Sunday, July 15, 2012

Kenapa Harus Jokowi-Ahok?


Kenapa Harus Jokowi-Ahok?

Indonesia butuh pembaharu. Jakarta butuh pembaharu. Lantas kenapa mesti Jokowi? Sekarang mari kita buka mata kita lebar-lebar dan berandai-andai, kalau kita sudah tahu bahwa pemimpin yang terdahulu tidak bisa apa-apa, dan tak mampu berbuat banyak bahkan ketika dana yang tersedia begitu banyaknya, mengapa kita memilih mempertahankan status quo?

Kita sudah terbiasa untuk ragu-ragu memberikan kesempatan kepada mereka yang baru. Tapi coba renungkan, bagaimana kita tahu keunggulan Jokowi tanpa pernah memberinya kesempatan? Track record dan sepak terjangnya sebelum pemilihan ini sudah menunjukkan siapa Jokowi sesungguhnya. Ia mampu mengangkat Solo dengan segala kesederhanaan dan kebersahajaannya. PAD Solo meningkat, PKL dipindahkan tanpa melalui tindak kekerasan dan paksaan, orang-orang pinggiran dan pasar didekati dan dicari tahu apa-apa yang kiranya perlu dibenahi lagi. Pokoknya seorang Jokowi menunjukkan paradigma baru, dan membuka mata banyak orang seperti apa pemimpin itu seharusnya. How the true leadership should be!

Kenyataan setelah putaran I pemilukada DKI menunjukkan betapa sosok seseorang ditambah kekuatan masyarakat (people’s power) sangat ajaib cara kerjanya. Hasil quick count menunjukkan ‘kehebatan’ sosok Jokowi. Pergerakan masyarakat memilih juga terasa benar. Rakyat ternyata semakin cerdas. Mungkin saja ada begitu banyak money politics yang tetap merajalela sana-sini, tapi kecerdasan masyarakat tidak dapat dibeli, dan apalagi ditipu. Mereka sudah melihat siapa Jokowi itu. Uang tidak bisa membeli harapan dan kepercayaan mereka terhadap Jokowi. Mereka (masyarakat pemilih) merindukan pemimpin yang mampu membawa pembaharuan. Yang mempunyai program nyata, dan visi misi yang jelas. Yang mampu meminimalisasi kemacetan, meniadakan banjir besar, menata kota, dan meningkatkan perekonomian daerah. Apakah Jokowi mampu? Itu harapan masyarakat luas. Untuk menguji harapan-harapan tersebut, beri Jokowi kesempatan.

Jokowi-Ahok adalah representasi orang-orang muda yang berhasil, namun di tengah-tengah keberhasilan mereka tetap rendah hati, bersahaja, dan memahami orang-orang kecil. Bukti keberhasilan Jokowi memimpin Solo dan Ahok memimpin Bangka Belitung adalah juga bukti nyata ‘kehebatan’ mereka. Lalu kenapa kita masih ragu memberi mereka kesempatan menunjukkan kehebatan mereka di Jakarta ini? Saran saya, jangan ragu-ragu, beri mereka kesempatan dan nikmati hasilnya.

Black campaign, perusakan citra, dan tindakan negatif lainnya jelas akan terus memborbardir pasangan Jokowi-Ahok. Apapun itu, percayalah bahwa rakyat Indonesia khususnya rakyat Jakarta bukan orang-orang bodoh yang mudah dipengaruhi, dan diadu domba. Kecerdasan masyarakat pemilih sudah dibuktikan pada putaran pertama. Sangat diharapkan kecerdasan itu akan terus dipertahankan dan dipakai pada pemilihan putaran kedua. Jangan lupa peran media apapun (termasuk media sosial dan BBM) sangatlah besar. Semakin banyak kita menginfokan Jokowi-Ahok dan program-program mereka, akan semakin tersampaikan keunggulan-keunggulan pasangan ini.

Mari kita wujudkan Indonesia Baru lewat Jakarta Baru. Jakarta adalah ibukota Indonesia, dan dari sanalah perubahan dan pembaharuan itu harus bermula.


Michael Sendow

Thursday, July 12, 2012

Capailah dan Raihlah Tujuan Utama Pendidikan


Capailah dan Raihlah Tujuan Utama Pendidikan


“Jika Anda menunjukkan antusiasme pada semua yang ditanyakan anak Anda tentang ‘apa’ dan ‘bagaimana’. Dan apabila Anda menjawab dan menjelaskan dengan kesabaran dan penuh kebijaksanaan semua pertanyaan mereka, sudah barang tentu akan menumbuhkan kepercayaan diri dan rasa suka belajar pada anak-anak Anda. Mereka akan bergiat untuk belajar dan terus belajar lagi” --- Michael Sendow.


