Thursday, May 28, 2015

Mari Menulis

Dari pada kita hanya menjadi pemberi komentar yang tidak bijaksana, saya sarankan kita menjadi penulis yang mau menulis demi sesuatu yang bernilai dan ada 'harga'nya. Menulislah demi kebaikan dan ada manfaatnya. Bagi diri sendiri dan juga orang lain. That’s the writer should be.
Ada yang bilang, saya tidak mau menulis karena tidak ada yang baca tulisan saya. Siapa bilang? Mana ada penulis yang tulisannya dibaca ‘nol’ pembaca? Makanya jangan dulu berpikir bahwa tulisan kita akan dan harus dibaca oleh ‘seluruh dunia’. Mari coba simak apa yang dikatakan seorang Kurt Vonnegut. “Write to please just one person. If you open a window and make love to the world, so to speak, your story will get pneumonia.” Saya amini pernyataannya itu.

Benefit utama dan paling besar yang pertama adalah bahwa dengan menulis Anda secara pribadi sudah mengizinkan diri Anda sendiri untuk bersikap jujur. Sebab dengan menulis Anda berarti sudah menampung segala perasaan, ide, pemikiran-pemikiran, dan apapun juga yang ada dalam benak Anda. Ini menurut saya, adalah jalan awal menuju kesuksesan menjadi penulis besar. Mereka yang menghargai hasil karyanya secara jujur dan benar, maka merekalah yang akan sanggup bertumbuh dan bertambah besar olehnya.

Tanamkan dulu dalam-dalam ke diri Anda bahwa It doesn’t matter if nobody reads your writing. Mendapatkan pembaca itu adalah langkah selanjutnya. You cannot connect to other people without connecting first to yourself. Bahkan seorang penulis besar pernah berkata seperti ini, “You cannot hope to sweep someone else away by the force of your writing until it has been done to you.” Dialah  Stephen King, seorang penulis besar dalam sejarah dunia kepenulisan novel.

Ada juga yang merasa bahwa dirinya tidak pernah mendapatkan ide atau inspirasi untuk menulis. Ini adalah sebuah kesalahan paling fatal dalam berpikir. Kenapa saya bilang demikian? Karena ide dan inspirasi itu akan ada di mana saja, kapan saja, dalam keadaan bagaimanapun. Dalam tidur pun inspirasi serta ide bisa datang, ya lewat mimpi-mimpi kita. Itu juga bisa dijadikan bahan tulisan. Dan Poynter bilang begini, “If you wait for inspiration to write; you’re not a writer, you’re a waiter.” Kalau Anda menunggu inspirasi dulu baru menulis, berarti Anda bukanlah seorang penulis.

Jadi, marilah menulis dan terus menulis. Nah, apakah kita masih ingin menjadi seseorang yang begitu munafiknya. Hanya mampu dan sanggup berkomentar miring, mencaci, dan menuduh tanpa pernah bisa menulis secara baik dan bijak, terserah pilihan kita masing-masing.

Saya tetap percaya bahwa  writing empowers the greater good. Dan itu pasti. Karena bukankah apa yang Anda tabur, itu jugalah yang Anda akan tuai. Menulis dan terus menulis sesuatu yang baik dan bermanfaat, tentu Anda jualah yang akan menikmati hasilnya. Kata-kata itu akan menjadi bermakna tergantung siapa yang menuliskannya. Kata-kata juga dapat berubah dan terbentuk menjadi sebuah tulisan yang baik atau jahat tergantung siapa yang memainkannya. “Words—so innocent and powerless as they are, as standing in a dictionary, how potent for good and evil they become in the hands of one who knows how to combine them.” —Nathaniel Hawthorne. Kata-kata, tidak mempunyai kekuatan apapun, tapi lantas kemudian ia akan menjadi sangat kuat di tangan siapapun yang sanggup memainkan serta mengkombinasikannya dengan baik. Selamat menulis!

