka yang tinggal di daerah perkotaan yang padat atau pun juga mereka yang tinggal di desa yang sangat terpencil. Dialek juga kadang terasa membingungkan, orang selatan menyebut kata “park” dengan mereka yang dari utara Amerika sangat berbeda terdengarnya. Sengaunya kadang membingungkan para pendatang yang tidak terbiasa mendengarnya. Jangankan pendatang (turis), yang penduduk asli Amerika saja kadang bingung. Misalnya cara bicara orang dari provinsi (state) Rhode Island (RI) dan Texas untuk kata-kata tertentu sulit dimengerti oleh mereka yang tinggal misalnya di New York dan NJ.
Monday, May 30, 2011
Dokter Kita Mungkin Harus Belajar Dari Patch Adams
Dokter Kita Mungkin Harus Belajar Dari Patch Adams
Pengalaman tidak sedap sungguh ketika menghadapi dokter yang galak, tidak ramah dan kasar. Tapi mungkin kita hanya bisa melongo dan menunduk sedih. Tidak bisa apa-apa karena kita yang datang berobat dan merekalah yang mengobati kita. Padahal dokter harusnya bisa memahami kondisi pasien tidak hanya secara fisik tapi juga psikologis sang pasien. Harusnya dokter menciptakan hubungan yang akrab dengan pasien, agar tiap pasien merasa dirinya dihargai dan ia bergembira. Bukankah hati gembira adalah obat yang manjur?
Saya mengalami pengalaman yang tidak sedap itu ketika mengantar tante saya ke rumah sakit terkenal di kota saya. Rumah sakit dengan semboyan “Pelayanan Kami Adalah Yang Terbaik” serasa hanya sedap dipandang mata. Tapi kenyataannya dokter yang bekerja di situ kurang memahami apa arti semboyan itu. Bayangkan, waktu itu sudah agak sore dan tante saya sudah menempati ruang lantai dua sejak jam 1 siang tapi pelayanan kok hanya dari para suster, mana dokternya? Nah, akhirnya datanglah dokter setenga baya itu sembari mulai memeriksa tante saya. Setelah itu dokter bilang, “oke, malam ini ibu harus nginap di rumah sakit karena masih ada pemeriksaan lebih intensif besok pagi”.
Saya masih menemani tante saya sampai pukul 8 malam. Ketika saya berencana untuk keluar buat cari makan, tiba-tiba pintu ruang terbuka dan ada dokter muda, cantik tapi kelihatan agak galak masuk, dan sambil kaget dokter itu bilang dengan ketusnya, “lho, kok tante masih disini? Pulang saja. Tante itu tidak apa-apa, bikin penuh ruangan saja! ‘Kan bisa di pakai buat pasien lain.” Lho, balik saya yang jadi kaget. Apa RS ini tidak ada koordinasinya? Dokter yang satu bilang supaya tinggal, kok dokter muda ini dengan galak dan kasarnya ngusir tante saya pulang? Apa haknya? Saya bilang “Dok, tante saya bayar dan datang berobat bukan untuk dibentaki dan dikasarin. Ada dokter lain yang suruh tante saya nginap!”. Ia terlihat tergesa-gesa hanya menulis beberapa list dan ngeloyor pergi sambil nyeletuk “Sorry, saya tidak tahu!!”
Ini bukan kali pertama. Teman saya juga menceritakan pengalaman mengantar neneknya berobat. Pelayanan dokter katanya sangat mengecewakan. Karena neneknya bergerak lambat---maklumlah sudah tua renta tentu saja lambat---ia dibentak-bentakin dokter, “Cepat dikit oma, saya juga harus menangani pasien lain!”. Dokter kok galak amat sih. Pikir saya. Harusnya mereka memiliki kesabaran, keramahan dan santun. Bukankah katanya dokter adalah pekerjaan mulia seperti juga guru?
Saya tidak mau terjebak dalam sikap generalitatif. Memanglah tidak semua RS sama, demikian pula tidak semua dokter sama seperti contoh dua dokter tadi. Dan kejadian seperti ini bukan hanya di Indonesia. Di rumah sakit sekelas JFK (John F Kennedy Hospital) Di NJ Amerika pun punya beberapa kasus yang sama. Ketika saya mengantar teman kerja saya yang kesakitan luar biasa ---belakang saya baru tahu ia mengalami hiatus hemia atau sakit maag yang sangat akut---pelayanan mereka justru sangat lambat. Padahal saya bilang tangani saja sembari saya memberesi urusan administrasinya. “You are not going to let him suffer or die first, are you?” Malah dengan ketusnya salah seorang dokter bilang “So what?”
