Thursday, April 28, 2011

Lambang Keterbukaan---Lady Liberty

Hidup Majemuk---Statue of Liberty.


Berkali-kali saya mengunjungi patung liberty, tapi sepertinya tak puas-puasnya untuk menikmati sejuknya udara dan pemandangan alam yang asri di Taman Liberty. Dari taman ini kita bisa melihat patung Lady Liberty dengan jelas, sebelum kita menaiki boat untuk bisa mencapai lokasi patung itu yang agak ketengah, seperti lagi berdiri di suatu pulau kecil.

“Berikan kepadaku kaum lesu, kaum miskinmu, kerumunan jelatamu…
Yang mendamba napas merdeka, kaum celaka yang ditolak…
Di pesisirmu yang sesak…
Kirimkan mereka kepadaku, kaum yang tidak terlindung…
Yang diombang-ambing tak menentu…
Aku mengacungkan lampuku di sisi gerbang kencana.”

Demikian terjemahan syair Emma Lazarus yang terukir pada Statue of Liberty atau Patung Kemerdekaan di pelabuhan New York. Patung ini menjadi monument lambang keterbukaan dan kemajemukan falsafah gaya hidup Amerika.

Patung wanita yang disebut Lady Liberty ini dibuat di Perancis oleh pemahat Bartholdi sebagai hadiah dari yakyat Perancis kepada rakyat Amerika. Bagian demi bagian dari tubuh Lady Liberty ini dengan berat ribuan ton diangkut naik kapal. Pada tahun 1886 patung ini berdiri megah setinggi 92 meter di pulau kecil Liberty Island di perbatasan New York dan New Jersey. Di tempat inilah para korban yang selamat pada peristiwa tenggelamnya kapal Titanic ditampung sementara.

Dari jauh patung ini menjadi fokus pertama yang dilihat oleh jutaan imigran dari dek kapal ketika mereka mendekati pantai. Patung ini melukiskan wanita dengan rantai belenggu yang putus pada kakinya. Ia memakai mahkota dengan tujuh ujung melambangkan tujuh samudera dan benua. Tangan kanannya mengacungkan obor yang menyala. Tangan kirinya memegang loh batu bertuliskan: July IV, MDCCLXXVI, yaitu tanggal proklamasi kemerdekaan Amerika Serikat pada 4 Juli 1776.

Pengarang Emma Lazarus menulis syair ini sebetulnya bukan untuk diukir pada Statue of Liberty. Ia menulisnya tiga tahun sebelum peresmian patung itu. Puisinya baru diukir kemudian, yaitu lima belas tahun setelah patung ini berdiri.

Kalau bukan untuk patung ini, untuk siapakah puisi ini ditulis? Emma menulisnya untuk para pembaca bukunya. Puisi yang dikutip pada patung itu hanyalah bagian akhir dari puisi seutuhnya. Puisinya yang lengkap berjudul “The New Colossus”.

Pesan puisi Emma adalah bahwa Amerika akan menjadi sebuah kolosus atau Negara Kolosal jika bersifat terbuka dan majemuk. Biarlah orang yang tertekan dan mendambakan kebebasan datang ke sini. Inilah negara bebas. Di sini tiap orang boleh menyatakan pendapat. Tiap orang boleh memilih agama yang disukainya. Tiap orang boleh berbeda. Biarlah orang miskin datang ke sini. Ini Negara demokratis. Di sini tiap orang punya kesempatan yang sama. Biarlah imigran dari segala penjuru datang ke sini. Meskipun berbeda bangsa, bahasa, budaya dan agama, tetapi di sini kita menjadi orang Amerika yang mempunyai impian yang sama, yaitu The American Dream. Di sini tiap orang berpacu dengan waktu mewujudkan impian itu, yaitu hidup maju dan bermutu. Setidak-tidaknya itulah harapan Emma dalam buku dan puisinya.

Masyarakat Amerika memang bersifat majemuk. Hampir tiap orang adalah keturunan asing. Saya memiliki teman-teman yang asal aslinya datang dari berbagai bangsa. Mulai dari Afrika, Asia sampai Eropa. Mulai dari Korea, Tailand, Jepang sampai Finlandia, Swedia dan Ukraina. Mulai dari Jawa, Bali, Aceh sampai ujung Sulawesi. Dari Sabang sampai Merauke. Akan tetapi sejauh mana hal itu sudah terwujud, setiap orang punya penilaian yang berbeda-beda.

Komunitas etnik ini sama sekali tidak menutupi jati dirinya. Sebaliknya, tiap etnik mempertahankan bahasa dan budayanya. Dan keaneka-ragaman itu adalah nilai tambah tersendiri. Orang Amerika tidak malu, malah bangga, bahwa masyarakatnya bersifat plural. Justru karena berbeda, semua diperkaya. Ketika tujuh astronot terbang ke ruang angkasa, ketujuh orang itu berasal dari tujuh etnik yang berbeda. Kemajemukan dimanfaatkan untuk kemajuan. Tiap pendatang asing (yang resmi) diberi kesempatan supaya kelak menjadi potensi yang berkontribusi.

Dimensi melindungi dan memberdayakan pendatang asing yang tak berdaya supaya kelak menjadi sumber daya, tersirat dalam kata-kata Emma Lazarus. Ia menyuarakan pembelaan untuk orang asing, karena kita juga dulu orang asing yang tak berdaya. Kata-kata Emma Lazarus telah menjiwai gaya hidup yang terbuka dan majemuk hingga kini. Ia sendiri tidak menyaksikan kejadian ketika syairnya diukir pada monument Statue of Liberty, sebab wanita pengarang keturunan Portugal dan Yahudi ini meninggal dunia empat belas tahun sebelumnya. Tetapi suaranya tetap bergema di tujuh samudera dan benua:

“Give me your tired, your poor, your huddled masses…
Yearning to breath free, the wretched refuse….
Of your teeming shore.
Send these, the homeless, tempest-toast to me,
I lift my lamp beside the golden door.”

