Friday, October 18, 2013

Ahok Membuat Perubahan di Jakarta?

Basuki Tjahaja Purnama, nama yang disandang wakil gubernur DKI Jakarta saat ini. Tapi orang lebih mengenalnya dengan sebutan Ahok. Ia bersama Jokowi sang Gubernur kini sudah menorehkan ‘tinta perubahan’, selama masa kepemimpinan mereka yang baru saja mencapai usia setahun. Usia yang sesungguhnya masih teramat belia untuk mendapatkan penilaian. Usia yang masih sangat muda untuk dicap gagal, seperti yang dilontarkan oleh beberapa orang.

Nah, sebelum kita masuk lebih jauh meneropong sepak terjang Ahok di DKI ini, sedikitnya kita mesti melihat dulu seperti apa sesungguhnya kehidupan Ahok sebelumnya.
Ahok adalah anak tertua dari keluarga Tionghoa Kim Nam. Keluarga ini cukup terkenal di pulau Belitung karena sifat mereka yang suka memberi dan menolong. Kim Nam sendiri adalah salah satu tokoh masyarakat Belitung. Di Belitung sendiri, ayah Ahok tersebut dikabarkan suka memberi bantuan kepada orang susah, walau terkadang dengan jalan meminjam terlebih dahulu pada orang-orang yang berkelebihan. Bukan seperti kisah Zorro memang, atau Robinhood, yang merampok dari para saudagar kaya, dan uangnya diberikan kepada para fakir miskin. Tidak seperti itu. Tapi bisa jadi hampir mirip.

Ahok ini, oleh ayahnya, telah diajarkan sifat-sifat mendasar yang sangat humanistik dan berperan penting dalam membentuk jiwa dan kepribadian yang suka menolong. Walau beberapa catatan menggambarkan betapa seorang Ahok dididik dengan keras, namun toh hasil dari didikan itu pada akhirnya berbuah manis di kemudian hari. Ia diajarkan untuk menjadi manusia yang berguna bagi sesamanya. Diajarkan untuk tidak hanya memikirkan diri sendiri. Mentalnya dibentuk menjadi mental pembela kebenaran, bukan sebaliknya mental rapuh dan mudah goyah oleh kilauan uang sogokan. Nilai-nilai baik yang diajarkan Kim Nam ternyata memanglah membentuk seorang Ahok seperti apa adanya ia saat ini. Tegas. Berani bila itu benar. Pantang disogok dan haram melakukan korupsi. Jujur serta terbuka pada sesuatu yang benar. Ia juga pasti akan dengan beraninya berucap bahwa konstitusi mesti dijaga. Peraturan mesti ditegakkan. Hukum harus dihormati. Menelisik dasar-dasar ajaran dan integritas seorang Ahok dalam memimpin, serta melihat prinsip hidup dan kepemimpin melayani yang ia tunjukkan, niscaya ia sudah berada di koridor yang tepat.

Pengalamannya ketika masa kecil menjadikan ia orang yang anti terhadap segala bentuk diskriminasi, dan secara tegas ia menolak mentah-mentah unsur SARA dijadikan sebagai alat pasung atau penghalang seseorang untuk maju dan berkarya. Pengalamannya semasa bersekolah di Belitung, di mana ia pernah dilarang untuk menjadi penggerek bendera pada saat upacara bendera, mungkin oleh karena warna kulit dan bentuk matanya berbeda, tentu saja amat berbekas di hatinya. Ia hampir putus asa akibat penolakan demi penolakan hanya karena ia seorang keturunan Tionghoa. Namun, ayahnya meminta ia untuk tidak berkecil hati, karena ayahnya yakin suatu saat keadaan itu akan berubah. Saat di mana anaknya akan diterima menjadi seorang pemimpin. Sebab kita memang tidak pernah bisa memilih untuk dilahirkan sebagai orang ini atau orang itu. Kelahiran kita, siapapun kita, adalah anugerah Tuhan semata. This is it. Kelak, banyak pasang mata kemudian menyaksikan saat-saat yang diharapkan ayahnya Ahok itu terjadi, yaitu ketika Ahok dilantik sebagai wakil gubernur DKI Jakarta, etalasenya Indonesia. Sesuatu yang amat mustahil terjadi di jamannya ketika Ahok masih kecil.