Saya jadi Robin William, aktor terkenal peraih beberapa piala Oscar yang bermain dalam film Patch Adams dan berperan sebagai Patch Adams. Ia adalah seorang mahasiswa kedokteran yang unik. Tapi film ini dibuat berdasarkan kisah nyata di Virginia. Sekitar tiga jam naik mobil ngebut kalau dari tempat saya Edison, NJ. Dalam kisahnya si Patch itu paling pandai di kelasnya dan termasuk peringkat atas. Ia juga sangat suka melucu. Tapi hobi melucu itu berakibat buruk baginya. Dekan sekolah kedokteran menganggap bahwa perbuatan melucu Patch telah melanggar peraturan rumah sakit. Akibatnya, Patch terancam dipecat, padahal wisuda tinggal beberapa bulan lagi.
Banyak contoh dalam film itu bagaimana Patch melucu, lihat saja bagaimana ia masuk ke bangsal anak-anak penderita kanker. Muka mereka pucat. Rambut mereka sudah rontok. Wajah mereka sayu. Mereka hanya terbaring lemas. Lalu Patch mendekati seorang anak, lalu ia tersenyum dan menyapa dengan mimik muka lucu. Anak ini tertawa. Anak-anak lain di bangsal itu mendengar lalu menoleh. Patch kemudian mulai melucu bagaikan badut di tengah bangsal. Semua anak bersorak. Mereka tertawa terpingkal-pingkal sampai melompat-lompat di ranjang.
Patch juga melucu dalam hal lain. Ia mendengar bahwa ada seorang oma yang sudah beberapa hari tidak mau makan. Patch meminta staf dapur menyiapkan sebuah bak besar berisi mi kuah. Bak itu lalu diletakkan di halaman rumah sakit. Disoraki oleh puluhan perawat, Patch menggotong oma itu. Lalu mereka berdua mencemplungkan diri ke dalam bak berisi mi kuah itu.
Apa sebenarnya falsafah yang melatarbelakangi Patch melucu? Ia berkeyakinan bahwa tugas seorang dokter bukan sekedar menyembuhkan, sebab tidak semua penyakit bisa disembuhkan. Tugas utama seorang dokter adalah membuat pasien merasa hidupnya bermutu. Patch berkata, “A doctor’s mission shoud be not just to prevent death, but also to improve the quality of life.” Artinya, Bahwa misi seorang dokter tidak hanya mencegah pasien supaya tidak meninggal, tapi juga untuk meningkatkan kualitas hidup si pasien. Bikinlah pasien merasa dihargai dan bermartabat.
Falsafah Patch ini mendorong ia melakukan beberapa hal. Diantaranya ia menyapa pasien dengan menyebut nama, sebab pasien adalah seorang pribadi bukan kasus. Juga ia berusaha mengurangi rasa cemas pasien dengan bersikap ramah dan santai. Memang dokter selalu sibuk dan ia harus berpikir serius. Tetapi bukankah sebenarnya dokter bisa bersikap lebih ramah dan lebih santai terhadap pasiennya? Sunggulah besar pengaruh senyum dan keramahan dokter terhadap pasiennya. Saya alami dan yakini itu.
Tetapi apa yang diperjuangkan Patch ternyata dihadang oleh dekan sekolah kedokteran. Apakah Patch bisa lulus? Ataukah malah ia dipecat? Kalau Anda berkunjung ke Virginia dan menyaksikan sebuah rumah sakit yang kebanyakan pasiennya berekreasi di taman, bermain-main riang gembira, bercakap-cakap secara berkelompok di kebun maka Anda akan segera tahu apakah patch dipecat atau sebaliknya. Lebih gampangnya nontonlah film Patch Adams itu. Lucu dan menghibur sekaligus mengharukan. Banyak pesan moral untuk profesi dokter.
