Sunday, February 27, 2011

Extinction of Animals


Extinction of Animals
When an entire species, or type, of animal dies out, that species is extinct. Once a species becomes extinct, it is gone forever.
Causes of Extinction
The most common cause of extinction is a sudden, serious change in a species’ habitat. A habitat is the surroundings in which an animal lives. Animals can rarely survive such sudden change. Their food supply may be wiped out. They may also lose shelter or other things that they need to survive. Many things can change a species’ habitat. Floods, fires, droughts, volcanoes, and other natural events may be causes. People also change the environment in ways that drastically affect animals. People clear forests and drain wetlands. They build dams that disrupt the flow of rivers. They build cities on land that animals need to survive. They also create harmful pollution.
Some changes that cause extinction affect only a small area. Others are large enough to affect the entire world. A fire or other local event may cause the extinction of animals that live only in that region. A sudden change in the global climate might wipe out an animal species that lives in many parts of the world.
People can cause extinctions more directly as well. Some species have been hunted to extinction. The passenger pigeon is one example. Humans killed millions of the birds over many years. The last one died in the early 1900s.
Mass Extinctions
Sometimes many different species become extinct in a short time. This is called a mass extinction. Several major mass extinctions have occurred in the past. Each time many animal species were wiped out. Some survived, however, and over millions of years new species developed.
The worst mass extinction happened about 248 million years ago. This extinction included mainly animals without backbones that lived in water. Another mass extinction occurred about 65 million years ago. It wiped out many of the planet’s land animals, including the dinosaurs.
Dinosaur Extinction
Dinosaurs first appeared on Earth about 215 million years ago. They were the most important land animals for more than 150 million years. By 65 million years ago, however, the dinosaurs had died out.
Many scientists believe that a large asteroid, or rock from space, caused this mass extinction. When the asteroid hit Earth, the impact caused drastic changes. Thick dust and other materials blocked the sun. Temperatures dropped, and plants could not grow. The dinosaurs could not survive the cold temperatures and lack of food. But early species of birds and mammals did survive.
Large Mammal Extinction
About 10,000 years ago another mysterious animal extinction occurred. This extinction was especially dramatic in North America, where many large mammals disappeared. Among them were woolly mammoths and saber-toothed cats.
Scientists do not know what caused this extinction. Some believe that growing numbers of human beings hunted and killed too many of the animals or their prey. Another theory is that the climate changed and affected the availability of food.
Endangered Species Today
In the past 200 years the world has lost many animal species. Hundreds of others are on the verge of extinction. Animals at risk of dying out are called endangered species.
Governments today are working to protect the world’s endangered species. Laws protect some animals’ habitats from being polluted or destroyed. Other laws make it illegal to hunt endangered animals. Some species respond well to these protective measures and increase in number. Others are not as successful.

sms
Weblån

Thursday, February 17, 2011

Generasi Muda Sebagai Tiang Masyarakat

GENERASI MUDA MINAHASA SEBAGAI TIANG MASYARAKAT
Michael E Sendow

“……Kiapa so ngana ! Ini urusan kita, kita mo bamabo kek, mo ke diskotik,
minum obat-obatan ato mo beking apa kek, itu kita peurusan bukang ngana !” (ungkapan-ungkapan dalam dialek Manado)
Itulah kira-kira kalimat hardikan beberapa teman saya saya bertahun-tahun yang lalu, ketika ia saya tegur untuk tidak melakukan hal-hal demikian. Mereka tinggal di salah satu kampung di Minahasa. Adalah merupakan hal yang sungguh ironis apabila kita merefleksikan kehidupan generasi muda di kota-kota besar. Dan ternyata sebagaimana itu terjadi di kota-kota besar, itu juga sudah mewabah/ menjamur di pedesaan!

…”Ngana rupa cewek jo ! Sombong !, napa bagate sadiki, ini cap tikus asli – bakar manyala !....”” …Kalu nyanda minum berarti nyanda batamang torang !” Ajakan-ajakan seperti itu sudah sangat familiar kalau kita masuki pelosok-pelosok kampung di Minahasa !
Sikap-sikap arrogant dan keras-kepala, kadang dibalut dengan kemunafikan sudah tradisi di kalangan anak muda. Memang tidak semua, tapi ada begitu banyaknya (sangat banyak) anak-anak muda yang masih terikat dengan hal-hal yang demikian.
Lihat saja, sudah berapa banyak perkelahian antar kampung yang terjadi dioleh karenakan anak-anak muda tersebut sudah minum, mabuk dan baku-panas ?
Belum lagi sikap-sikap sok jagoan, pemerasan (bapajak), ada pengunjung dari kampung lain datang, maka sapaan pertama justru tidak ada nuansa persahabatan sama sekali; “…Hey Boss, dari mana ngana ?! Bukang orang sini kang ?! Kaseh kamari dulu doi, atik mo beli rokok deng mo bagate….!”