Tuesday, April 26, 2011

Generasi Bingung

Generasi Bingung


Sambil tertawa beberapa orang dewasa menendang-nendang seekor kucing bagaikan bermain sepak bola. Kucing itu merintih kesakitan dan lalu mati tergelepar. Baguskah perbuatan mereka? Bisa jadi budaya di situ menganggap sikap kejam mereka terhadap kuncing sebagai perbuatan terpuji. Sebaliknya, dalam budaya lain itu merupakan perbuatan keji.

Itu adalah sebuah contoh tentang life values (hampir selalu ditulis dalam bentuk jamak). Nilai-nilai hidup adalah sejumlah sikap dan perbuatan yang kita junjung tinggi sebagai sesuatu yang patut dan mulia. Nilai-nilai hidup adalah kualitas yang kita anggap ideal untuk menjadi sifat, watak dan kepribadian kita. Nilai-nilai hidup yang kita pelajari dan kita anut menumbuhkan karakter, citra diri dan tujuan hidup kita. Nilai-nilai hidup menolong kita agar tidak bingung mebedakan mana yang baik dan mana yang keliru. Nilai-nilai hidup menghasilkan perilaku yang kita anggap baik dan juga dianggap baik oleh orang lain. Cirinya universal dan akseptabel menurut kemanusiaan yang beradab. Tapi semestinya kita sadar bahwa nilai-nilai hidup bukanlah bakat atau sifat. Riang atau murung adalah sifat dan pandai bernyanyi adalah bakat; bukan nilai hidup.

Apakah nilai-nilai hidup sama dengan moral? Hampir sama namun agak berbeda. Moral adalah bentuk primer yang mengatur hubungan antar orang supaya hubungan itu jangan menjadi kacau, buas dan biadab. Nilai-nilai hidup lebih luas dari moral. Harper Encyclopedia of Religious Education menulis, “Values is a broader term than morality since it includes not only moral values but aesthetic, cultural, educational, political and economic aspects as well.”

Samakah nilai-nilai hidup dengan agama? Tidak! Meskipun agama mengajarkan junjungan tertentu, namun junjungan itu belum universal. Seandainya sebuah agama mengajar umatnya untuk menista, mengejek orang-orang tidak berTuhan (atheis), maka junjungan itu hanya akseptabel dalam agama tersebut, namun tidak akseptabel di mata mungkin sebagian agama yang toleran terhadap orang ateis tersebut. Jadi belum bersifat universal.

Kalau begitu siapa yang menentukan nilai-nilai hidup? Yang menentukan adalah budaya kita, tepatnya budaya yang diteladankan kepada kita oleh orang tua, guru dan pemuka. Termasuk yang diteladankan oleh Nabi Muhammad, Yesus, atau Sidharta Gautama bagi para pengikutnya.

Nilai-nilai hidup itu bukan bawaan sejak lahir, melainkan produk dari pengaruh didikan yang kita terima. Sepanjang hidup kita. Sepanjang umur kita akan terus diwarnai oleh pengaruh itu. Namun usia yang paling peka dalam menyerap pengaruh itu adalah masa anak dan remaja.

Sekarang mari kita intip lebih jauh apa kira-kira contoh dari nilai-nilai hidup itu…Oooh ada banyak, diantaranya; Jujur, rendah hati, kerja keras, rasa tanggung jawab, adil, menghargai waktu, komitmen dan masih banyak lagi.
---Misalnya nilai dari hidup jujur itu. Jujur terhadap diri sendiri dan bisa dipercaya orang lain merupakan dasar integritas. Apa jadinya kalau tiap orang saling mencuri atau saling tidak jujur baik di sekolah, pemerintahan dan bahkan keluarga sendiri?
-----Atau nilai dari rendah hati. Rendah hati bukan rendah diri dengan selalu berkata “Aah, aku tidak bisa”. Rendah hati juga bukan berarti bangga. Ketika berprestasi kita patut bangga, namun tidak menghina mereka yang lebih rendah prestasinya. Rendah hati adalah mau mengaku salah, tahu keterbatasan diri, bisa mengagumi orang yang lebih unggul dan bisa menempatkan diri pada kedudukan yang lebih rendah. (Hal mana belum dimiliki oleh kebanyakan pemimpin dan penguasa di negeri ini).

Bagaimanakah cara mewariskan nilai-nilai hidup? Yang pasti bukan dengan nasihat!. Nah, di sini letak persoalan dan kendala pendidikan nilai-nilai hidup kita. Hidup ini penuh dengan nasihat, petuah, wejangan, pengarahan; tetapi apakah orang-orang itu sendiri melakukannya? Apakah mereka yang berkata-kata itu juga melakukan apa yang mereka ucapkan? Apakah mereka menjadi teladan?

Coba sekarang kita lihat kenyataannya… Ayah menyuruh anak rajin belajar, namun ia sendiri jarang baca buku. Guru mengajar murid untuk adil, namun ia sendiri pilih kasih. Pemuka agama berseru-seru agar umat saling menghargai, namun ia sendiri iri dan menjegal rekannya. Polisi menegur pengemudi, tetapi ia sendiri melanggar aturan lalu-lintas (banyak itu). Para pembesar berpidato agar rakyat cinta negeri ini, namun ia sendiri mencuri uang Negara (apalagi yang beginian). Wakil rakyat berkoar-koar memperjuangkan kesejahteraan rakyat tapi uang triliunan rupiah diperuntukkan demi kenyamanan dan gengsi mereka semata!

