Saat ini perkembangan media sosial (Social Media) semakin pesat dan bertumbuh kembang laiknya tanaman-tanaman bibit unggul yang bertumbuh sangat cepat, dan sangat pasti di tanah yang subur dan selalu dipupuki. Pesatnya media sosial tentu akan membawa dampak menguntungkan sekaligus merugikan, tergantung siapa dan dari sudut pandang mana ia melihatnya. Cotoh kecil saja, media sosial akan sangat mungkin merugikan dan mengambil alih peran promosi lewat media cetak, melangkahi fungsi salesman atau salesgirl, walau tentu saja ini belum sepenuhnya benar dan diakui banyak pihak. Belum lagi dampaf negatif bagi para pengguna belia, yang banyak memanfaatkan media sosial secara serampangan dan asal-salan. Untuk banyak tujuan tidak berfaedah.
Tapi perkembangan pesat media sosial juga pada sisi lain akan sangat menguntungkan para pegiat di bidang ini, termasuk mereka yang menjadikan sarana ini sebagai “alat untuk mencari keuntungan sebanyak mungkin”, katakanlah para online marketer, baik secara perusahan maupun individually. Juga yang kerjaan sehari-hari adalah penggerak media sosial. Semakin besar lahan ini, semakin menguntungkan mereka.
Nah, lalu apakah peran ini bisa disikapi secara bijaksana dan serius oleh para pelakunya? Itu juga tentu saja akan menjadi pertanyaan setiap kita. Terkadang kepesatan pertumbuhan media sosial tidak diiringi kesiapan mental dan wawasan para pelakunya, oleh karena itu jangan heran kalau banyak juga menuai hal-hal negatif di balik euphoria social media ini. Secara signifikan ia kadang terlalu meroket sampai-sampai menawarkan sesuatu yang utopis, terlalu tinggi untuk digapai dan dipraktikkan. Tapi juga ada kalanya ia begitu membumi, sampai-sampai tukang bakso dan tukang ojek pun merasakan manfaatnya dengan sangat.
Kemudian, dalam perspektif untuk membangun sebuah peradaban yang lebih baik, maka media sosial seharusnya diciptakan sebagai sebuah ruang publik yang bebas dari segala bentuk tekanan. Apa artinya? Sederhananya adalah, ketika media sosial sudah diberangus kebebasannya, dan apalagi ketika ia menjadi alat kekuasaan, maka itu sudah barang tentu akan menistai dan menciderai kemurnian media sosial dalam membangun civil society (bukankah itu juga yang mesti menjadi salah satu tujuan sebuah media sosial?) Bayangkan saja, betapa gilanya, dan apa yang akan terjadi kalau media sosial menjadi corong penguasa?
Saat-saat seperti ini, realitasnya sudah berbicara dengan sangat telanjang, bahwasanya media sosial berdiri cukup strategis dalam ‘mengambil alih’ posisi dan peran beberapa pihak, sebut saja diantaranya kaum intelektual, agamawan atau rohaniwan, marketing personnel, tokoh sosial, pendidik, dan masih banyak lagi, yang sudah secara turun temurun menjadi panutan dinamika, dan sumber informasi, serta menjadi acuan pendapat serta sikap masyarakat. Secara perlahan-lahan terlihat bahwa media sosial mampu meramu dan menjamu kebutuhan masyarakat tersebut. Ia menjadi lebih piawai dan mumpuni serta lebih diterima daripada yang lain. Setidak-tidaknya bagi mereka yang begitu menggilai media sosial. Tidak salah memang, tapi perlu ada tanda awas dan tanda hati-hati, jangan sampai kebablasan.
Ia (media sosial) menjadi sarana dan alat yang harus ada, oleh sebagian orang itu adalah mutlak. Ia diperlukan oleh dan untuk banyak hal. Ia begitu digandrungi dan cintai untuk maksud dan tujuan apapun juga. Bahkan seakan-akan ia telah menjelma menjadi “nabi baru” yang cukup mempengaruhi sebagian besar kehidupan masyarakat. Tanpa melihat batasan umur dan strata sosial. Dari yang muda belia sampai yang tua bangkotan. Dari yang berpendidikan tinggi, maupun yang tamatan sekolah menengah. Dari kalangan pejabat, artis sampai yang tukang bakso dan pengojek sekalipun. Ia sudah merambat bagai rumut liar dan menggurita ke semua lapisan masyarakat. Bagi saya, ini adalah keuntungan sekaligus tantangan buat kita semua. Kita mesti memaknai kemunculan dan kemasyuran media sosial ini dengan sebijak mungkin. Ia bisa menjadi gula aren yang manis dan memberi semangat serta keuntungan, tapi ia juga dapat menjadi racun yang pahit dan mematikan. Jangan sampai kita kemudian memberhalakan nabi baru tersebut.
Saya sebenarnya sangat menyukai untuk memanfaatkan media sosial sebagai lahan bisnis yang menguntungkan. Sebab ini adalah pasar yang luar biasa. Ada bahkan yang bilang bahwa “Social Media is the hottest way businesses to reaching out potential customers.” Saya setuju itu. Coba saja, memanfaatkan media sosial tersebut dengan langkah yang tepat dan benar, dengan perhitungan yang akurat dan jujur, banyak data membuktikan betapa ia akan mendatangkan traffic dan akhirnya menguntungkan bisnis yang sementara dijalankan. Tentu ditandai dengan penjualan yang meningkat dan lain sebagainya.