Sikap-sikap yang seperti ini walaupun kelihatan dan bahkan ada yang bilang biasa untuk kalangan anak muda, tapi sesungguhnya ini justru akan menjadi preseden buruk bagi citra dan kelangsungan hidup harmoni diantara generasi muda Minahasa (bukang Cuma for satu kampung), juga dimata para pendatang .
Memang latar belakang pendidikan banyak menentukan tindak-tanduk dan sikap banyak diantara mereka. Pendidikan juga tidak hanya pendidikan formal, pendidikan informal termasuk lingkungan sekitar turut memberi andil bagi perkembangan selanjutnya dari generasi muda tersebut.
Ada yang bilang bahwa generasi muda Minahasa ada di persimpangan jalan, itu memang betul. Secara jujur memang untuk Minahasa, generasi mudanya ‘harus’ identik dengan ‘generasi muda gereja’. Ini bukan mau menafsikan generasi muda dari agama lain, ini cuma mau menggambarkan apa realitasnya di masyarakat.
Sebab memang banyak pemuda-pemuda dari kalangan gereja berada di persimpangan jalan. “Quo Vadis..?”. Mau jadi anak Tuhan atau ?
Benar bahwa banyak organisasi kepemudaan : Ada Karang Taruna, KNPI, Pemuda Pancasila, GMNI, GMKI, dll. Belum lagi organisasi-organisasi pemuda di bawah payung GMIM, tapi apakah organisasi-organisasi itu berhasil mangangkat keberadaan sesungguhnya dari anak-anak muda ini. Atau hanya jadi tempat pelarian belaka ?!.

Kalau saja generasi muda Minahasa bisa menunjukkan ‘taji’ nya, bukan Cuma jago kandang, bukan Cuma jago bapajak, bukan Cuma jago judi, bukan Cuma jago mabo, bukan Cuma jago bademo (yang tak jelas), maka tentu akan ada ‘sesuatu’ yang bisa diberikan bagi Minahasa-nya, bagi masyarakat sekitar, bahkanpun bagi Bangsa ini secara keseluruahan.

GENERASI MUDA BISA DIANDALKAN
Walaupun memang batasan usia mereka yang disebut generasi muda dan generasi tua masih ada kerancuan, tapi saya coba menarik suatu garis---bahwa generasi muda itu sampai usia 40---
Ada sebenarnya banyak contoh bahwa generasi muda Minahasa sungguh handal; ambil contoh, mereka yang sekarang lagi studi di luar dan dalam negeri dalam rangka menyelesaikan program S2, S3. saya sungguh salut dengan mereka, bahwa ternyata kita punya pemikir-pemikir, pelajar-pelajar yang pintar, bukan Cuma itu tapi punya niat, punya kesungguhan untuk menuntut ilmu, punya kemauan !. Bukan mau mendiskreditkan bagi mereka yang tidak/belum melanjutkan studinya. Ini hanya ungkapan bangga dan salut saya, bahwa orang Minahasa ternyata bisa ! Lulusan-lulusan mereka juga tidak sembarangan, lulus diatas rata-rata. This is really matter, because education is number one ! Begitu kata teman baik saya yang saya kenal sangat antusias dengan pendidikan, Ia lulus dengan summa cum laude.
Banyak juga yang sementara kuliah dan sungguh di atas rata-rata dibandingkan rekan-rekan dari propinsi lain. Ini sesungguhnya adalah suatu ‘nilai’ yang harus dicermati dan ditindaklanjuti. Di bidang bisnis dan dunia perpolitikan memang sudah banyak yang berhasil walau tidak sesuai porsi yang seharusnya. Mungkin karena faktor kesempatan.
Pendidikan memang sangat penting dalam pemahaman memberikan nilai-nilai utuh tentang banyak hal termausk agama, membentuk generasi muda yang berwawasan dan berintelektual yang tidak lupa akan budayanya dan memegang teguh imannya.
Pendidikan terbukti memegang peranan penting bagi sikap dan kelangsungan daya pikir dari satu generasi ke generasi berikutnya, ada banyak catatan-catatan sejarah mengenai betapa pentingnya pendidikan umum maupun keagamaan bagi suatu generasi. Nicolaas Graafland dalam tulisan-tulisan berbentuk monografi seperti yang bisa kita lihat dalam Mededeelingen vanwege het Nederlandsche Zendelinggenootschap (sering disingkat menjadi MNZG). Diantaranya ada yang penting dalam memahami kerohanian dan keberagamaan Minahasa zaman dulu adalah tulisannya yang berjudul “De geestesarbeid der Alifoeren in de Minahassa gederunde de heidensche periode”. Dalam tulisannya Graafland antara lain menelusuri arti paling hakiki dan makna terpenting tentang bentuk-bentuk kerohanian tua dibeberapa wilayah Minahasa (khususnya di wilayah berbahasa Tombulu), dari masa sebelum Kekristenan masuk . Disamping mendalami doa-doa tua, Graafland berusaha menggali mitos tentang asal-usul manusia dan sejumlah legenda pada masa itu.
Graafland adalah pendiri sekolah guru dibeberapa tempat di Minahasa, pertama kali di Sonder pada tahun 1851 tapi sekitar 3 tahun kemudian dipindahkan ke Tanawangko. Graafland jugalah yang akhirnya memulai penerbitan surat kabar pertama Ditanah Minahasa dengan memakai bahasa asli, “Tjahaja Siang”.