Maka bingunglah sebuah generasi. Mereka mendengar nasihat, namun tidak melihat teladan. “Jadi mana yang betul? Kenapa ia sendiri tidak melakukannya? Katanya tidak boleh, tetapi kenapa dibiarkan saja? Bukankah itu salah, tetapi kenapa lalu semuanya itu dianggap lumrah?”

Sebuah generasi sedang bingung. Jika sebuah generasi menjadi bingung, mungkinkah ia mewariskan nilai-nilai hidup dan teladan yang tidak membingungkan bagi generasi berikutnya?

******


Dedicated with respect to all my fellow pemerintah dan juga para wakil saya yang sebentar lagi bakalan duduk nyaman disinggahsananya. Di gedung yang kata teman saya “lambang ketamakan”, “simbol egoistis” dan “ menara kesombongan” itu.

Wassalam.
-MS-

Winnetou dan Old Shatterhand



“Eeh, itu rambutku! Siapa yang memberikannya kepadamu?” teriak Winnetou keheranan sambil mundur selangkah ketika melihat seikat potongan rambut di kaleng sardine itu.
Old Shatterhand menjawab tenang, “Roh Agung yang Mahabaik mengutus seorang penolong yang tidak dikenal ketika kamu diikat di pohon oleh suku Kiowa. Penolong itu tidak mau diketahui jati dirinya demi keselamatannya. Tetapi kini penolong itu tidak perlu menyembunyikan diri lagi. Percayakah kamu sekarang bahwa sebetulnya sejak dulu aku bukan musuhmu, melainkan sahabatmu?”

Winnetou terbelalak heran bercampur haru, “Jadi….kamulah yang malam itu melepas tali pengikatku? Oh, sungguh kami berutang budi kepadamu. Berkat jasamu aku masih hidup!”

Demikian sebuah adegan dari buku Winnetou. Memang beberapa bulan sebelummya pada suatu malam Old Shatterhand merayap sejengkal demi sejengkal mendekati pohon tempat Winnetou akan dibantai. Saat itu Old Shatterhand mengerat sepotong rambut Winnetou yang panjang itu sebagai bukti bahwa ia adalah penolong Winnetou.

Sejak itu kedua pemuda ini menjadi sahabat. Winnetou adalah kepala suku Apache dan Old Shatterhand adalah pemuda Amerika keturunan Jerman yang bekerja sebagai pengukur tanah. Mereka bersahabat karib. Winnetou tidak pernah ragu-ragu mempertaruhkan nyawa demi melindungi Old Shatterhand, demikian pula diperbuat Old Shatterhand terhadap Winnetou.

Persahabatan kedua insan itu melalui suka dan duka telah menjadi kisah empat jilid buku dengan hampir dua ribu halaman karya Karl May (1842-1912) yang digemari jutaan pembaca mulai Albert Einstein sampai Mohammad Hatta. Saya termasuk di antara jutaan orang yang suka dengan buku itu. Cerita ini pertama kali terbit tahun 1875 di Jerman.

Siapa Karl May? Ia lahir dalam keluarga penenun miskin di Jerman. Karena kurang gizi ia langsung buta sejak lahir. Ia juga menderita sesak napas. Ia diperlakukan keras oleh ayahnya dengan tujuan menanamkan sifat ulet dan tangguh.
Dalam kebutaannya May mendapat penghiburan dari cerita-cerita neneknya. Tiap hari ia larut dan hanyut dalam cerita. Raut muka neneknya tidak bisa dilihatnya. Oleh sebab itu daya imajinasi May tumbuh dengan kuat.

Pada usia enam tahun May mulai bisa melihat. Ia bersekolah dengan baik dan kemudian menjadi guru. Namun ia mulai mengidap gangguan jiwa berupa keterpecahan pribadi. Perilaku akibat gangguan kejiwaan membuat May dijebloskan ke dalam penjara. Selama beberapa tahun di penjara ia dibimbing dan ditempa.

Selepas dari penjara, dengan bekal daya imajinasi dari neneknya, ketangguhan dari ayahnya dan kecakapan mengarang yang ia peroleh selama di penjara, May mulai menulis, dan terus menulis sampai usia 70 tahun. Sekitar 70 judul buku telah lahir dari tangannya.

Apa keistimewaan buku May? Pertama, ceritanya merupakan imajinasi namun berdata factual. Uniknya, data factual itu belum pernah dilihatnya. Cerita Winnetou berkisah tentang perang dan damai orang Indian di gunung dan lembah Amerika, padahal May belum pernah ke Amerika, apalagi melihat orang Indian. Namun data faktualnya sangat akurat dari segi antropologi dan geografi. Kedua, May mengarang mundur. Ia mulai dengan menulis bab penutup lalu mundur ke bab pembuka. Ketiga, ia menempatkan dirinya sendiri dalam cerita yang ia tulis. Old Shatterhand adalah personifikasi dirinya.