Kalau saja para dokter yang sangar, kasar dan tidak ramah itu menonton film Patch Adams mungkin mereka bisa merubah sikap dan cara pandang mereka terhadap pasien.Jangan merasa bahwa karena pasienlah yang datang berobat maka martabat mereka jadi lebih rendah daripada mereka yang mengobati para pasien itu. Kalau saja lebih banyak dokter yang bersikap seperti Patch Adams yang mengutamakan sikap ramah dan pendekatan personal alangkah indahnya rumah sakit-rumah sakit kita. Patch telah mendobrak sikap kaku profesi dokter sebagaimana Briptu Norman mendobrak sikap kaku dan sangar para polisi di mata masyarakat. Bukannya maksud Patch agar semua dokter harus jadi seperti badut. Dokter harus berpikir sungguh-sungguh dan serius. Tetapi apakah seorang dokter tidak bisa sedikit lebih ramah? Apakah dokter dilarang untuk tersenyum pada pasien?
Catatan: Film Patch Adams ini diangkat dari kisah nyata Hunter Doherty “Patch” Adams, M.D (lahir May 28 1945di Washington D.C.) Ia kemudian menjadi seorang American Physician yang terkenal, seorang aktivis sosial yang rajin, menjadi diplomat dan penulis buku serta penulis artikel di sejumlah surat kabar. Ia mendirikan Gesundheit! Institute tahun 1971. Setiap tahun ia mengorganisir sebuah grup sukarela dari berbagai penjuru dunia untuk berkeliling dunia ke berbagai negara, mereka mengenakan pakaian seperti badut dengan tujuan membawa hiburan dan humor kepada para anak yatim piatu, para pasien rumah sakit-rumah sakit dan orang lain yang menderita batin.
Michael Sendow
Pengalaman tidak sedap sungguh ketika menghadapi dokter yang galak, tidak ramah dan kasar. Tapi mungkin kita hanya bisa melongo dan menunduk sedih. Tidak bisa apa-apa karena kita yang datang berobat dan merekalah yang mengobati kita. Padahal dokter harusnya bisa memahami kondisi pasien tidak hanya secara fisik tapi juga psikologis sang pasien. Harusnya dokter menciptakan hubungan yang akrab dengan pasien, agar tiap pasien merasa dirinya dihargai dan ia bergembira. Bukankah hati gembira adalah obat yang manjur?
Saya mengalami pengalaman yang tidak sedap itu ketika mengantar tante saya ke rumah sakit terkenal di kota saya. Rumah sakit dengan semboyan “Pelayanan Kami Adalah Yang Terbaik” serasa hanya sedap dipandang mata. Tapi kenyataannya dokter yang bekerja di situ kurang memahami apa arti semboyan itu. Bayangkan, waktu itu sudah agak sore dan tante saya sudah menempati ruang lantai dua sejak jam 1 siang tapi pelayanan kok hanya dari para suster, mana dokternya? Nah, akhirnya datanglah dokter setenga baya itu sembari mulai memeriksa tante saya. Setelah itu dokter bilang, “oke, malam ini ibu harus nginap di rumah sakit karena masih ada pemeriksaan lebih intensif besok pagi”.
Saya masih menemani tante saya sampai pukul 8 malam. Ketika saya berencana untuk keluar buat cari makan, tiba-tiba pintu ruang terbuka dan ada dokter muda, cantik tapi kelihatan agak galak masuk, dan sambil kaget dokter itu bilang dengan ketusnya, “lho, kok tante masih disini? Pulang saja. Tante itu tidak apa-apa, bikin penuh ruangan saja! ‘Kan bisa di pakai buat pasien lain.” Lho, balik saya yang jadi kaget. Apa RS ini tidak ada koordinasinya? Dokter yang satu bilang supaya tinggal, kok dokter muda ini dengan galak dan kasarnya ngusir tante saya pulang? Apa haknya? Saya bilang “Dok, tante saya bayar dan datang berobat bukan untuk dibentaki dan dikasarin. Ada dokter lain yang suruh tante saya nginap!”. Ia terlihat tergesa-gesa hanya menulis beberapa list dan ngeloyor pergi sambil nyeletuk “Sorry, saya tidak tahu!!”
Ini bukan kali pertama. Teman saya juga menceritakan pengalaman mengantar neneknya berobat. Pelayanan dokter katanya sangat mengecewakan. Karena neneknya bergerak lambat---maklumlah sudah tua renta tentu saja lambat---ia dibentak-bentakin dokter, “Cepat dikit oma, saya juga harus menangani pasien lain!”. Dokter kok galak amat sih. Pikir saya. Harusnya mereka memiliki kesabaran, keramahan dan santun. Bukankah katanya dokter adalah pekerjaan mulia seperti juga guru?
