Wednesday, February 29, 2012

Mantan Tukang Sapu Jadi Presiden

Bagi sebagian orang, tukang sapu adalah pekerjaan yang dipandang sebelah mata. Padahal menjadi tukang sapu di jalan raya, di rail kereta, di mall-mall besar sebenarnya punya tantangan tersendiri. Bagaimana membuat dan menjaga public place tersebut tetap bersih sepanjang hari, bagaimana pula supaya dapat bekerja dengan sabar. Kenapa harus sabar? Karena tempat-tempat umum tersebut akan dengan mudahnya kotor kembali walaupun baru selesai dibersihkan. Pekerjaan yang butuh kesabaran ini tentu tidak banyak orang yang suka, atau bakalan menolaknya kalau bisa memilih. Tapi pekerjaan inilah yang pernah dilakoni seorang Michael yang akhirnya terpilih sebagai seorang presiden.

Michael pernah menjadi tukang sapu di suatu stasiun kereta Victoria di London Inggris. Tempat yang begitu jauh dari tanah kelahiran dan sanak saudaranya. Ia yang pada saat itu sementara menimba ilmu politik di London mengalami kekurangan dana untuk menyambung hidup di negeri orang. Akhirnya, membuang rasa malu, ia mencoba melamar pada perusahaan British Air sebagai seorang petugas kebersihan. Tukang sapu stasiun. Ia diterima bekerja di situ, pekerjaan yang juga akhirnya membentuk dirinya menjadi sabar, ulet dan pantang menyerah.
13170489651737542348 

Monday, February 20, 2012

Bahasa Inggris, Salah atau Benar?

Kebiasaan Berbahasa Inggris.

Dalam berbahasa, entah bahasa apapun yang kita pakai, maka domisili, kebiasaan, kebudayaan setempat, dan lingkungan sekitar tentu sangat mempengaruhi gaya, pakem, dan kemampuan kita berbahasa. Bayangkan mereka yang tinggal puluhan tahun di pula Jawa misalnya, dan dalam kesehariannya hanya memakai bahasa Jawa, tentu akan sangat kaku ketika harus berbahasa Indonesia. Bagaimana pula dengan mereka yang kebiasaannya hanya menggunakan dialek “Manado pasar” dalam berkomunikasi? Tentu akan kesulitan ketika harus berhadapan dengan babe-babe dari Jakarta umpamanya.

Lalu apa yang terjadi kalau hal itu terus berlanjut? Miscommunication. Itu sudah pasti. Ambil contoh teman saya yang kebiasaannya menggunakan dialek Manado Pasar yang sungguh kental. Suatu waktu ia dibawa pamannya ke Jakarta, kota yang perama kali dilihatnya dan diinjaknya. Ia kagum bukan main. Ia bertekad untuk tinggal di kota megah ini katanya. Tapi mimpi tinggalah mimpi. Harapannya tak berlangsung lama, kenapa? Karena kendala berbahasa. Tak satupun tempat kerja yang mau mempekerjakan ia yang tak bisa berbahasa Indonesia dengan baik. Dibilangin “Apa pun yang terjadi kamu tetap harus membuat pembukuan itu secara runut dan tuntas” ia nggak ngerti. Apalagi gaya bicara orang Jakarta yang menurutnya “So talalu banya ba logat do’ce!” Padahal memang demikianlah orang Jakarta ngomong. Ia merasa orang Jakarta yang bicaranya aneh, padahal bisa saja sebaliknya, karena dialah yang pendatang. Hanya sekian minggu di Jakarta, nggak betah, maka pulanglah sobat kita yang satu itu ke kampung halamannya.

Sunday, February 19, 2012

Bijak Dalam Memberi Kritik


Mengkritik sesuatu adalah hal yang paling gampang, murah, dan asyik. Tapi di sisi yang lain, memberi kritik juga bisa menjadi sesuatu yang susahnya minta ampun, mahal, dan tidak mengenakkan. Lho, apa iya? Ya iyalah! Tidak sedikit karena kritikannya tersebut, seseorang itu kemudian diberangus, harus membayar dengan mahal, dan dicela kiri-kanan. Itulah kenyataannya dalam dunia kritik mengkritik. Kadang bagaikan bola salju yang jatuh dari ketinggian, ia menghajar semua yang dilaluinya sampai berantakan, tapi akhirnya ia juga hancur lebur berantakan tak karu-karuan.