Dari sejak jamannya nenek moyang kita tempo dulu sebenarnya proses belajar mengajar sudah berlangsung. Mereka belajar dari leluhur mereka cara berburu, bagaimana membuat perapian dan tungku pemanas air, dan banyak hal sederhana lainnya. Kemudian secara turun temurun proses tersebut diajarkan kembali ke anak-cucu mereka. Berlangsung secara terus menerus. Sekarang, di jaman kita ini belajar mengajar tidak lagi atau bukan hanya semata soal yang remeh temeh, tapi sudah begitu kompleks dan menjangkau sampai ke hal-hal yang luar-biasa tinggi. Teknologi dan komputerisasi telah secara signifikan “memaksa” setiap orang untuk belajar lebih giat lagi kalau tidak mau ketinggalan kereta. Sampai sejauh mana masyarakat mencapai dan menggapai hasil maksimal dari proses pembelajaran tersebut adalah cerita lain. Yang pasti, proses belajar-mengajar akan terus ada selama hayat kita masih dikandung badan. Istilah kerennya adalah long term education program, atau juga lifetime learning. Belajar itu mesti dilakukan seumur hidup kita. Tidak bisa tidak. Tidak ada tawar menawar. Itu adalah keniscayaan dan kemestian apabila kita ingin maju dan berhasil.

Saat ini masyarakat memang harus semakin diberi pencerahan apa arti sesungguhnya mendidik dan mengajar tersebut. Apa makna dan tujuan terdalam dari belajar maupun mengajar itu. Bahwa pendidikan dan pembelajaran itu lebih dari sekedar untuk mendapatkan rangking akademik atau supaya meraih juara dalam kelas. Pendidikan itu bahkan sudah dimulai jauh sebelum siswa itu bersekolah. Beberapa ahli mengatakan sejak bayi masih dalam kandungan pun proses ‘pendidikan’ sudah dimulai oleh sang ibu.

Lalu apa inti dari mendidik dan mengajar itu? Apa tujuan utama pendidikan? Saya mendifinisikannya sebagai “memanusiakan manusia”. Itu adalah tujuan utama pendidikan. Sebab di dalam kalimat pendek itu tertanam nilai-nilai luhur pendidikan yang amat dalam. Ketika kita mengimani dan mengamini bahwa tujuan kita mengajar dan mendidik seseorang adalah untuk supaya ia menjadi lebih manusiawi, lebih cerdas, lebih toleran, lebih berwawasan maka di situlah makna terdalam memanusiakan manusia lain kita capai. Siswa yang pintar belum tentu berperilaku luhur. Siswa yang hebat belum tentu toleran. Siswa yang terkenal belum tentu memiliki empathi terhadap orang lain. Jadi sederhananya begini, mengajarkan anak supaya pintar adalah baik, tetapi itu belum sampai pada titik memanusiakan manusia lain. Ingat benar, otak dan hati harus seimbang. Iman dan ilmu harus bersamaan. Berdoa dan bekerja harus seiring. Sharing dan caring harus serempak. Menjadikan mereka manusia yang mampu memanusiakan manusia lain. Sekaligus mempersiapkan mereka menjadi guru kehidupan untuk mengajarkan hal yang sama pada generasi sesudah mereka.

Saya melihat dan mengamati. Ada banyak kurikulum di sekolah yang mubazir dalam penerapan dan penggunaan. Artinya, apa yang diajarkan tidak terlalu relevan terhadap siswa terdidik ketika lulus dan hendak bekerja nantinya. Ada yang tidak sesuai, ada pula yang masih sangat kurang, atau bahkan belum dikurikulumkan. Nah, oleh karena harapan setiap guru, orang tua murid, pemerhati dunia pendidikan adalah supaya pendidikan disekolah boleh membawa perubahan bagi para siswa dari segi pengetahuan(knowledge), keterampilan (skill), sikap mental (attitude), dan spiritualitas (spirituality) menuju kearah kebaikan dan kemajuan, maka cara-cara yang benar harus ditempuh dan dijalankan. Salah satu cara adalah dengan penambahan, pengurangan, dan penyesuaian kurikulum.