Saya tidak mau terjebak dalam sikap generalitatif. Memanglah tidak semua RS sama, demikian pula tidak semua dokter sama seperti contoh dua dokter tadi. Dan kejadian seperti ini bukan hanya di Indonesia. Di rumah sakit sekelas JFK (John F Kennedy Hospital) Di NJ Amerika pun punya beberapa kasus yang sama. Ketika saya mengantar teman kerja saya yang kesakitan luar biasa ---belakang saya baru tahu ia mengalami hiatus hemia atau sakit maag yang sangat akut---pelayanan mereka justru sangat lambat. Padahal saya bilang tangani saja sembari saya memberesi urusan administrasinya. “You are not going to let him suffer or die first, are you?” Malah dengan ketusnya salah seorang dokter bilang “So what?”
Saya jadi Robin William, aktor terkenal peraih beberapa piala Oscar yang bermain dalam film Patch Adams dan berperan sebagai Patch Adams. Ia adalah seorang mahasiswa kedokteran yang unik. Tapi film ini dibuat berdasarkan kisah nyata di Virginia. Sekitar tiga jam naik mobil ngebut kalau dari tempat saya Edison, NJ. Dalam kisahnya si Patch itu paling pandai di kelasnya dan termasuk peringkat atas. Ia juga sangat suka melucu. Tapi hobi melucu itu berakibat buruk baginya. Dekan sekolah kedokteran menganggap bahwa perbuatan melucu Patch telah melanggar peraturan rumah sakit. Akibatnya, Patch terancam dipecat, padahal wisuda tinggal beberapa bulan lagi.
Banyak contoh dalam film itu bagaimana Patch melucu, lihat saja bagaimana ia masuk ke bangsal anak-anak penderita kanker. Muka mereka pucat. Rambut mereka sudah rontok. Wajah mereka sayu. Mereka hanya terbaring lemas. Lalu Patch mendekati seorang anak, lalu ia tersenyum dan menyapa dengan mimik muka lucu. Anak ini tertawa. Anak-anak lain di bangsal itu mendengar lalu menoleh. Patch kemudian mulai melucu bagaikan badut di tengah bangsal. Semua anak bersorak. Mereka tertawa terpingkal-pingkal sampai melompat-lompat di ranjang.
Patch juga melucu dalam hal lain. Ia mendengar bahwa ada seorang oma yang sudah beberapa hari tidak mau makan. Patch meminta staf dapur menyiapkan sebuah bak besar berisi mi kuah. Bak itu lalu diletakkan di halaman rumah sakit. Disoraki oleh puluhan perawat, Patch menggotong oma itu. Lalu mereka berdua mencemplungkan diri ke dalam bak berisi mi kuah itu.
Apa sebenarnya falsafah yang melatarbelakangi Patch melucu? Ia berkeyakinan bahwa tugas seorang dokter bukan sekedar menyembuhkan, sebab tidak semua penyakit bisa disembuhkan. Tugas utama seorang dokter adalah membuat pasien merasa hidupnya bermutu. Patch berkata, “A doctor’s mission shoud be not just to prevent death, but also to improve the quality of life.” Artinya, Bahwa misi seorang dokter tidak hanya mencegah pasien supaya tidak meninggal, tapi juga untuk meningkatkan kualitas hidup si pasien. Bikinlah pasien merasa dihargai dan bermartabat.
Falsafah Patch ini mendorong ia melakukan beberapa hal. Diantaranya ia menyapa pasien dengan menyebut nama, sebab pasien adalah seorang pribadi bukan kasus. Juga ia berusaha mengurangi rasa cemas pasien dengan bersikap ramah dan santai. Memang dokter selalu sibuk dan ia harus berpikir serius. Tetapi bukankah sebenarnya dokter bisa bersikap lebih ramah dan lebih santai terhadap pasiennya? Sunggulah besar pengaruh senyum dan keramahan dokter terhadap pasiennya. Saya alami dan yakini itu.
Tetapi apa yang diperjuangkan Patch ternyata dihadang oleh dekan sekolah kedokteran. Apakah Patch bisa lulus? Ataukah malah ia dipecat? Kalau Anda berkunjung ke Virginia dan menyaksikan sebuah rumah sakit yang kebanyakan pasiennya berekreasi di taman, bermain-main riang gembira, bercakap-cakap secara berkelompok di kebun maka Anda akan segera tahu apakah patch dipecat atau sebaliknya. Lebih gampangnya nontonlah film Patch Adams itu. Lucu dan menghibur sekaligus mengharukan. Banyak pesan moral untuk profesi dokter.
