Siapapun dilindungi
oleh hukum dan undang-undang untuk secara bebas menyatakan atau
mengeluarkan pendapatnya. Ini adalah salah satu tanda dari adanya
demokrasi. Dan sangatlah beruntung, saat ini kita sudah hidup di alam
demokrasi yang seperti itu. Kita bahkan dapat menyebarkan pendapat atau
opini kita melalui berbagai sarana, termasuk lewat media dengan sangat
cepatnya.
Namun, apapun itu,
ternyata kebebasan kita dalam mengeluarkan atau menyatakan pendapat kita
ada batasannya. Kita tidak bisa sebebas-bebasnya mengeluarkan pendapat
kita. Niscaya, kita juga harus memiliki ‘rambu-rambu’ terhadap kebebasan
yang kita miliki.
Untuk sekedar menengok dasar hukumnya, maka kita mesti membuka terlebih dahulu dua poin penting di bawah ini:
- Pasal 28F UUD 1945, yang berbunyi demikian : “setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”.
- UU Hak Asasi Manusia No. 39 Tahun 1999 dalam Pasal 23 ayat (2), yang dengan jelas mengatakan seperti ini : “setiap orang bebas mempunyai, mengeluarkan, dan menyebarkan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan atau tulisan melalui media cetak maupun media elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa.”
Kalau kita perhatikan
dengan seksama, tentu saja dengan menengok pasal 28F UUD 1945 serta UU
Hak Asasi Manusia No. 39 Tahun 1999 Pasal 23 ayat (2) di atas itu, dapat
kita lihat secara jelas bahwa dalam mengeluarkan dan menyebarkan opini,
kita memiliki kebebasan. Itu dijamin undang-undang. Dan ternyata, di
sisi lain, serempak kita juga dipagari, atau diajak untuk juga
memerhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum
serta keutuhan bangsa. Ini tak pelak mengajarkan kepada kita supaya
tidak menyalahgunakan kebebasan yang ada. Kita dengan sendirinya tidak
bisa sembarangan saja mengeluarkan serta menyebarkan opini kita dengan
prinsip semau gue. Karena di bawah kolong langit ini tidak ada kebebasan yang tidak terikat. Tidak ada kebebasan yang tanpa batasan.
Plato pernah mengatakan bahwa, “Opinion is the medium between knowledge and ignorance”
Di Amerika, batas-batas dalam mengeluarkan pendapat dibagi menjadi seperti ini :
1. Mengatakan hanya kebenaran yang sesuai dengan fakta
2. Menghindari kata-kata tertentu yang dapat menganggu ketertiban umum
3. Menghindari kata-kata yang mengajak orang lain untuk melakukan tindakan kriminal
Kini, dengan berbagai
kemajuan teknologi serta banyaknya kesempatan yang kita miliki,
sangatlah terasa di dunia maya maupun di dunia nyata ada begitu banyak
opini yang mengudara setiap saat. Saking banyaknya opini-opini itu,
sangat sulit kita memilah dan memilih mana yang dapat membangun kita,
dan mana yang sebaliknya, merusak kita. Opini-opini dari setiap orang
tidak hanya melulu terpajang lewat tulisan penuh di sebuah media cetak,
atau media sosial. Opini seseorang dapat ditemui juga lewat status
pendek di BBM, FB, atau di Twitter, dan lain sebagainya.
Di media-media besar,
sensor terhadap suatu tulisan sangatlah diperlukan. Entahkah itu untuk
sebuah tulisan opini, perspektif, atau berita. Untuk mengatasi kebebasan
berpendapat yang tidak pada tempatnya, maka tulisan-tulisan tersebut
memang sangat perlu disensor dulu sebelum naik tayang.
Bagaimana dengan media
sosial? Agak sulit memang, karena siapa saja bisa menulis apa saja, dan
ditayangkan kapan saja dia suka. Kalau di Kompasiana umpamanya, konten
dan isi tulisan masih terlihat bisa dimoderasi oleh admin, walalu tidak
secara langsung ketika tulisan itu tayang. Jadi ada waktu (celah)
tulisan tersebut sudah lebih dulu disebar dan tersebar.
Informasi yang sampai kepada masyarakat (pembaca) mestinya adalah merupakan suatu kebenaran, serta mengandung fakta, bukan sesuatu yang membingungkan pembaca, dan terlebih bila itu isinya menyesatkan belaka.
Menulislah dengan
bijak. Beropinilah dengan benar. Ketika kita menyebarkan fitnah, berita
bohong, ajakan untuk ‘membunuh’ orang lain, maka pada saat itulah
kesejatian kita sebagai penulis patut dipertanyakan. Apakah kita mau
diperhamba oleh keakuan dan kesintingan kita, atau kita rela untuk
sedikit membungkuk demi sebuah kebenaran?
Ujung-ujungnya, sensor
paling pertama dalam membatasi beredarnya opini-opini menyesatkan,
tentu harus datang dari si penulis bersangkutan, kemudian oleh disusul
oleh sidang pembaca. Penulis bertanggungjawab penuh terhadap apa yang ia
tulis, ia harus sanggup menyensor tulisannya sendiri, mana yang layak
tayang dan mana yang tidak. Di lain pihak, pembaca harus mampu
menganalisa apa yang ia baca, memampukan dirinya untuk menilai kebenaran
sebuah tulisan yang terpampang di depan matanya dan tidak asal
menelannya mentah-mentah. —Michael Sendow—
Beware of false knowledge; it is more dangerous than ignorance (George Bernard Shaw)
No comments:
Post a Comment