Kritik memang diperlukan, tapi terkadang ia juga begitu dibenci. Walau kita mengatakan kita menerima kritik dengan tangan terbuka dan lapang dada, tapi hati nurani yang jujur pasti akan berontak dan merasa tidak nyaman dengan segala kritikan itu. Betul tidak? Andaikan jawabannya tidak, maka berbahagialah saudara. Tapi satu hal yang pasti, sadar atau tidak, suka atau tidak, kita sebenarnya adalah tukang kritik abadi itu. 

Kalau pun kita tidak mengkritik orang lain, kita sebenarnya adalah pengkritik diri sendiri. Wah, kenapa saya bikin yang ini padahal harusnya yang itu! Aduh, gobloknya aku ini, aku semestinya pergi ke sana bukannya hanya tinggal diam di sini! Eh, ini betul-betul keliru, aku tidak harus membelinya, kenapa aku malah membeli BB termaknyus itu dua sekaligus? Setiap inci dan setiap detik dalam hidup ini terbuka untuk sebuah kritikan. Kita selalu mengkritisi diri, dan prilaku kita sendiri. Supaya apa? Tentu dengan harapan, akan menjadi lebih baik lagi, lebih bijak lagi, lebih sabar lagi kedepannya. Apakah segampang itu? Tentu tidak. Kenapa tidak? Karena sifat dasar manusia adalah “membenarkan diri” dan selalu mencari kebenaran sendiri dalam rangka menutupi kesalahan serta kekeliruan.
Criticism is when someone offers you their opinion or judgement about you or a characteristic that you have. But what if you stopped to evaluate the criticism without any emotional involvement? I know, easier said than done. But it can be done. Instead of thinking of it as criticism think of as constructive feedback.(CoachKalpna)

Thursday, February 16, 2012

Menghapus Lembaga Perkawinan Demi Sebuah Persatuan?

Adalah seorang filsuf bernama Plato yang mengangkat isu tentang penghapusan lembaga perkawinan. Filsuf tersebut mengemukakan idenya, berangkat dari pemahamannya tentang “kepentingan bangsa dan negara.” Ia memiliki alasan bahwa:

Pertama, penghapusan lembaga perkawinan adalah untuk meningkatkan loyalitas dan dedikasi setiap warga negara kepada negara. Karena apa? Karena kalau lembaga tersebut dihapuskan maka tidak seorang pun yang akan disibukkan lagi oleh urusan keluarga , cinta kepada istri dan anak-anak, yang bagi Plato merupakan satu-satunya bentuk egoisme yang perlu (dan harus) dikikis habis. Jika seseorang telah dibebaskan dari ikatan perkawinan dan urusan keluarga, maka loyalitas dan pengabdiannya akan sepenuhnya adalah bagi negaranya.

Kedua, penghapusan lembaga perkawinan dan keluarga akan memudahkan pengendalian jumlah penduduk. Menurut Plato negara yang ideal adalah tidak terlalu kecil, dan jangan terlalu besar. Nah, cara pengendalian penduduk yang harus ditempuh pemerintah menurutnya adalah dengan mengatur waktu yang digunakan oleh pria dan wanita untuk berhubungan seksual. Lalu bagaimana? Ya itu tadi, dengan membatasi jumlah pasangan agar jumlah kelahiran dapat disesuaikan dengan kebutuhan negara sambil memperhitungkan jumlah orang-orang yang mati karena peperangan, karena penyakit dan lainnya. Mencari win-win solution atau jalan tengah supaya angka yang lahir dan mati menjadi berimbang.

Ketiga, penghapusan lembaga perkawinan dan keluarga dapat meningkatkan kualitas manusia. Negara ideal menurutnya haruslah memiliki pemimpin yang istimewa, yang memiliki kemampuan intelektual tinggi dan karakter mengagumkan, serta moral yang amat terpuji. Untuk memperbaiki kualitas manusia tersebut, maka pemerintah harus mengatur agar pria yang terbaik di dalam negara melakukan hubungan badan dengan wanita yang terbaik, sehingga mereka akan menghasilkan keturunan yang terbaik pula. Anak dari pria dan wanita yang tak berkualitas harus disingkirkan oleh negara, dan hanya anak dari pria dan wanita berkualitas yang harus dipelihara serta dirawat oleh negara.