Keistimewaan yang lebih mendalam pada buku May adalah teologinya. Ia menggambarkan manusia sebagai Edelmensch, yaitu manusia yang berjiwa mulia. Buku May merupakan apologi (artinya, pembelaan teologis) terhadap filsafat Nietsche yang mengajarkan bahwa manusia adalah Ubermensh, yaitu manusia yang bernafsu menjadi unggul. Menurut May kehebatan manusia justru terletak dalam kemauan untuk berdamai dan bersahabat. Edelmensch ajaran May adalah insan sesuai pengakuan. Insan yang diakui dan yang mengakui. Jiwa mulia itu tampak dalam diri Winnetou dan Old Shatterhand yang selalu mencari damai dan memulihkan hubungan dengan semua suku Indian dan orang kulit putih.

Pada suatu hari Winnetou dan Old Shatterhand menyiapkan penyerbuan untuk membebaskan pemukiman desa kulit putih yang akan dibantai oleh suku Ogellallah. Old Shatterhand memimpin penyerbuan ini namun diambil alih oleh Winnetou demi keselamatan Old Shatterhand.

Winnetou berfirasat bahwa dalam pertempuran ini ia akan tewas. Sambil memeluk Old Shatterhand berbisiklah Winnetou, “Hari ini aku berangkat ke tempat di mana Putra Manitou Agung telah menyiapkan banyak tempat bagi kita. Di sana kita akan bertemu lagi. Di sana tidak ada perbedaan kulit putih dan kulit merah. Tidak ada lagi pembunuhan dan pembantaian. Yang ada hanyalah kebahagiaan tanpa akhir.”

Firasat Winnetou ternyata benar. Ia tertembak. Old Shatterhand mendekap Winnetou di pangkuannya. Darah terus mengalir. Winnetou berdesah, “Nyanyikan bagiku Kidung Ratu Surgawi.” Para pemukim dengan anak-anak yang baru dibebaskan mengelilinginya dan menyanyikan “Ave Maria” dengan kalimat akhir “Semoga aku berlalu dalam kesalehan, dan bangkit nanti dalam kebahagiaan.”

Bibir Winnetou yang kaku bergerak-gerak. Old Shatterhand merapatkan telinganya. Berbisiklah Winnetou dengan suara halus, “Aku yakin, namaku akan disebut-sebut di Kompasiana…karena secara tidak langsung aku adalah kompasianer tertua…dan aku harap rumah sehat itu akan tetap sehat. Damai. Kalaupun ada riak-riak, itu hanya sebagai bunga bakung dan bukan bunga kemboja si bunga kematian..…Semoga mereka mencontohi hubungan kita berdua Old Shatterhand, my friend!.....Selamat Tinggal!!”

Tuesday, April 19, 2011

Filsafat Bambu


“Ini dia batang bambu yang kuperlukan! Betul-betul besar! Mungkin ini yang terbesar di lereng Gunung Fuji ini,” kata petani itu kepada istrinya. Maka ditebanglah batang bambu itu.

Tetapi alangkah terkejutnya petani itu dan istrinya. Di dalam rongga batang bambu itu ternyata ada seorang bayi perempuan mungil seperti boneka. Dengan hati-hati mereka membawa bayi itu pulang dan merawatnya. Ia diberi nama Putri Bambu.

Putri Bambu memang ajaib. Hanya dalam beberapa tahun saja ia sudah tumbuh menjadi gadis jelita dan lemah lembut. Dari pagi buta sampai jauh malam ia rajin membantu keluarga petani itu. Seluruh penduduk desa menyukai dia.

Suatu ketika raja pun mendengar kabar tentang Putri Bambu. Lalu raja mengirim utusannya untuk meminta Putri Bambu pindah ke istana dan menjadi selirnya. Nah, kalau raja mencari selir, ceritanya menjadi seru. Cerita tentang Putri Bambu terdapat dalam beberapa versi di Jepang, Korea dan Tiongkok. Budaya di negeri-negeri itu menjunjung tinggi keistimewaan, keindahan dan kegunaan pohon bambu.

Coba kita lihat keistimewaannya. Mengapa bambu tidak tumbang atau patah batangnya ketika diterpa badai atau angin kencang? Apakah karena akarnya dalam? Bukan! Akar pohon pinus lebih dalam lagi. Apakah karena batangnya kuat? Juga bukan! Pohon ek dan jati jauh lebih kuat batangnya. Kalau begitu apa sebabnya bambu bisa bertahan terhadap angin kencang?

Rahasia ketahanan bambu terhadap angin kencang terletak pada sikapnya. Ketika diterpa badai, pohon-pohon lain berdiri kaku dan tegak seakan-akan menantang kekuatan angin. Akibatnya ranting dan batangnya bisa patah dengan mudahnya. Sebaliknya bambu justru merunduk dan menunduk. Bambu membiarkan dirinya diarahkan oleh tiupan angin sampai termiring-miring. Batang bambu bersifat lentur, yaitu bisa berlekuk atau melengkung. Sifat lentur itu menyebabkan pohon bambu mampu bertahan dalam badai dan topan. Sifat lentur itu yang menjaga bambu tidak mudah patah. Pohon lain berkonfrontasi terhadap angin, padahal bambu beradaptasi.

Bambu bisa menjadi guru. Oleh sebab itu bambu dijunjung dalam budaya Kung Fu Tse di Jepang, Korea dan Tiongkok. Dalam seni lukisnya bambu adalah lambang estetika. Dalam filsafatnya bambu adalah lambang ketahanan. Dalam pedagoginya bambu adalah lambang ketekunan. Selanjutnya karena rongga bambu kosong, maka bambu juga adalah lambang pengosongan dan pemurnian batin. Pokoknya, bambu adalah bagus dan berguna. Sebab itu lahir cerita tentang Putri Bambu.