Kalau saja para dokter yang sangar, kasar dan tidak ramah itu menonton film Patch Adams mungkin mereka bisa merubah sikap dan cara pandang mereka terhadap pasien.Jangan merasa bahwa karena pasienlah yang datang berobat maka martabat mereka jadi lebih rendah daripada mereka yang mengobati para pasien itu. Kalau saja lebih banyak dokter yang bersikap seperti Patch Adams yang mengutamakan sikap ramah dan pendekatan personal alangkah indahnya rumah sakit-rumah sakit kita. Patch telah mendobrak sikap kaku profesi dokter sebagaimana Briptu Norman mendobrak sikap kaku dan sangar para polisi di mata masyarakat. Bukannya maksud Patch agar semua dokter harus jadi seperti badut. Dokter harus berpikir sungguh-sungguh dan serius. Tetapi apakah seorang dokter tidak bisa sedikit lebih ramah? Apakah dokter dilarang untuk tersenyum pada pasien?
Catatan: Film Patch Adams ini diangkat dari kisah nyata Hunter Doherty “Patch” Adams, M.D (lahir May 28 1945di Washington D.C.) Ia kemudian menjadi seorang American Physician yang terkenal, seorang aktivis sosial yang rajin, menjadi diplomat dan penulis buku serta penulis artikel di sejumlah surat kabar. Ia mendirikan Gesundheit! Institute tahun 1971. Setiap tahun ia mengorganisir sebuah grup sukarela dari berbagai penjuru dunia untuk berkeliling dunia ke berbagai negara, mereka mengenakan pakaian seperti badut dengan tujuan membawa hiburan dan humor kepada para anak yatim piatu, para pasien rumah sakit-rumah sakit dan orang lain yang menderita batin.
Michael Sendow
I’m Sorry, Excuse Me? Thank You!
I’m Sorry, Excuse Me? Thank You!
Mungkin ada tiga ucapan paling laris di Amerika. Apa itu? Mereka adalah “I’m sorry”, “Excuse me”, dan “Thank You”. Ucapan-ucapan ini jugalah yang paling banyak saya jumpai, entahkah di tempat kerja, lingkungan apartemen, pergaulan dan di mana saja. Sebenarnya makna yang tersirat dalam ucapan kata-kata itu dalam. Memang dalam keseharian sepertinya ucapan-ucapan itu hanyalah formalitas belaka.
Saya bukain pintu untuk seseorang pastilah akan menerima ucapan “thank you”. Memberi tempat duduk kepada seseorang di bis umum diucapin “thank you”. Hampir apapun yang Anda lakukan untuk seseorang dengan mudahnya mereka akan mengucapkan terima kasih. Ucapin selamat pagi dibalas “Thank you, good morning to you too”. Membeli sesuatu, membayar sesuatu pun diucapin “thank you”, terkecuali merampok jangan harap Anda akan menerima ucapan terima kasih. Bukankah akan ada perasaan terhargai dan dihargai bila seseorang mengatakan “terima kasih” terhadap apapun yang kita lakukan. Sekecil apapun itu?
Lalu ucapan “I’m sorry”. Sering sekali kata yang kemudian disingkat “sorry” ini diucapin di mana-mana. Mau duduk di sebelah seseorang dalam bis umum mereka ngomong “I’m sorry, can I sit next to you?” Bikin kesalahan besar bilang “I’m sorry”, buat kesalahan kecil berucap “I’m sorry”, bahkan tidak bikin kesalahan apapun tetap mengatakan “I’m sorry”. Pernah saya nabrak seorang ibu di depan pintu perpustakaan saking tergesa-gesanya ngejar waktu. Sebelum saya sempat minta maaf, ibu itu malah sudah duluan bilang “I’m sorry sir”. Padahal salah yang salah. Mau antri makanan bilang “I’m sorry”, mau nanya jalan ke polisi pun bilang dulu “I’m sorry officer”. Bahkan mau pulang duluan dari tempat kerja ngomong dulu “I’m sorry but I have to leave now”. Mengungkapkan rasa bela sungkawa banyak yang berujar “I fell so sorry about your lost” (di sini arti sorry bukan maaf tapi rasa prihatin. Turut merasakan duka cita). Merasa agak mengganggu seseorang? Katakan saja “I’m sorry to bother you” Nah, bukankah kita akan merasa “nyaman” ketika mengucapkan “maafkan saya”, lalu yang mendengarnya juga pasti akan respek dengan kata-kata kita.
