Polisi tidur tentu sudah sangat sering kita dengar.
Tulisan kali ini, saya ingin menulis tentang polisi tidur. Bukan
bercerita tentang banyaknya polisi yang tidur kala bekerja loh. Sama
sekali bukan itu. Tulisan ringan kali ini hanyalah tentang “Polisi
Tidur” alias pengurang kecepatan kendaraan bermotor. Sleeping policeman.
Namanya polisi tidur, pada banyak kesempatan ia sering berfungsi
membangunkan penumpang yang lagi tidur atau ketiduran di mobil.
Nah, berdasarkan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 3 Tahun 1994
Tentang Alat Pengendali Pemakai Jalan, maka secara jelas tertulis di
situ bahwa fungsinya adalah sebagai alat pengendali dan pengaman pemakai
jalan. Misalnya ini, sudah tertuang dalam KEPMEN tersebut adalah bahwa:
Alat
pengendali pemakai jalan digunakan untuk pengendalian atau pembatasan
terhadap kecepatan, ukuran muatan kendaraan pada ruas-ruas jalan
tertentu, terdiri dari :
(1) Alat pembatas kecepatan adalah
kelengkapan tambahan pada jalan yang berfungsi untuk membuat pengemudi
kendaraan bermotor mengurangi kecepatannya. Dengan cara peninggian
sebagian badan jalan yang melintang terhadap sumbu jalan, dengan
ketentuan sebagai berikut :
(a) Bentuk penampang melintang menyerupai trapesium.
(b) Dan bagian menonjol diatas badan jalan maksimum 12 cm dan penampang kedua sisinya mempunyai kelandaian 15 %.
(c) Dengan lebar mendatar bagian atas proporsional dengan bagian menonjol diatas badan jalan dan minimum 15 cm.
(d)
Ditempatkan pada jalan di lingkungan pemukiman, jalan lokal III C dan
jalan-jalan yang sedang dilakukan pekerjaan konstruksi.
(e) Penempatannya didahului dengan dengan pemberian tanda dan pemasangan rambu lalu lintas.
(f) Diberi tanda berupa garis serong dari cat berwarna putih (Pasal 4)
Namun
apakah pada kenyataannya pembatas kecepatan kendaraan (polisi tidur)
sudah sering dibuat tidak sebagaimana mestinya. Banyak yang ternyata
belum dibuat sesuai aturan di KEPMEN tersebut.
Belum lama ini
saya keasyikan naik Bajaj, lucu, unik, dan menyenangkan. Sampai suatu
kali, saya naik bajaj memasuki daerah Pulomas Jakarta Timur, dekat
pacuan kuda. Nah, bajaj tersebut melaju cukup kencang, dan tiba-tiba
brakbrukbrak…Bajaj kecil mungil itu terloncat lumayan tinggi
mengakibatkan kepala saya kejedot ke atas. Apakah terasa sakit? Wuih,
jangan ditanya! Amat jelas, sakitnya minta ampun. Kepala saya langsung
nyut-nyutan. Pengalaman naik bajaj di Jakarta. Keren. Sopirnya meminta
maaf karena katanya lampu jalan mati sehingga dia sama sekali tidak
melihat ada polisi tidur cukup tinggi di jalan itu. Tidak ada rambu
pemberitahuan, tidak pula ada cat warna putih di badan polisi tidur itu.
Ini contoh kasus kecil namun bisa saja banyak terjadi dimana-mana di
Jakarta ini. Bahkan tidak jarang polisi tidur yang semestinya demi
mengurangi tingkat kecelakaan justru menciptakan berbagai
kecelakaan-kecelakaan lainnya. Apalagi bila polisi tidur itu dipasang di
tikungan jalan, dan pengendara tidak mengetahuinya.
Mestinya
polisi-polisi tidur di berbagai jalan itu dibuat dengan memperhitungkan
kenyamanan dan keselamatan pengendara (dan penumpangnya tentu saja),
maka buatlah sesuai spec dan tidak asal-asalan saja. Pasang rambu
peringatan, juga diwarnailah cat putih atau kuning biar kelihatan jelas.
Kalau
di Eropa atau Amerika polisi tidurnya keren-keren dan sangat
profesional dibuatnya. Polisi tidurnya tidak kalah keren dibanding
polisi hidup (polisi lalulintas) He he he. Polisi tidur di Indonesia
banyak yang dibuat justru bertentangan dengan desain polisi tidur yang
diatur berdasarkan Keputusan Menteri Perhubungan No 3 Tahun 1994. Jelek
dan lusuh. Sama sekali tidak keren. Ini tentu dapat membahayakan
keamanan dan kenyamanan para pemakai jalan tersebut.
Di Amerika polisi tidur disebut dengan ‘speed bump’ atau ‘speed hump’. Kalau dalam bahasa asal oma saya, Finlandia maka polisi tidur disebut sebagai 'hidastustöyssy'. Lain lagi di Jerman, polisi tidur disebut ’bodenschwelle’. Di malaysia sebutannya cukup lucu ’bejolan kelajuan’ (menurut Google). Di Inggris polisi tidur adalah ‘sleeping policeman’, mungkin dari sanalah awal mula istilah polisi tidur itu muncul dan menyebar.
Namun
ada catatan lain yang menyebutkan bahwa polisi tidur ternyata sudah
pernah dicatat oleh Abdul Chaer dalam Kamus Idiom Bahasa Indonesia
(terbitan 1984) dan diberi makna "rintangan (berupa permukaan jalan yang
ditinggikan) untuk menghambat kecepatan kendaraan". Jadi, katanya
ungkapan polisi tidur pasti sudah ada sebelum tahun 1984 itu. Namun
polisi tidur baru mulai diakui dalam KBBI Edisi Ketiga (terbitan 2001)
dan diberi makna “bagian permukaan jalan yang ditinggikan secara
melintang untuk menghambat laju kendaraan”.
Tapi sudahlah,
kapanpun istilah itu berawal, yang jelas polisi tidur di Indonesia harus
benar-benar dibuat sesuai peraturannya, dan dibuat demi menjaga
keselamatan dan kenyamanan pengendara serta orang-orang di sekitar
jalan, bukan sebaliknya. Polisi tidur oh polisi tidur…..
Bacaan menarik lainnya, dari segi bahasa: Polisi tidur di Amerika dan Indonesia
No comments:
Post a Comment