Kembali kecerita Putri Bambu di atas, apa yang terjadi ketika raja menyuruh Putri Bambu pindah ke istana? Putri itu menulis surat, “Maaf baginda, hamba lebih berguna di desa daripada di istana.”

Raja kembali mengirim utusannya dan memberi lebih banyak hadiah untuk Putri Bambu. Tetapi Putri Bambu tetap menolak. Kemudian raja menyuruh pasukannya untuk memaksa Putri Bambu. Menghadapi ancaman raja, Putri Bambu cepat-cepat bersembunyi di hutan. Ia masuk ke dalam rongga pohon bambu. Dimanakah sekarang Putri Bambu itu? Sampai hari ini ia masih ada dalam rongga tiap pohon bambu. Kadang-kadang ia menampakkan diri pada orang yang betul-betul mencintai bambu.


Note:
Tidak dalam setiap hal sifat bambu bisa kita tiru. Pemerintah kita adalah contohnya, sering mereka menjadi dilemma pada situasi-situasi tertentu. Banyak anggota dewan yang (katanya) dalam hati mereka sebenarnya tidak setuju pembangunan “rumah baru” mereka. Tapi karena kebanyakan anggota pada setuju, maka akhirnya mereka menyetujui juga. Nah lho! Begitu banyak yang bersikap ikut arus, asal bapak senang, cari aman dan cari selamat.
Ikut arus akan kehilangan jatidiri, namun bertahan dan melawan aruspun akan hancur lebur.

Bunglon Berbatik

Bunglon Berbatik



Saya baru saja menyaksikan sesuatu yang langka. Apa itu ? Bunglon berbatik !. Ini kisah nyata yang saya alami sendiri. Saya lagi menjemur kemeja batik saya di pekarangan belakang rumah, kegiatan rutin yang saya lakukan supaya batik saya tidak kusut. Ketika hendak mengangkat batik saya beberapa jam kemudian, saat itulah saya lihat ada seekor bunglon lagi nangkring diatas batik saya dan lucunya ternyata benar kata orang bahwa bunglon itu bisa berubah rubah warna tubuhnya. Pada waktu itu saya ketawa sendiri melihat ada bunglon berbatik. Bentuk warna tubuh bunglon itu tepat mengikuti warna batik saya yang agak kecoklatan berbunga.

Bunglon adalah sejenis reptil yang termasuk ke dalam suku (familia) Agamidae. Bunglon meliputi beberapa marga, seperti Bronchocela, Calotes, Gonocephalus, Pseudocalotes dan lain-lain. Bunglon bisa mengubah-ubah warna kulitnya, meskipun tidak sehebat perubahan warna chamaeleon (suku Chamaeleonidae). Nah si bunglon ini bisa berubah dari warna-warna cerah (hijau, kuning, atau abu-abu terang) menjadi warna yang lebih gelap, kecoklatan atau kehitaman. Bunglon ini memiliki nama ilmiah Bronchocela jubata (Duméril & Bibron, 1837). Nama lainnya dalam bahasa Inggris cukup menyesatkan: bloodsuckers, karena pada kenyataannya kadal ini tidak pernah menghisap darah.
Dan ini keunikan serta kehebatannya bahwa di saat Bunglon merasa terancam , Ia akan mengubah warna kulitnya menjadi serupa dengan warna lingkungan sekitarnya, sehingga keberadaannya tersamarkan. Fungsi penyamaran demikian disebut kamuflase. Hal ini berbeda dengan "mimikri", yakni penyamaran bentuk atau warna hewan yang menyerupai makhluk hidup lain.

Melihat pemandangan langka itu saya teringat dan membayangkan bahwa betapa banyaknya ‘bunglon berbatik’ lainnya di negeri kita ini… Mereka tersebar dimana saja, ratusan jumlahnya, atau bahkan ribuan atau ratusan ribu atau entah berapa banyak lagi..Mereka kelihatan sangat hebat, sangat gaya, sangat mentereng dengan kemeja batik yang mereka pakai. Para bunglon berbatik ini ada dihampir semua propinsi di Indonesia dan mungkin disetiap instansi dan organisasi apapun tak terkecuali organisasi politik dan sosial dinegeri ini. Bahkan mereka banyak berkeliaran di gedung-gedung Wakil Rakyat, dipusat-pusat pemerintahan negara dan daerah. Tidak sedikit yang bercokol di department-departement strategis di pusat maupun daerah. Atribut bunglon berbatik ini memang cocok ditujukan bagi mereka para abdi negara, wakil rakyat, pelayanan masyarakat dan lain-lainnya itu yang tabiatnya persis seperti bunglon. Apa itu..? Di saat Bunglon merasa terancam , Ia akan mengubah warna kulitnya menjadi serupa dengan warna lingkungan sekitarnya, sehingga keberadaannya tersamarkan. Fungsi penyamaran demikian disebut kamuflase !
Bukankah tidak sedikit para abdi negara, wakil rakyat serta yang memegang kekuasaan di pusat-pusat pemerintahan akan dengan seketika berubah menjadi penjilat, pecundang, munafik dan ‘berubah warna’ ketika keadaan mereka terancam, atau ketika karir, jabatan, kedudukan, posisi, keuangan dan pangkat mereka dalam posisi terancam ? Ada berapa banyak dari mereka yang bisa dan mampu serta mau mempertahankan kredibilitas serta integritas janji mereka ketika diperhadapkan pada posisi-posisi tersebut ? Ada berapa banyak yang masih mau peduli dengan suara rakyat, keberpihakkan terhadap kepentingan rakyat dan kepentingan umum ? Bukti nyata para bunglon berbatik ini sangat terlihat ketika lagi ramainya kasus si Gayus dan mafia pajak, juga ketika Sri Mulyani di-lengserkan secara halus oleh orang-orang yang haus kekuasaan, harta dan jabatan itu. Mereka yang takut keberadaannya terancam. Mereka yang lebih suka jadi penjilat dan “yess boss” demi menyenangkan atasan dan mengamankan posisi. Tapi jangan salah, para bunglon berbatik ini paling hebat kalau berkoar-koar dan berteriak-teriak didepan publik dan masyarakat seakan-akan kepentingan rakyatlah yang selalu mereka perjuangkan…Aaaagh dasar bunglon !
Ada tiga “P” yang tumbuh berkembang di dunia yang rakus akan kekuasaan ini yaitu Pejabat, Penjilat dan Penjahat. Ketika seorang pejabat menjadi penjilat maka otomatis ia akan menjadi penjahat. Kenapa ? Karena ia telah menjahati kepentingan orang banyak. Kepentingan masyarakat dan lebih memilih untuk memelihara kepentingan sendiri, mengenyangkan dan berusaha membuat buncit perut sendiri, Rakus, serakah untuk mengisi belanga sendiri tanpa peduli hak dan kepentingan orang banyak.