Setelah semuanya dijalankan, apakah sudah selesai sampai di situ? Tunggu dulu. Semuanya belum selesai. Itu baru awal. Pembelajaran yang sesungguhnya baru dimulai. Ketika bangku sekolah sudah selesai, pembelajaran nyata di luar sekolah pun sudah menanti. Itu ujian dan tantangan berikutnya. Pembelajaran nyata yang justru mungkin saja akan jauh lebih berpengaruh dari apa yang ia dapati di bangku sekolah. Tugas orang tua, keluarga, dan lingkunganlah yang selanjutnya mengambil peran sebagai pendidik. Apa yang hendak dididik? Ya itu tadi, memberikan kepada sang anak atau sang siswa pelajaran paling mulia sebagai seorang yang berpendidikan. Mereka yang mungkin saja adalah tamatan sekolah hebat dan mahal. Atau juga mereka yang lulus dengan predikat terbaik. Pelajaran mulia itu adalah mengajarkan mereka untuk mampu memanusiakan manusia lain dengan segala kelebihan serta kepintaran yang mereka punyai. Dengan semua berkat yang sudah mereka terima.

Bagaimana mereka mampu berbagi kecerdasan dan kepintaran dengan jutaan anak putus sekolah di luar sana. Bagaimana ketrampilan yang mereka miliki bisa mengangkat derajat saudara-saudara mereka yang tidak berkesempatan mengenyam bangku pendidikan formal oleh karena kemiskinan dan keserbakekurangan yang ada. Atau juga bagaimana mereka berbagi berkat, dan kelebihan yang mereka punyai kepada orang lain yang membutuhkan tapi tak sanggup memiliki dan menikmatinya. Potensi-potensi kepekaan, kebisaan, serta kemampuan berbagi inilah yang akan terus diwariskan dan diajarkan. Sehingga suatu ketika nanti, generasi penerus kita adalah orang-orang yang bukan hanya sukses secara ilmu pengetahuan, tapi dalam segala hal. Tujuan mulia dari pendidikan pun akan semakin menampak dan nyata dirasakan.

Apa-apa yang harus menjadi tujuan tetap kita tempatkan sebagai tujuan, bukan sebagai alat. Begitu pula sebaliknya. Kalau kita menjadikan alat sebagai tujuan atau tujuan dijadikan alat, maka kita tidak akan pernah mendapatkan ataupun sampai pada tujuan utama yang hendak kita capai. Dengan mengetahui tujuan utama pendidikan mendorong kita lebih peka serta membuka diri untuk lebih maju lagi. Lulus sekolah, menjadi lulusan terbaik, dan atau mendapatkan beasiswa bukanlah tujuan utama. Semuanya itu hanyalah alat dan sarana semata. Bukan akhir dari segalanya. Bukan sesuatu yang mutlak. Jangan pernah memutlakkan yang nisbi dan menisbikan yang mutlak.

Seandainya pendidikan kita memang mengajarkan apa yang benar. Sistem pendidikan kita benar-benar sesuai apa yang paling dibutuhkan negeri ini. Dan kalau saja Pengajaran dan pembelajaran itu setidak-tidaknya dapat menjangkau sampai ke seluruh sudut negeri ini, saya percaya kita akan mampu menciptakan generasi emas, Golden Generation.  Sebuah generasi di mana setiap insan terdidik mampu mengaplikasikan semangat berbagi dengan landasan memanusiakan manusia lain. Semangat dan landasan yang pada situasi tertentu akan menegur serta membatasi mereka ketika kelak menjadi pemimpin-pemimpin negeri ini. Menjaga mereka untuk tidak menjadi pemimpin yang lalim, bebal, korup, dan tidak manusiawi. Membatasi mereka supaya tidak menjelma menjadi pemimpin arogan yang serakah dan selalu mementingkan diri sendiri. Bukankah sudah banyak contoh pemimpin yang bergelar akademik sangat tinggi, pintarnya minta ampun, tapi bobrok dalam memimpin. Kurang sanggup menjaga amanah. Meremehkan dan melecehkan rakyat yang mereka pimpin, serta tak sedikit yang melacurkan tugas serta jabatan yang diemban hanya karena harta dan tahta.

Akhirnya, saya ingin mengajak pembaca mengintip sejenak UU RI Nomor 20 Tahun 2003 yang mengatakan demikian, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan bangsa.” Apakah slogan itu sudah mewujud atau hanya sebatas pemanis bibir semata? Andalah penilainya. Selamat belajar dan teruslah belajar!

Michael Sendow