Basuki Tjahaja Purnama, nama yang disandang wakil gubernur DKI Jakarta saat ini. Tapi orang lebih mengenalnya dengan sebutan Ahok.
Ia bersama Jokowi sang Gubernur kini sudah menorehkan ‘tinta
perubahan’, selama masa kepemimpinan mereka yang baru saja mencapai usia
setahun. Usia yang sesungguhnya masih teramat belia untuk mendapatkan
penilaian. Usia yang masih sangat muda untuk dicap gagal, seperti yang
dilontarkan oleh beberapa orang.
Nah,
sebelum kita masuk lebih jauh meneropong sepak terjang Ahok di DKI ini,
sedikitnya kita mesti melihat dulu seperti apa sesungguhnya kehidupan
Ahok sebelumnya.
Ahok adalah anak tertua dari keluarga Tionghoa Kim Nam.
Keluarga ini cukup terkenal di pulau Belitung karena sifat mereka yang
suka memberi dan menolong. Kim Nam sendiri adalah salah satu tokoh
masyarakat Belitung. Di Belitung sendiri, ayah Ahok tersebut dikabarkan
suka memberi bantuan kepada orang susah, walau terkadang dengan jalan
meminjam terlebih dahulu pada orang-orang yang berkelebihan. Bukan
seperti kisah Zorro memang, atau Robinhood, yang merampok dari para
saudagar kaya, dan uangnya diberikan kepada para fakir miskin. Tidak seperti itu. Tapi bisa jadi hampir mirip.
Ahok
ini, oleh ayahnya, telah diajarkan sifat-sifat mendasar yang sangat
humanistik dan berperan penting dalam membentuk jiwa dan kepribadian
yang suka menolong. Walau beberapa catatan menggambarkan betapa seorang
Ahok dididik dengan keras, namun toh hasil dari didikan itu pada
akhirnya berbuah manis di kemudian hari. Ia diajarkan untuk menjadi
manusia yang berguna bagi sesamanya. Diajarkan untuk tidak hanya
memikirkan diri sendiri. Mentalnya dibentuk menjadi mental pembela
kebenaran, bukan sebaliknya mental rapuh dan mudah goyah oleh kilauan
uang sogokan. Nilai-nilai baik yang diajarkan Kim Nam ternyata memanglah
membentuk seorang Ahok seperti apa adanya ia saat ini. Tegas. Berani
bila itu benar. Pantang disogok dan haram melakukan korupsi. Jujur serta
terbuka pada sesuatu yang benar. Ia juga pasti akan dengan beraninya
berucap bahwa konstitusi mesti dijaga. Peraturan mesti ditegakkan. Hukum
harus dihormati. Menelisik dasar-dasar ajaran dan integritas seorang
Ahok dalam memimpin, serta melihat prinsip hidup dan kepemimpin melayani
yang ia tunjukkan, niscaya ia sudah berada di koridor yang tepat.
Pengalamannya
ketika masa kecil menjadikan ia orang yang anti terhadap segala bentuk
diskriminasi, dan secara tegas ia menolak mentah-mentah unsur SARA
dijadikan sebagai alat pasung atau penghalang seseorang untuk maju dan
berkarya. Pengalamannya semasa bersekolah di Belitung, di mana ia pernah
dilarang untuk menjadi penggerek bendera pada saat upacara bendera,
mungkin oleh karena warna kulit dan bentuk matanya berbeda, tentu saja
amat berbekas di hatinya. Ia hampir putus asa akibat penolakan demi
penolakan hanya karena ia seorang keturunan Tionghoa. Namun, ayahnya
meminta ia untuk tidak berkecil hati, karena ayahnya yakin suatu saat
keadaan itu akan berubah. Saat di mana anaknya akan diterima menjadi
seorang pemimpin. Sebab kita memang tidak pernah bisa memilih
untuk dilahirkan sebagai orang ini atau orang itu. Kelahiran kita,
siapapun kita, adalah anugerah Tuhan semata. This is it. Kelak,
banyak pasang mata kemudian menyaksikan saat-saat yang diharapkan
ayahnya Ahok itu terjadi, yaitu ketika Ahok dilantik sebagai wakil
gubernur DKI Jakarta, etalasenya Indonesia. Sesuatu yang amat mustahil
terjadi di jamannya ketika Ahok masih kecil.