Menyimak sejarah politik Indonesia sama artinya dengan menyimak ulang konsep politik Machiavelli. Politik Indonesia pertama-tama bukan memikirkan bagaimana pejabat dan penguasa mengatur tata hidup bersama, melainkan bagaimana mereka mengatur tata pemerintahan sedemikian rupa sehingga ia tetap dicintai, dikagumi dan diandalkan rakyatnya. Politik Indonesia lebih memikirkan bagaimana kekuasaan dipertahankan selama mungkin daripada bagaimana Indonesia dibangun sebaik mungkin. Dengan cara apapun termasuk cara-cara kotor seperti berkamuflase ala bunglon. Sementara itu, institusi-institusi politik juga dikembangkan sedemikian rupa sehingga menghasilkan formasi politik yang mendukung para penguasa dan pejabat tinggi. Kekuasaan politik berpusat di tangan pemerintah/penguasa. Institusi perwakilan politik rakyat secara efektif bekerja untuk melegitimasi kebijakan pemerintah. Fungsinya sebagai wakil rakyat (atau saya tulis huruf besar WAKIL RAKYAT) tidak dilaksanakan secara memadai. Dengan demikian, kekuasaan penguasalah yang dilanggengkan oleh rekayasa politik yang banyak kita jumpai kalau kita peka. Para politisi di anggota dewan misalnya jelas terlihat bahwa kebanyakan adalah penganut Machiavellian juga. Sebab sangat terlihat mereka tampaknya berjuang keras melanjutkan aspirasi rakyat. Waktu yang lalu bahkan mereka berteriak, melompati meja dan saling dorong atas nama rakyat. Namun siapakah yang tertawa senang melihat aksi itu? Rakyat? Saya kira tidak. Rakyat justru malu melihat para wakilnya seperti para preman berdasi. Kita mesti bertanya lagi. Apakah itu sungguhan ataukah hanya kamuflase semata? Apakah terdorong oleh nurani kemanusiaan ataukah hanya untuk mempertahankan kedudukannya sebagai anggota dewan. Memperjuangkan aspirasi rakyat ataukah berdusta dan menarik simpati rakyat? Tinggal kita sendiri yang harus pintar-pintar menilai tindak tanduk mereka. Jangan biarkan para bunglon berbatik tersebut mengelabui kita. Tapi kita juga mesti jujur bahwa tidak semua mereka seperti itu. Pasti masih ada segelintir yang memiliki nurani bersih dan memegang teguh prinsip serta memiliki integritas yang mumpuni. Yang berpihak pada orang banyak bukan pada diri dan kantong sendiri.

Kalau saja para bunglon berbatik ini mau berubah dan menjadi lebih berbakti dan sungguh-sungguh untuk kepentingan bangsa, kepentingan masyarakat…maka kita boleh bernafas agak lega melihat masa depan bangsa ini....

Tuesday, April 5, 2011

Perang adalah kejahatan kemanusiaan

http://politik.kompasiana.com/2011/03/26/perang-adalah-kejahatan-kemanusiaan/


Apakah kita memang membutuhkan perang ? Peperangan apa yang bernilai positif di dalam sejarah umat manusia ? Rupa-rupanya peperangan positif itu adalah perang melawan ketidakadilan, perang terhadap kemiskinan, perang melawan korupsi dan masih banyak lagi perang yang positif lainnya. Termasuk perang terhadap perang!

Saat ini yang ingin saya soroti adalah perang yang notabene adalah musuh kemanusiaan. Perang dengan menggunakan aksi militer, membunuh, mencabut nyawa dan merampas hak paling hakiki dari manusia. Hak untuk hidup.


Perang yang seharusnya menjadi jalan paling akhir - terakhir, dan sebisa bisanya ditiadakan, ketika suatu bangsa diperhadapkan dengan masalah, juga dalam hal mengambil keputusan, malah sering manjadi tujuan utama. Di Indonesia sendiri memang keputusan untuk mengijinkan untuk mengadakan perang, kalau kita baca UUD kita, dalam kondisi tertentu,dibolehkan, dimana seorang presiden bisa menyatakan perang.

Untuk sekedar sebagai gambaran, betapa perang benar-benar mengerikan dan sudah menjadi musuh utama peradaban dan kemanusiaan, mari kita simak kisah-kisah dahsyatnya akibat yang diolehkarenakan peperangan tersebut.