Wednesday, May 27, 2015

Menjadi Penulis Yang Baik

Penulis yang baik adalah mereka yang mau terus dan selalu belajar. Penulis yang tidak hanya menulis untuk sekedar menyebarkan gosip kampungan, namun yang mampu untuk terus-terusan menginspirasi banyak orang. Apakah kita sudah bisa disebut seorang penulis yang baik? Semuanya tergantung diri kita masing-masing. If you make it easy then it will be easy. Sebaliknya, if you make it difficult then it will be difficult. Sebetulnya kita memang hidup di era yang serba instan. Apa-apa selalu saja maunya secara instan pula. We live in a culture which is obsessed with the quick fix.

Menjadi penulis yang baik dan bagus tentu saja tidak semudah membalikkan telapak tangan. Tidak mungkin kita menyulap kepiawaian kita dalam menulis secepat kilat. Hanya dalam lintasan jam atau hari saja, tentu tidak seperti itu. Memang dalam alam nyata kita, adalah lebih asyik melihat seseorang mengganti seluruh gigi rusaknya seketika, dari pada harus menunggu seseorang membetulkan giginya lewat pemasangan kawat gigi (behel) dan menunggu setahun untuk melihat hasilnya. Akan tetapi kita mesti ingat benar bahwa menjadi penulis hebat tidak pernah tercipta secara instan.

Menjadi penulis handal tidak mengenal jalan pintas. There are no short cuts. Menulis itu selalu membutuhkan curahan pikiran kita, waktu kita, dan hati kita juga. Ada yang bilang writing takes time, and rewriting takes even more time. Itu betul. The good news is that to be a good writer is an achievable goal, and it really isn’t all that difficult. Tidak terlalu sulit asalkan kita tau harus bagaimana. Jadi siapkah Anda memasuki tahun 2015 dengan semangat menulis yang baru. Dengan ide-ide yang baru. Dan dengan pencapaian-pencapaian yang baru pula? Semoga “ya” adalah jawabannya.

Monday, May 25, 2015

Awas, Caleg Gila!

“I am free, no matter what rules surround me. If I find them tolerable, I tolerate them; if I find them too obnoxious, I break them. I am free because I know that I alone am morally responsible for everything I do.” ― Robert A. Heinlein

Setiap kita mesti bertanggungjawab atas apa yang telah kita buat. Hanya kita, yang harus mempertanggungjawabkan kepada Tuhan apa yang sudah kita buat, yang kita sementara buat, dan akan buat nantinya. We are morally responsible for everything we do. Semua kegilaan kita yang menyeruak muncul akibat frustasi dan depresi, adalah juga tanggungjawab kita, bukan orang lain.

Pemilu legislatif sudah usai, dan sampai sekarang, sedikit demi sedikit mulai bermunculan ke permukaan berbagai caleg gagal yang jadi caleg gila, atau yang akan segera jadi caleg gila. Pastinya, belum ada data resmi berapa banyak caleg gagal yang mesti diinapkan di RSJ, namun jumlahnya semakin meningkat.

Fakta sudah berbicara lebih dari cukup. Dari berbagai pemberitaan di media seluruh Indonesia, nampak jelas bahwa caleg gagal yang bermetamorfosis menjadi gila, ataupun yang sekedar berpotensi menjadi gila sudah semakin banyak. Tidak sedikit juga yang mengunjungi paranormal untuk minta petunjuk. Ini yang saya bilang sebagai political disorder. Sakit luar biasa akut yang menjadikan mereka sebetulnya tidak layak menjadi wakil Anda dan saya. Menjadi wakil kita.

Sebelum pileg dimulai, mereka acap kali mengunjungi dukun biasa serta dukun politik demi mencapai tujuan utamanya, sekali lagi bukan sebagai wakil rakyat, tapi dengan tujuan memenangi pileg DEMI DIRI SENDIRI. Saya lihat di TV, ada dukun yang pasang harga dari jutaan, miliar, bahkan 1 triliunan untuk level Presiden. Ia jamin, kalau pakai jasanya, pasti jadi sesuai yang dinginkan. Masalahnya, kalau ada 5 calon Presiden bayar 1 triliuan, apakah kemudian Indonesia akan mendapatkan 5 Presiden sekaligus? Luar biasa. Ya, luar biasa menggelikan. Apakah ada jaminan caleg-caleg model begini memang dapat berfungsi sebagai wakil kita? I don’t think so.