SEBAGAI TIANG MASYARAKAT
Sebagai tiang masyarakat generasi muda harus punya vitalitas orang muda yang percaya diri dan percaya Tuhan. Bukan jamannya lagi dimana generasi muda justru jadi parasit, ketergantungan terhadap generasi yang lebih tua. Tidak bisa mengambil dan membuat keputusan sendiri. Malu menyatakan pendapat, malu untuk tampil kedepan.
Bukankah Minahasa adalah ‘pintu’ bagi orang luar untuk belajar tentang keterbukaan dan keluwesan dalam pergaulan. Generasi Muda Minahasa harus bangun untuk menjadi tiang-tiang itu. Selain menuntut ilmu, harus dibarengi dengan iman-takwa serta kerendahan hati. Jadi pintar bagus, tapi bukan jadi sombong. Rendah hati bukan berarti rendah diri. Sudah saatnya generasi muda membangun opini positif dimata masyarakat sekitar bahkan seantero negeri bahwa ditengah-tengah keterpurukan negeri ini dalam segala bidang. Generasi Muda masih bisa menjadi tiang-tiang itu. Tiang-tiang yang siap mo tongka kalu torang pe negeri bagoyang, tiang-tiang yang siap mo tahan kalu torang pe Minahasa bagoyang !
Tidak banyak pelajaran lagi yang harus diberikan untuk jadi tiang-tiang itu, bagaimana harus jadi tiang-tiang itu ! Pendidikan di bangku sekolah, universitas sudah cukup, diorganisasi keagamaan sudah banyak ditempa dan dibentuk. Tulisan ini hanya sekedar mengingatkan sekaligus membangkitkan ‘rasa’ itu. ‘Rasa’ yang mungkin sudah tertidur atau sudah mulai melemah. Rasa dan semangat untuk hidup, berbuat dan ada bagi masyarakat dan negeri ini !
- Pendidikan formal (Secara utuh)
- Pendidikan informal (Secara lengkap)
- Keyakinan diri (Melingkupi semua aspek)
- Iman dan Ketakwaan (Berbasiskan semua segi)
- Vitalitas (Secara berkesinambungan)

Cukuplah itu sebagai titik tolak untuk maju kedepan. Sebagai bentuk nyata dari “Kekuatan” dalam diri orang muda Minahasa yang sesungguhnya sudah ada di diri masing-masing tinggal diejawantahkan dalam kehidupan sehari-hari. Pasti kita bisa ! Melangkah pasti menuju masa depan dan meraih sukses !
“ Percayalah kepada TUHAN dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri. “ (Amsal 3:5).
^~Mich~^

Tuesday, February 15, 2011

Mahasiswa dan Perjuangannya..