*) Pertarungan perang sipil “The Great Peace Rebellion” tahun 1851 hingga 1864 telah mengakibatkan 20-30 juta orang meninggal. Pemberontakan pasukan dari pemerintahan Manchu melawan para simpatisan Dynasty Ming dari bagian Selatan, dipimpin Hung Hsiu yang pada akhirnya memenangkan pertarungan itu. Banyak jiwa terkorbankan sebagai taruhannya.

*) Selama perang dunia ke 2, World War II, diperkirakan 55 juta orang kehilangan nyawanya. Hampir setengah dari jumlah tersebut, dikatakan adalah dari Soviet Union.

Bahkan ada banyak hal-hal sepele yang berakibatkan justru perang yang sangat dahsyat;

*) Perang selama 12 tahun di Italy pada tahun 1325 terpicu hanya gara-gara pasukan dari regim Modena menginvasi Bologna untuk sekedar mencuri sebuah brankas. Selama penyerangan pasukan Modena membunuh ratusan orang Bologna, yang kemudian diadakan serangan balasan oleh orang-orang Bologna.

*) Pada tahun 1704 seorang wanita Inggris, Mrs. Mashaur, menumpahkan segelas wine (anggur) ke pakaian yang dikenakan seorang lelaki parlente dari Perancis, Marquis de Torey. Marquis menganggap perempuan tersebut menumpahkan wine itu dengan sengaja. Laki-laki ini kemudian merencanakan dan menyatakan untuk perang! Ia tidak main-main dengan “The war of the Spanish Succession”. Itulah awal mula peperangan yang menjalar ke hampir seluruh Eropa hingga tahun 1709, ketika ‘Peace of Ultrecht’ ditandatangani.

*) Di tahun 1152, ketika King Louis VII dari Perancis pulang dari perjalanan jauhnya, istrinya Lady Eleanor terkejut melihat suaminya, sang raja telah mencukur jambang atau jenggotnya sampai botak. Sang ratu meminta suaminya untuk menumbuhkan kembali jenggotnya, tapi apa daya, sang suami menolak. Akhirnya sang ratu menceraikan King Louis VII dan menikah dengan King of England. Ratu juga berusaha “mengambil” 2 propinsi di Perancis untuk diberikan kepada suaminya yang baru. Akibatnya sangat fatal, “War of the Whiskers” terjadi hingga tahun 1453. Selama lebih dari 300 tahun! (Seperti di ceritakan dalam buku The Worst Wars and Weapons).

Belum lagi peperangan-peperangan yang memakan korban sipil dalam jumlah besar, sebut saja;

- Dalam 3 bulan saja, disuatu musim panas tahun 1994, kelompok Tutsis Rwanda menghabisi 1 juta tetangga mereka dari kelompok Hutu.

- Di China pada masa kepemimpinan Mao terjadi Cultural Revolution, tahun 1966-1976 menewaskan sekitar 20 juta orang.

- Di Rusia, terror sangat mengerikan dari seorang pemimpin bernama Stalin juga menghabiskan sekitar 20 juta orang di tahun 1936-1953.

- Holocaust di Eropa tahun 1933-1945, 11 juta orang menjadi korban.

- Pakistan, perlawanan melawan Bengalis tahun 1971 yang jadi korban sekitar 3 juta orang.

- Di Kamboja, Pasukan Khmer membunuh sekitar 1.6 juta orang (1975-1979). (Sumber : Wikipedia dan The Best of The World’s Worst Book.)



Menilik data-data sejarah kejahatan perang, yang tentu saja belum termasuk peperangan lainnya di sejumlah Negara Afrika dan Timur Tengah, membuat kita harusnya membenci perang. Perang itu merampas hak hidup, apapun alasannya. Akibat kekerasan perang bisa dirasakan turun temurun, sampai ke anak-cucu.

Agressi militer Amerika dan sekutunya, pambantaian tentara Libya terhadap warga sipil, perang di Afganistan, di Yaman, Rwanda, Jordania adalah bukti betapa masih banyak yang lebih memilih jalan kekerasan daripada jalan damai. Lebih memilih perang daripada damai. Jangankan perang antar bangsa, perang saudarapun bisa dengan mudah tersuluti dan dengan gampangnya terwujud. Indonesia adalah satu diantara banyak saksi atas perang saudara itu. Perang yang seharusnya tidak terjadi kalau kita lebih bijaksana, lebih menggunakan otak daripada emosi perasaan, lebih mengutamakan dialog daripada ego pribadi, kelompok dan golongan.


Sesungguhnya perang tidak akan pernah membawa kemaslahatan dan keuntungan bagi umat manusia. Perang itu keji. Perang itu kejam. Tapi apa mungkin ada benarnya apa kata sebagian orang ? Bahwa, tanpa perang dunia terasa hambar, tanpa perang berita-berita TV kurang greget, tanpa perang banyak perusahaan senjata akan brangkut, tanpa perang perusahaan-perusahaan pembuat obat akan down, tanpa perang ekonomi negara penghasil senjata akan hancur ? Ah, masak sih ? Masak iya sih dengan alasan-alasan diatas kemudian perang dibenarkan. Kalau saya sih tetap anti perang. Apapun alasannya, perang lebih banyak memunculkan kepedihan dan kehancuran daripada kesenangan dan kemakmuran. Perang itu memiskinkan. Perang itu merusak.