Bahkan tidak sedikit perusahaan yang menjalankan promosi dan kampanyenya lewat media sosial. Atau dengan bahasa yang sedikit lebih keren, mereka menyebutnya sebagai A Social Media Marketing Campaign. Kalau Anda aktif di beberapa media sosial besar, seperti Facebook, Twitter, Linkedln, Multiply, dan masih banyak lagi, maka dengan mudah akan ditemui perusahan-perusahan maupun individu yang berdagang, berbisnis, atau berpromosi di sana. Untuk ukuran Indonesia mungkin seperti Kompasiana (setengah media sosial?) dan Kaskus. Bahkan ada yang terang-terangan memanfaatkan Youtube untuk berpromosi (promosi barang, promosi ide, juga promosi diri).
Lalu kenapa masih saja ada beberapa yang katanya kurang “beruntung” di media sosial?
Tentu ini bukan perkara gampang menjawabnya. Apa sebab? Perlu alat analisa lengkap dan komprehensif untuk mengukur dan menilainya. Tapi setidak-tidaknya, saya tawarkan untuk melihat hal sederhana berikut ini:
- Cara berpromosi Anda, atau isi promosi terlalu berlebihan dan atau terlalu sensational.
Orang lain memandangnya sebagai sesuatu yang kurang realistis. Ini tentu saja ada kaitannya juga dengan update status. Ketika kita melakukan update status yang “terlalu promosi diri” mungkin saja mengakibatkan yang tadinya mau mem-follow kita jadi pikir-pikir dulu. Padahal follower blog, atau pada akun kita adalah “pasar potential” pertama yang harus (segera) dibidik. Mata rantainya dimulai dari sini.
- Anda tidak menginjinkan orang lain membagikan tautan atau pendapat mereka.
Orang lain akan follow kita apabila kita juga ‘terbuka’ untuk mereka. Dalam arti kita mengijinkan mereka untuk share sesuatu di lapak/rumah kita. Banyak yang menutup diri dengan tidak mau menerima link dari pihak lain. Ini sebetulnya adalah niche (relung) strategi kita merebut pasar jika hendak menawarkan barang atau jasa kita online. Harusnya dimanfaatkan, bukan dihindari.
- Adanya Ketidakjelasan.
Seberapa sering Anda mem-follow atau nge-add seseorang di Twitter atau Facebook yang tidak memiliki foto diri? Saya jamin Anda tidak akan mau melakukannya. Social media adalah seperti itu juga. That’s it. Orang berkehendak untuk connect dengan orang lain, bukannya dengan sebuah logo, atau kata-kata tak jelas, atau gambar binatang, atau gambar batu cadas. Tapi ketika kita membuat sesuatu yang jelas, foto yang dapat diidentifikasi dengan jelas, tentu akan lebih diperhatikan orang lain. Ada kejelasan dan terlihat lebih bertanggungjawab nantinya. Remember: people want to connect with other people.
- Kurang berinteraksi.
Kalau kita ingin tidak hanya melebarkan sayap, tapi juga mempertahankannya, maka berinteraksilah. Yakinkan yang lain bahwa kita juga adalah mahluk sosial yang berinteraksi. Cobalah jangan hanya memposting atau share sesuatu, tapi lakukan juga hal-hal seperti membalas komentar, re-tweet bagi yang di Twitter, berkomentar di dinding teman-teman di facebook, atau menjawab pertanyaan di LinkedLIn Answer, dan masih banyak lagi. Itu adalah bagian dari interaksi.
- Mungkin anda keliru memilih media sosial.
Rasa-rasanya tidak perlulah untuk menjadi anggota di semua media sosial yang ada. Ada FB, Flickr, SlideShare, Twitter, Digg, StumbleUpon, LinkedLIn, Delicious dan masih banyak lagi. Pilih saja salah satu atau dua dan fokus di sana. Pilihlah yang sesuai dengan karakteristik kita atau bisnis yang kita miliki. Jika kita bergelut di bidang jual beli pakaian mungkin Facebook, Youtube, dan Kaskus yang kita pilih. Untuk jual beli tulisan, pilihlah Komasiana misalnya. Ini hanya sekedar contoh.
- Terlalu berharap hasil secepat kilat.
Tidak beda jauh dengan SEO, promosi melalui media sosial juga butuh waktu. Bukan hanya dengan Sim Sala Bim, maka jadilah. Kum faya kum, jadilah! Jadilah maka jadilah demikian. Bukan begitu cara kerjanya. Ini semua perlu proses. Butuh waktu untuk menggapai hasil yang luar biasa dan maksimal. Kegigihan dan content yang menakjubkan adalah kuncinya. Jika Anda membangunnya dengan benar, percayalah itu tidak akan kembali dengan sia-sia. They will come. Just give it more time. Serempak, sambil menunggu, tetap didorong dengan berbagai content baru nan segar, tetap berinteraksi. Jangan tunjukkan kegalauan ketika hasil maksimal belum dicapai.
Akhirnya, media sosial adalah alat dan sarana baru untuk ekspresi diri maupun ekspresi bisnis. Peluang itu sudah di depan mata. Sekarang tergantung saya dan Anda, you will take it or leave it. Tapi saya pribadi tidak akan take it for granted. Harus mempertimbangkan banyak hal dan kemungkinan. Sebab, “nabi baru” itu kadang masih misterius. Sukar ditebak. Tak mudah dibedah.
No comments:
Post a Comment