Ungkapan “Excuse me” termasuk di deretan yang paling sering diucapkan. Anda akan banyak mendengar kata-kata ini di misalnya stasiun, mall, pusat kota. “Excuse me”nya orang yang lalu lalang mendahului Anda akan terdengar jelas di kiri-kanan. “Excuse me” atau permisi ini juga sering di pakai di ruang-ruang rapat misalnya “Excuse me, can I see your report Mike?” Pokoknya seabrek-abreklah penggunaan “excuse me” ini dalam lingkup formal maupun pergaulan sehari-hari. Bertanya marah pun seorang tante berujar dengan “Excuse me…what did you say?” dengan nada yang di tinggi-tinggikan. Teman saya memotong pembicaraan bos besar (mucho grande) dengan “Excuse me sir, I don’t wanna hear nothin’ coz what just happened isn’t my fault!”
Nah, secara berkelakar saya bilang ke teman saya karena terlalu banyak ucapin permisi maka Amerika dan dunia menjadi kian permisif. Tidak ada lagi yang mau mengakui kesalahan walau sudah terbukti bersalah. Apa pun---asal “senang sama senang” dan tidak merugikan siapa-siapa----silahkan saja. Apa pun asal “mau sama mau” dan “tidak saling memaksa”---nggak apa-apalah. Maka terjadilah budaya permisif itu dimana-mana. Janin di bunuh biasa. Kumpul kebo lumrah. Manusia di “cloning”, perang kimia dan nukir oke-oke saja. Virus HIV-AIDS “disebar-luaskan” nggak perlu dipertanyakan. Sangat permisif. Apa-apa boleh. Tapi ini cuma kelakar saya, entah benar atau pun tidak, itu cerita lain.
Michael Sendow
Mungkin ada tiga ucapan paling laris di Amerika. Apa itu? Mereka adalah “I’m sorry”, “Excuse me”, dan “Thank You”. Ucapan-ucapan ini jugalah yang paling banyak saya jumpai, entahkah di tempat kerja, lingkungan apartemen, pergaulan dan di mana saja. Sebenarnya makna yang tersirat dalam ucapan kata-kata itu dalam. Memang dalam keseharian sepertinya ucapan-ucapan itu hanyalah formalitas belaka.
Saya bukain pintu untuk seseorang pastilah akan menerima ucapan “thank you”. Memberi tempat duduk kepada seseorang di bis umum diucapin “thank you”. Hampir apapun yang Anda lakukan untuk seseorang dengan mudahnya mereka akan mengucapkan terima kasih. Ucapin selamat pagi dibalas “Thank you, good morning to you too”. Membeli sesuatu, membayar sesuatu pun diucapin “thank you”, terkecuali merampok jangan harap Anda akan menerima ucapan terima kasih. Bukankah akan ada perasaan terhargai dan dihargai bila seseorang mengatakan “terima kasih” terhadap apapun yang kita lakukan. Sekecil apapun itu?
Lalu ucapan “I’m sorry”. Sering sekali kata yang kemudian disingkat “sorry” ini diucapin di mana-mana. Mau duduk di sebelah seseorang dalam bis umum mereka ngomong “I’m sorry, can I sit next to you?” Bikin kesalahan besar bilang “I’m sorry”, buat kesalahan kecil berucap “I’m sorry”, bahkan tidak bikin kesalahan apapun tetap mengatakan “I’m sorry”. Pernah saya nabrak seorang ibu di depan pintu perpustakaan saking tergesa-gesanya ngejar waktu. Sebelum saya sempat minta maaf, ibu itu malah sudah duluan bilang “I’m sorry sir”. Padahal salah yang salah. Mau antri makanan bilang “I’m sorry”, mau nanya jalan ke polisi pun bilang dulu “I’m sorry officer”. Bahkan mau pulang duluan dari tempat kerja ngomong dulu “I’m sorry but I have to leave now”. Mengungkapkan rasa bela sungkawa banyak yang berujar “I fell so sorry about your lost” (di sini arti sorry bukan maaf tapi rasa prihatin. Turut merasakan duka cita). Merasa agak mengganggu seseorang? Katakan saja “I’m sorry to bother you” Nah, bukankah kita akan merasa “nyaman” ketika mengucapkan “maafkan saya”, lalu yang mendengarnya juga pasti akan respek dengan kata-kata kita.