Saya pernah mendapatkan kesempatan langka, bertemu dengan seorang mantan Congressman asal Jersey, Scott Snyder. Atau lebih tepat dipertemukan. Saya dipertemukan dengan beliau pada suatu acara, dan yang memperkenalkan saya kepada beliau adalah seorang pengacara, dimana pengacara inilah (Raymond Fasano,Esq) juga yang membantu saya dalam keterlibatan kita mendirikan organisasi kemasyarakatan Kerukunan Keluarga Nusantara secara legal di USA.

Pada saat itu saya sempat ngobrol dengan si Om Scott yang tinggi tegap itu. Akhirnya obrolan kita sempat menyinggung kebijakan LN AS, yang saya bilang sangat “senang” menggunakan senjata. Perang menghasilkan duit bukan ? Om Scott bilang, anda salah, kita tidak harus demikian dalam memaknai perang…dst. Intinya, missi militer Amerika adalah sejalan dengan United Nations. Kalau jalan negosiasi damai tidak bisa ditempuh, jalan perangpun harus diambil. Saya hanya diam. Bukan berarti saya setuju. Tapi saya hanya wong cilik yang Cuma bisa senyum, legowo dan hanya bisa berharap dan berdoa. Karena toh, pada akhirnya mereka-mereka sang penguasa negaralah yang menentukan jalan.

Tapi sebelum pulang, saya sempat nyinggung dikit ke Om Scott. Saya katakana, Om Scott, bukankah Markas Besar PBB (United Nations) yang megah berdiri di antara jajaran gedung pencakar langit di NY itu adalah juga gedung perdamaian ? Mereka harusnya lebih mengambil jalan damai bukan perang bukan ? Dan saya pernah main ketempat itu sekedar foto-foto, sambil iseng ngintipin kali-kali aja ada orang Indonesia nongol dari dalam, kan bisa kenalan. Nah, di depan Markas Besar PBB itu ada prasasti yang bertuliskan demikian : “They will hammer their swords into plowshares and their spears into pruning hooks; Nation will no longer fight against nation, nor train for war anymore”. Atau “mereka akan menempa pedang-pedangnya menjadi mata bajak, dan tombak-tombaknya menjadi pisau pemangkas; Bangsa tidak akan lagi mengangkat pedang terhadap bangsa, dan mereka tidak akan lagi belajar perang”.

Intinya, kelihatannya PBB berkeinginan keras, dan berkeyakinan untuk supaya tidak akan ada lagi peperangan. Harusnya sejata-sejata perang yang mengakibatkan kekerasaan itu diubah menjadi mata bajak demi kemaslahatan umat manusia. PBB harusnya juga membenci perang. Dan dalam tataran tersebut, menolak perang, bukan sebaliknya!

Eh, mana si Om Scott…? Malah ngeloyor pergi!

Free Like A Bird Strong As An Eagle

Free Like a bird Strong Like an Eagle
(Michael Sendow)



Most of us have heard the statement “free as a bird”. Birds are associated with freedom because of their ability to fly. They are not yoked or earthbound. They can escape out of a trap or fly away at will. Although all birds can fly, it’s the eagle’s superior flying power, among its other qualities, that has given it its name as the king of birds. It is not by accident that the eagle is the national emblem of The United States. The eagle is on the currency and in many of the states and federal buildings. America is a country that prides itself in freedom and democracy ( but not for DemoCrazy). Similarly, The Eagle (Garuda) is the symbol of Indonesia’s independence in 1945 and being use as a symbol of The Republic of Indonesia until now in many places, building, schools for very much the same reason.

Eagles are strong of heart and represent admirable qualities such as power, majesty and faithfulness—qualities that governments want to identify with. However, the quality that seems to stand out in the eagle is its sense of freedom. Nothing is more beautiful that to see an eagle soar against the sunset. It is said that the wingspan of an eagle measures eight to nine feet, and that with just one powerful downbeat of its wings, this hundred-pound bird can be airborne to 12,000 feet in just minutes! In fact, pilots have spotted them flying as high as 25,000 feet and going as much as 150 miles an hour.


Freedom was not intended by the founding father of The United States. God has put within each human being the desire to be free. You will kill the baby eagle if you try to help it get out of the egg, because it’s through the struggle that it develops its strength and will to live. In the same way, after nine months, a pregnant woman experiences the pain of contraction as the baby within her struggle to be free. So, even from birth, a human being desires to be free.

Freedom is one of the greatest gifts that God has given us. When we are treated unfairly because of our race, gender, age or religion that freedom is being taken away from us, He gives us freedom. God frees oppressed people who are held captive and imprisoned by a political system. But he also frees people from spiritual imprisonment—because that is at the heart of the matter.

Sounds like that still happening until these present days, doesn’t it? We no longer had the yoke of slavery around our necks, but in a sense, they still had it around our hearts. Like so many of us who are experiencing the ongoing affects of September 11, nation against nation war, race against another race all over the world, killing people everywhere, slaughtering, murdering and not only that but also demolition and destruction that taking place in so many area of life around the world, we are living in fear of being attacked and enslaved again or even being killed. As a result, we are being robbed of our true potential, and living less than human beings made in the image of our God.

What is the yoke that you are wearing around your neck that is choking out your true potential and causing you to live less than human? Is it low-self-esteem? Is it a physically or verbally abusive relationship? Are you wearing the yoke of guilt or shame because of a past mistake? Is it a yoke of habitual sin that you can seem to shake? Or are you bound by the fear of tragedy? Or by the fear of now-a-day situations which are unfair, no real justice, corrupt with all the nonsense inside and within government?


We must act like an eagle and have its power. This power to mount up with wings as eagles—to achieve our true potential—is the power that only God can give. Receive His power and fresh start in life. You can fly like an Eagle or a Garuda! You can be free as a bird!