Thursday, May 21, 2015

Cerita Oprah Winfrey

Siapa tidak kenal Oprah Winfrey…Acara The Oprah Winfrey Show ditayangkan oleh TV hampir di seluruh dunia. Majalah The Oprah Winfrey Magazine beredar sebanyak tiga juta eksemplar. Lalu ada Oprah Winfrey Book Club tempat Oprah membahas buku. Buku yang dibahas langsung laris. Bahkan buku yang sudah seabad seperti Anna Karenina karangan Leo Tolstoy tahun 1877 langsung menjadi best seller lagi.

Salah satu acara TV Oprah mengangkat tema pelecehan seksual dan pemerkosaan terhadap anak kecil. Oprah berkata, “I speak from personal experience because I was raped by a relative.” Artinya, “Saya berbicara dari pengalaman pribadi sebab saya pernah diperkosa seorang kerabat.” Lalu Oprah mengingatkan bahwa tiap keluarga mempunyai aib masing-masing. Yang berbeda hanya bentuk dan jenisnya. Aib itu kita sembunyikan, tetapi luka batinnya tetap pedih.

Kemudian Oprah memperkenalkan beberapa tamunya, yaitu tiga wanita yang pernah diperkosa pada masa kecilnya dan dua ayah yang pernah memperkosa anaknya. Percakapan ini tersendat-sendat dan mengharukan. Berkatalah Oprah, “I’ve healed very well, and just being able to say it to somebody begins the healing process.” Artinya, “Saya sudah betul-betul pulih, dan ketika kita mampu mengungkapkan hal itu (masa lalu) kepada seseorang maka itu sudah memulai proses pemulihannya.”

Pada acara lain, Oprah mengangkat tema pengampunan diri. Seorang ibu meninggalkan putra ciliknya di mobil hanya beberapa menit. Tiba-tiba seorang pencuri melarikan mobil itu. Putra ibu itu dibunuh. Sampai ketika diwawancarai Oprah, ibu itu tidak bisa memaafkan kesalahannya sendiri. Oprah mengakui bahwa rasa tanggung jawab adalah luhur. Tetapi rasa salah diri seumur hidup tidak ada manfaatnya. Berkatalah Oprah kepada ibu itu, “Your life is bigger than your son’s death.” Artinya, “Hidup anda lebih besar daripada kematian putra anda.”
Tetapi Oprah sama sekali tidak bermaksud agar pencuri dan pembunuh itu diampuni begitu saja. Orang itu harus dihukum setimpal kejahatannya. Oprah berkata, “….make sure that true justice is served in this case.” Artinya, “Pastikan bahwa keadilan ditegakkan dalam perkara ini.”

Yang juga menarik adalah pidato Oprah ketika menerima Humanitarian Award beberapa tahun lalu. Oprah bercerita bahwa ayahnya, seorang pemangkas rambut, suka mengundang teman untuk makan di rumahnya. Mereka berpakaian jelek. Oprah jengkel bahwa ayahnya mengundang orang-orang yang begitu berbeda. Tetapi ayahnya bilang bahwa mereka itu sama seperti kita yaitu butuh diakui dan dihargai.

Lalu Oprah mengaku, “I’ve since learned….we all are just regular people seeking the same thing. The guy on the street, the woman in the classroom, the Israeli, The Afghani, the Zuni, the Apache, the Irish, the Protestant, the Catholic, the gay, the straight, you, me; we all just want validation. We want to find someone to love…somebody to laugh with and cry with…..” Artinya, “Sejak saat itu saya sadar….kita semua adalah orang biasa yang mendambakan hal yang sama. Pria di jalan, wanita di ruang kelas, orang Israel, orang Afghanistan, orang Zuni, orang Apache, orang Protestan, orang Katolik, orang homoseks, orang heteroseks, Anda, saya; kita semua mendambakan pengakuan. Kita ingin rasa aman dan panjang umur. Kita ingin menemukan seseorang untuk dicintai…seseorang untuk diajak tertawa bersama dan menangis bersama….”