Ungkapan “Excuse me” termasuk di deretan yang paling sering diucapkan. Anda akan banyak mendengar kata-kata ini di misalnya stasiun, mall, pusat kota. “Excuse me”nya orang yang lalu lalang mendahului Anda akan terdengar jelas di kiri-kanan. “Excuse me” atau permisi ini juga sering di pakai di ruang-ruang rapat misalnya “Excuse me, can I see your report Mike?” Pokoknya seabrek-abreklah penggunaan “excuse me” ini dalam lingkup formal maupun pergaulan sehari-hari. Bertanya marah pun seorang tante berujar dengan “Excuse me…what did you say?” dengan nada yang di tinggi-tinggikan. Teman saya memotong pembicaraan bos besar (mucho grande) dengan “Excuse me sir, I don’t wanna hear nothin’ coz what just happened isn’t my fault!”
Nah, secara berkelakar saya bilang ke teman saya karena terlalu banyak ucapin permisi maka Amerika dan dunia menjadi kian permisif. Tidak ada lagi yang mau mengakui kesalahan walau sudah terbukti bersalah. Apa pun---asal “senang sama senang” dan tidak merugikan siapa-siapa----silahkan saja. Apa pun asal “mau sama mau” dan “tidak saling memaksa”---nggak apa-apalah. Maka terjadilah budaya permisif itu dimana-mana. Janin di bunuh biasa. Kumpul kebo lumrah. Manusia di “cloning”, perang kimia dan nukir oke-oke saja. Virus HIV-AIDS “disebar-luaskan” nggak perlu dipertanyakan. Sangat permisif. Apa-apa boleh. Tapi ini cuma kelakar saya, entah benar atau pun tidak, itu cerita lain.
Lho, tapi bukankah makna kata “excuse me” ini juga paling doyan dipakai dan digunakan anggota dewan kita di Senayan sana? Tindakan permisif apa sih yang selalu dan selalu mereka lakukan yang justru tidak menyejahterakan rakyat? I’m sorry, I can’t tell you right now. Mungkin kali lain. Sekarang saya hanya pengen bilang saya lapar banget, mau cari makan dulu so you guys, please excuse me and I’m sorry can’t tell you more. Tapi thank you yah sudah membacanya sampai disini.
Michael Sendow
Friday, May 6, 2011
Do You Know How Important You Are to Me?
I know you probably wonder from time to time what you mean to me.
So I’d like to share this thought with you, to tell you that you mean the world to me.
Think of something you couldn’t live without…and multiply it by hundred.
Think of what happiness means to you…and add it to the feeling you get
On the best days you’ve ever had.
Add all up your best feelings and take away all the rest
…and what you’re left with is exactly how I feel about you
You matter more to me than you can ever imagine
And much more than I’ll ever be able to explain.
You are so important to my days
And so essential to the smile within me.
You’re like the answer to a special prayer
And I think God knew that my world needed you.
My world really need someone exactly like you.
Having someone like you in my life is like having a wish come true.
You are blessing and a miracle, such guiding light to shine my ways.
I can’t even begin to count all the times that special thoughts of you
Have brightened up the day, made me count my blessings.
There is a “thanks” I quietly say from time to time in my heart
Because you’re so important to me…really important.
I can’t live without you. I just can’t !
That’s how important you are to me. (Michusa)
So I’d like to share this thought with you, to tell you that you mean the world to me.
Think of something you couldn’t live without…and multiply it by hundred.
Think of what happiness means to you…and add it to the feeling you get
On the best days you’ve ever had.
Add all up your best feelings and take away all the rest
…and what you’re left with is exactly how I feel about you
You matter more to me than you can ever imagine
And much more than I’ll ever be able to explain.
You are so important to my days
And so essential to the smile within me.
You’re like the answer to a special prayer
And I think God knew that my world needed you.
My world really need someone exactly like you.
Having someone like you in my life is like having a wish come true.
You are blessing and a miracle, such guiding light to shine my ways.
I can’t even begin to count all the times that special thoughts of you
Have brightened up the day, made me count my blessings.
There is a “thanks” I quietly say from time to time in my heart
Because you’re so important to me…really important.
I can’t live without you. I just can’t !
That’s how important you are to me. (Michusa)
Subscribe to:
Posts (Atom)