Wednesday, March 19, 2014

Di Indonesia: Orang Kaya Semakin Kaya, yang Miskin Bertambah Miskin

Jurang Antara yang Kaya dan yang Miskin Semakin Lebar
Menurut catatan di Majalah Forbes ada sederetan nama orang terkaya dunia di tahun 2014 ini asalnya dari Asia. Dari daftar nama tersebut (data orang terkaya dunia 2014 versi Forbes), maka setidaknya ada 10 orang Indonesia yang juga ikut masuk dalam 1.000 orang paling kaya sejagat raya ini.

Sebut saja nama-nama miliuner Indonesia yang sudah tidak asing lagi di telinga kita. Ada pengusaha pemilik Grup Djarum, Budi Hartono yang kekayaannya sudah menembus angka USD 7,6 miliar atau setara Rp 88 triliun. Ada pula saudaranya Michael Hartono yang memiliki kekayaan sebesar USD 7,3 miliar. Berikut juga, ada Mochtar Riady dengan kekayaan menyentuh angka USD 2,5 miliar, kemudian juga Sukanto Tanoto dengan kekayaan USD 2,1 miliar dan nama-nama orang terkaya lainnya.

Masuknya orang Indonesia dalam daftar orang terkaya sejagat rasa-rasanya bukan sesuatu yang perlu terlalu kita bangga-banggakan. Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi turut punya andil dalam membuat harta kekayaan mereka semakin berlipat ganda. Namun ada hal lain yang terkadang mengerenyitkan dahi kita, memunculkan berbagai bentuk keprihatinan secara kolektif. Bahwa ternyata, peningkatan harta kekayaan orang-orang kaya di negeri ini tidak serta merta dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat miskin di Indonesia. Justru Nampak jelas gap (atau jurang pemisah) yang begitu lebar antara si miskin dan si kaya. Yang kaya semakin kaya, yang miskin makin terpuruk dalam kemiskinan. Sesuatu yang sungguh ironis.

Meskipun paparan angka-angka dari Badan Pusat Statistik (BPS), serta kegirangan para penguasa negeri ini mengatakan bahwa mereka sukses menekan angka kemiskinan, akan tetapi ada banyak pihak yang meragukannya, dan justru beranggapan sebaliknya. Di sisi yang lain juga, BPS juga tidak bisa menyembunyikan data ketimpangan antara orang kaya dan orang miskin yang justru semakin lebar itu.

Dampak dari sebuah ketimpangan banyak sekali, misalnya kelompok yang miskin akan merasa iri dan frustasi menghadapi keadaan tersebut. Imbas dari ketimpangan yang semakin meluas dan melebar juga pada tataran tertentu dapat mengancam stabilitas nasional. Ini amat berbahaya bila tidak diatasi dan dicarikan jalan keluar. 

Propaganda bahwa orang miskin di negeri ini sudah dientaskan sedemikian rupa tidak akan pernah sanggup menisbikan kemiskinan itu sendiri, bila tidak diikuti tindakan nyata mengentaskan orang miskin dan mempersempit gap antara yang kaya dan yang miskin. Mestinya pemerintah kita menyadari sepenuhnya bahwa indikator keberhasilan pembangunan ditentukan oleh tingkat penurunan ketimpangan. 

Mengatasi ketimpangan antara yang miskin dan yang kaya harus menjadi agenda utama dan prioritas pertama siapapun yang bakal terpilih menjadi presiden negeri ini nantinya. Dalam RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah) lima tahun mendatang, di samping penurunan kemiskinan dan pengangguran, harus juga mencantumkan penurunan ketimpangan dari sekian persen menjadi sekian persen. Dan harus diupayakan untuk mencapai target tersebut. Indikator-indikatornya pun haruslah jelas.

Jokowi dan Naiknya Pamor PDIP

Jokowi sudah diamanatkan oleh Megawati untuk maju sebagai calon Presiden Indonesia, tentu saja mewakili partai PDIP. Ini tentu saja bukan keputusan main-main dan gampang saja. Megawati harus melalui proses panjang sebelum akhirnya memutuskan Jokowi sebagai calon Presiden dari partainya. Pertama, ini akan menisbikan secara tidak langsung ‘pakem’ yang sudah membudaya, bahwa calon Presiden PDIP haruslah dari trah Soekarno. Kedua, memajukan Jokowi ke pentas terdepan PDIP menyongsong pemilu secara serempak berarti ‘memundurkan’ atau bahkan menisbikan kans Megawati untuk terpilih, terlepas dari seberapa banyak menurut hasil survey yang menginginkan Megawati menjadi Presiden.

Namun, kini keputusan secara bulat sudah diambil, dan keputusan tersebut mesti didukung oleh partai PDIP. Megawati sudah mempercayakan perebutan kursi Presiden 2014 itu ke pundak Jokowi. Segenap kader PDIP sudah sepantasnya mendukung itu. Apapun resikonya.

Bagi para pendukung berat trah Soekarno di PDIP yang memiliki semboyan “Mega Harga Mati” tentu ini adalah pilihan berat. Bisa jadi yang terberat. Dan memang, kesadaran irasional kader PDIP yang amat berbahaya adalah tetap mempertahankan “Mega Harga Mati” sementara di luar sana realitas politik sudah amat sangat jelas, secara terang benderang Jokowi itu tiada bandingannya. Tahun ini adalah tahunnya Jokowi, bukan Megawati.
Militansi kesadaran irasional tentu berbahaya bagi peluang PDIP merebut kursi Presiden 2014 yang tinggal beberapa bulan lagi. Salah mengambil langkah, maka pupus sudah harapan itu.
Baik dari tingkat kesukaan masyarakat, tingkat elektabilitas, dan tingkat keberpengaruhan di media sosial serta media manapun, jelas sekali nama Jokowi itu justru yang sekarang nampaknya adalah sebuah “harga mati”. Kalau umpamanya, kader-kader PDIP tetap kukuh pada pandangan irasional mereka yaitu “Mega Harga Mati”, maka saya khawatir PDIP tidak akan mendulang banyak suara, bisa pula ditinggalkan calon pemilih. Untunglah Megawati jeli melihat situasi ini, dan dengan lapang dada mempersilakan (baca: menyalonkan) Jokowi sebagai calon dari partai yang ia pimpin. Ini yang kita mesti angkat topi kepada Megawati.