Kalimat kunci yang sering diungkapkan Oprah dalam rangka pemulihan masa lalu dan pertumbuhan masa depan adalah, “If you had known better, you would have done better”. Oleh karenanya jika kita mengetahui yang lebih baik, maka kita akan/sudah melakukan yang lebih baik. Sudahkah kita…?

Wednesday, May 13, 2015

Belajar Dari Kartini

Di negara ini kita punya begitu banyak wanita yang bekerja sangat keras demi menghidupi keluarganya. Ada begitu banyak wanita yang bertindak sebagai single parent oleh karena ditinggal pergi suaminya. Ada juga wanita-wanita yang mesti kerja membanting tulang (kerja luarbiasa keras) karena keadaan keuangan yang tidak mencukupi. Kepada mereka jugalah catatan kecil ini saya tujukan. Bahwasanya seorang wanita bernama R.A Kartini sudah mengajarkan kita nilai-nilai hidup yang luar biasa. Ia sudah memberi contoh lewat perkataan pun tindakan. Bahwasanya juga, wanita-wanita Indonesia tidak mesti menjelma menjadi laki-laki untuk supaya dapat dihargai dan diterima, tetapi perjuangan, hak berkarya, serta kesempatan-kesempatan yang ada tidaklah boleh menjadi lebih rendah dari kaum laki-laki.

Sekarang bukan lagi era di mana wanita itu tempatnya hanyalah di dapur, di pasar, dan di tempat tidur. Wanita boleh berkarya dan berkarir sebaik dan setinggi mungkin. Ia tidak bisa ditempatkan lagi sebagai sosok yang lemah dan loyo. Kalau tempo hari wanita mungkin masih tidak punya hak suara dan hak pilih. Wanita tidak boleh berpidato di depan umum, dan lain sebagainya, maka sekarang tidak seperti itu lagi. Sekarang wanita bahkan bisa menjadi direktur, menteri, atau pun presiden. Tapi serempak, tentu juga tidak boleh dengan serta merta melupakan kewajibannya sebagai seorang wanita (sejati). Ia boleh menjadi apa saja, tapi tidak pernah boleh melupakan siapa dia sesungguhnya. — Itulah penggalan akhir tulisan saya di Hari Kartini tahun 2013 yang lalu (Perempuan Bukan Laki-laki)

Kali ini saya hendak menyampaikan lain hal, bahwa sesungguhnya ada ajakan yang termaktub jelas dalam tindakan dan hasil karya Kartini, yang tentu saja ditujukan bagi kita semua, generasi-generasi penerus. Ajakan itu adalah ajakan sederhana untuk membaca dan menulis. Untuk supaya di dalam diri kita menyeruak muncul semangat membaca dan menulis yang luar biasa membara. Sebab hanya dengan membaca dan menulislah, Kartini bisa menjadi seperti apa adanya dia saat itu. Membaca adalah jendela kita melihat dunia, dan menulis adalah alat kita ‘menguasai’ dunia.

Semangat yang sama itu rupa-rupanya juga dimiliki oleh kakaknya, yaitu Raden Mas Panji Sosrokartono. Kakak dari Raden Ajeng Kartini ini termasuk polyglot yang pertama di Indonesia. Seperti dikutip dari berbagai sumber, ternyata kakak Kartini ini menguasai 26 bahasa asing, dan juga 10 bahasa daerah Indonesia. Sosrokartono, yang kelahiran 10 April 1877 itu memang dikenal sebagai seorang pemuda cerdas. Sebagai anak bangsawan Sosrokartono mengenyam pendidikan setara orang-orang Belanda yang ada di Indonesia saat itu, pendidikan ‘kelas satu’ tentunya. Ia banyak membaca banyak buku dan literatur asing. Bahkan, kakak Kartini ini mengembara sampai ke banyak tempat di seluruh Eropa, menekuni bermacam-macam pekerjaan seperti penterjemah dan wartawan di media Eropa, hingga akhirnya ia pun menjadi wartawan media terkenal dari Amerika - The New York Herald Tribune. Ia pernah meliput Perang Dunia I.