Wednesday, February 26, 2014

Nelayan dan Kehidupan di Desa Lopana

1393313817890699826[Siap-siap melaut nelayan desa Lopana, diantar istri dan anak.... (pic: michael)]
Desa kecil ini terletak di semenanjung Minahasa Selatan. Desa ini menyimpan begitu banyak memori dalam benak orang-orang yang pernah berdiam di desa tersebut dalam kurun waktu yang relatif lama, seperti saya.Dan juga bagi mereka yang baru mengunjunginya, meski hanya sebentaran saja. Desa itu dinamai Lopana

Sore itu, saya tiba dari Amerika dengan satu keinginan kuat yang tak tertahankan lagi. Yaitu untuk kembali mengunjungi desa dimana ibu saya dilahirkan, Lopana.
Dari kota Manado, saya memerlukan waktu 45 menit sampai 1 jam untuk sampai di Lopana. Itu tentu kalau jalanan tidak macet. Perjalanan menuju Lopana memang selalu mendebarkan. Kita harus melewati jalanan panjang nan berliku. Di beberapa lokasi, terlihat jurang yang sangat dalam, bukit yang begitu tinggi, dan lereng yang amat terjal berkelok-kelok. 

Pohon kelapa (nyiur melambai) terlihat mendominasi tanaman di sepanjang jalan. Kalau ke desa Sonder didominasi tanaman cengkeh, maka ke Lopana pohon kelapalah rajanya. Saya sangat menikmati perjalanan itu, walaupun cuaca tak terlalu mendukung. Mendung dan gerimis. Ini menjadikan pemandangan mata saya terbatas, dan kamera pun lebih banyak diistirahatkan saja.

Tiga puluh menit perjalanan, kita sudah sampai di sekitar desa Matani. Di desa ini jalanan mulai lurus dan tak terlihat satu kelokan sekalipun. Di sebelah kanan jalan terlihat hamparan tanaman padi yang begitu luas. Konon, di tempat inilah kelak airport Samratalungi akan dipindahkan. Desa Tumpaan adalah desa berikutnya setelah Matani. Setelah Tumpaan, baru sampailah kita di desa Lopana. Tujuan saya berlibur kali ini. Menghilangkan kepenatan hidup dan hectic-nya suasana perkotaan.

Edy sang nelayan di Lopana

Mayoritas penduduk Lopana memiliki mata pencaharian sebagai nelayan dan petani. Ini tentu oleh karena desa ini berada tepat di tepi pantai. Memasuki desa Lopana, bila kita datang dari arah Manado, terlihat sangat jelas kekontrasannya. Di sebelah kiri Jalan nampak jelas daerah perbukitan dan perkebunan, tempatnya bagi para petani. Sementara itu di sebelah kanan jalan, terlihat laut membiru yang begitu dekat. Inilah tempatnya para nelayan bekerja demi sesuap nasi. Demi hidup keluarga serta pendidikan anak-anak.

Adalah seorang lelaki separuh baya, sebut saja namanya Edy. Ia adalah orang yang menemani saya selama di desa itu. Dari Pak Edylah saya mendapat banyak cerita tentang kehidupan di desa Lopana masa kini. Ia sendiri adalah salah satu contoh warga desa yang senantiasa berharap suatu ketika nanti, hidup dan kehidupan mereka akan lebih baik lagi. Kesejahteraan hidup akan meningkat, walau seberapa saja.