Mahasiswa dan Perjuangannya.
*Michael E Sendow


“…Roda zaman menggilas kita, terseret tertatih-tatih….
Sungguh hidup sangat diburu, berpacu dengan waktu…..
Tak ada yang dapat menolong, selain yang disana,
Tak ada yang dapat membantu selain yang disana….
Dialah Tuhan…….
Dialah Tuhan…….”
Penggalan lagu/ Reff. Yang dicipta & dinyanyikan Ebiet G Ade.

“Roda Zaman” yang sarat dengan tantangan dan pergumulan selalu silih berganti menyapa kita. Apalagi kita yang berstatus mahasiswa. Ada hal-hal dihidup ini yang perlu kita perjuangkan sebagai Mahasiswa, ada tujuan akhir yang harus digapai, ada cita-cita mulia yang harus diraih. Jangan biarkan kemahasiswaan itu terbujur kaku di cepatnya perputaran roda zaman tersebut, kalau tidak mau tergilas olehnya.

Berbicara mengenai Nilai-nilai etis mahasiswa sangatlah argumentative, sebab bukankah Mahasiswa ada dan berada selalu pada ‘wilayah’, ‘keadaan’ dan ‘situasi’ yang berbeda-beda walau kadang terlihat sama padahal berbeda adanya.
Tapi paling tidak ada nilai-nilai standard yang bisa dipetik hikmahnya untuk kemudian dipakai sebagai “penghela” maupun “pentola” bagi terciptanya mahasiswa yang mumpuni, yang bukan mahasiswa ‘AsMa’ (asal mahasiswa doang) yang penting menyandang status mahasiswa tidak peduli kualitas & karakter kemahasiswaannya. Mahasiswa yang memiliki keunggulan intelektual juga dibekali dengan budi pekerti yang luhur.
Sebelum kita menyorot lebih lanjut nilai-nilai etis dasar sebagai mahasiswa, ada baiknya kita menyoroti latar belakang yang kadang membentuk sosok mahasiswa itu dikemudian hari.
Kesempatan sering memegang peran penting juga dalam hal ini; ambil missal, kesempatan mahasiswa A lebih baik dari mahasiswa B, sehingga ia bisa masuk di Perguruan tinggi terbaik di negeri ini, katakanlah UI dan yang satu hanya tembus di UNPIR (Universitas Pinggiran). Ini pada akhirnya bisa membentuk karakternya, yang satu mulai merasa rendah diri dan minder. Padahal sering kali bukan karena si A lebih pintar dari si B maka ia bisa tembus di UI, melainkan karena faktor kesempatan.
Kemauan juga adalah penunjang terbentuknya karakter yang baik sebagai mahasiswa. Kadang kala, ia sebenarnya tidak berkemauan untuk kuliah, tapi ‘hanya’ oleh karena desakan orang tua ia akhirnya menjadi mahasiswa. Tidak jarang ‘hanya’ oleh karena gengsi akhirnya ia menyandang gelar mahasiswa. Apa jadinya ? IP anjlok, banyak bolosnya, fakultas jadi ajang gaul semata-mata.
Kemampuan adalah hal ketiga yang menentukan. Kadang mahasiswa itu berangkat dari keluarga yang kurang mampu, ia merasa kalah dalam berpenampilan di fakultasnya (katakanlah Fekon), ia kemudian menjadi malas-malasan (padahal kepintaran tidak datang karena penampilan), ia gengsi membaca di perpustakaan padahal tidak sanggup membeli ‘text book’ selayaknya teman-temannya yang lain.


Nilai-nilai Etis sebagai Mahasiswa.

