Pagi hari ini terasa cerah. Cuaca yang tadinya mendung tiba-tiba berubah, matahari menyinari bumi dari ufuk timur dengan gagahnya. Salju di pelataran parkir apartemen saya mulai mencair. Dingin memang, tapi tak sedingin kemarin.
" Mau kemana kamu " ? ujar teman saya yang satu lokasi tempat tinggal.
" Mau cari sarapan pagi di rumah makan Thailand, kamu mau ikut " ?
" yoi ! " Balasnya...
Singkat cerita, kamipun berangkat ke rumah makan Thailand yang tidak terlalu jauh dari tempat kami tinggal. Disana banyak pilihan menu; saya pesan Tom Yam Gun (sayur asem) sama Soft crab ( kepiting yang dimasak sampai renyah banget ), dua-duanya adalah faforit saya. Teman saya memesan pisang goreng ala Thailand, dan ikan bakar pake saus tiram.
Teman saya, dia adalah dosen di salah satu Universitas di NY, pengajar ilmu sosial. Selesai makan, saya meninggalkan tips sebesar $10,- diatas meja makan. Teman saya bilang terlalu besar, $5,- sudah cukup, katanya. Saya bilang biarlah tokh kita tidak makan disini tiap hari.
Dalam perjalan pulang saya bergurau ke teman saya, saya bilang mungkin kita inilah yang diistilahkan Karl Marx sebagai "binatang ekonomi". Dia hanya tertawa, sebab sebagai pengajar ilmu sosial dia tau pasti tentang hal itu. Max Weber seorang ahli yang lain mengecam Bung Karl Marx sebagai telah mereduksi manusia. Artinya, tindak tanduknya cuma ditentukan oleh perutnya, bukan otaknya, Tetapi si Om Weber ini juga punya masalah dengan Immanuel Kant, sang Bapak Idealisme. Bahwa manusia sepertinya telah "dikebiri" menjadi sekedar sebuah "mesin ide" yang tingkah lakunya semata-mata dikendalikan oleh ide, prinsip, atau cita-cita.
" Where are we " ? Saya tanya ke teman saya. Dia bilang manusia jauh lebih kompleks, disatu sisi memang benar, betapa pentingnya dan menentukan "perut" itu. Realisme tidak salah. Orang tega membunuh dan terbunuh karena perut. Jarang sekali karena cita-cita. Tapi manusia tidak cuma ditentukan oleh perutnya, ia juga digerakkan oleh cinta, didorong oleh cita-cita, ditopang oleh keyakinan, dipimpin oleh prinsip dan banyak lagi, yang tidak selalu menguntungkan secara ekonomis. Itu sebabnya selalu saja ada pahlawan yang bersedia mati untuk tanah air, ada yang rela masuk penjara demi keyakinannya, para ibu rela berkorban demi anaknya.
Si kakek buyut bernama Aristoteles mengatakan bahwa teleos atau "tujuan paling akhir" dari setiap orang adalah kebahagiaan. Tidak salah ! Tetapi apakah kebahagiaan itu ? Kapan manusia dapat mengatakan bahwa ia berbahagia ? Bagaimana cara meraihnya ? Dengan perutkah, ketika kenyang dan terisi ? Atau dengan cita-cita yang sudah tercapai ?
Thomas Aquinas menerjemahkan kebahagiaan itu menjadi Visio Dei !
Tepat jam 11.35 saya parkir mobil saya di parkiran yang sudah kosong. Diatas sana masih terlihat semburat cahaya warna-warni bekas pelangi atau entah apa. Matahari masih kelihatan malu-malu bergerak menuju ke garis tengah. Tapi perlahan namun pasti, ia sedang menuju kesitu, seiring waktu yang perlahan bergerak ke pukul 12 tepat. Waktu dimana telpon saya akan berdering seperti biasanya. Kriiiiiiing.....
" Hello, ini dari Indonesia " !
No comments:
Post a Comment