Baiklah sekarang kita melihat secara gamblang nilai-nilai etis sebagai mahasiswa.
- Belajar untuk mencapai tujuan akhir.
Proses belajar mengajar adalah salah satu indicator bahwa Fakultas itu hidup, ruang kuliah itu jalan. Mahasiswa harus terlibat didalamnya, dan ini menunujukkan nilai etis yang pertama yaitu Belajar. Kita datang ke kampus tujuan utamanya-kan BELAJAR bukan nongkrong di unit cafeteria berjam-jam, makan sepuas hati, minum seenak udel dan bahkan ngorok ?!?
- Memahami dunia kampus .Bahwa dunia kampus, perkuliahan, proses belajar-mengajar adalah sarana/alat. Jadi jadikanlah alat sebagai alat dan tujuan sebagai tujuan, kalau kita menjadikan alat sebagai tujuan, maka kita tidak akan pernah mendapat tujuan kita yang sebenarnya. (Masing-masing punya cara tersendiri memahami paragraph ini bukan ?).
- Bagaimana diperlakuakan & memperlakukan. Mengerti dengan benar bahwa sebagai mahasiswa, kita tidak akan mendapat perlakuan diskriminatif dari dosen dan oleh siapapun, oleh karenanya kita tidak akan bertindak diskriminatif dalam hal apapun. (walau kadang ada dosen yang mempraktekkan pendiskriminasian) (dalam organisasi kemahasiswaan juga).
- Berinteraksi di dunia kampus.
Terlibat dalam kegiatan-kegiatan kampus sebagai sarana pengembangan diri dan mental, serta memupuk rasa kebersamaan sebagai suatu civitas akademika. Bukannya menyendiri. cuman duduk-duduk sendirian disudut ruang sambil main Tetris, Game, dan tidak bergaul sama sekali.

Didunia kampus inilah perjuanganmu wahai mahasiswa diuji, akankah engkau tergilas oleh zaman atau engkau nantinya yang akan jadi pemimpin zaman.
Ingat benar, bahwa usahamu akan sia-sia kalau nilai-nilai etis yang ideal saja belum bisa kamu terapkan. Sebab masih banyak nilai-nilai lain akan ditemui dan harus dijalankan nantinya.
Satu catatan kecil yang kiranya dapat menjadi pegangan kita juga adalah supaya kita tidak masuk dalam ‘penjara’, yaitu ‘penjara ekonomi’, memanfaatkan pengaruh doi (uang) demi mancapai tujuan.
Karena betapa hebatnya pengaruh kuasa ekonomi itu atas seluruh aspek kehidupan manusia.
Karl Marx mengatakan bahwa siapa yang menguasai ekonomi, ialah yang menguasai manusia. Seluruh tindak-tanduk manusia dikendalikan oleh motif-motif ekonomi yang ujung-ujungnya adalah doi (uang). Tidak ada satu peristiwa sejarahpun di dalam dunia ini, yang tidak dapat dijelaskan dengan kategori-kategori kepentingan ekonomi. Perang, revolusi, pemberontakan, bahkan penjajahan selalu mempunyai motif-motif ekonomi.
Bagaimana dilingkungan kampus ? adakah yang sudah terjadi, sedang terjadi dan bakalan terjadi menunjukkan adanya indikasi tersebut diatas, bahwa aspek apapun yang dilakukan ‘terlalu’ diatur oleh ‘kuasa’ doi ?
Ada yang masih dalam ‘limit of tolerance’, tapi kalau so bayar-bayar dosen supaya lulus, ini sudah diluar wilayah etis sebagai mahasiswa.

Perjuanganmu mahasiswa butuh pengorbanan, tapi berkorbanlah demi sesuatu yang engkau yakini tidak melanggar nilai-nilai etismu sebagai mahasiswa, contoh kecil apa gunanya engkau berkorban duit untuk beli nilai, setelah lulus engkau tidak memiliki ilmu yang kau beli itu, karena bukan proses belajar yang engkau jalani, berinteraksi, tugas, diskusi-diskusi di kelas tapi malahan dengan kemampuan finansialmu kamu bayar nilai “A” mu !?

Akhirnya, berjuanglah dengan sungguh-sungguh dan raihlah segala impianmu yang sudah kau toreh di hatimu dan dalam benak serta anganmu.
Ingatlah selalu bahwa untuk mencapai tujuan akhir selalu ada jalan yang harus dilalui, ada proses yang harus dijalani.
Jalan panjang memang harus dilalui, tetapi jadikanlah alat sebagai alat dan tujuan sebagai tujuan.

“……Kita mesti berjuang, memerangi diri, bercermin dan banyaklah bercermin…
Tuhan ada disini di dalam jiwa ini…….” (Ebiet G Ade)

Monday, February 14, 2011

"Suara Biasa itu"...Happy Valentine's Day Everyone!

“Suara Biasa itu….”

Pagi itu, kala dering jam tepat menunjukkan pukul enam pagi.
Ketika dalam gegasku, buru buru, siap siap, tergesa gesa……
Menuju tempat dimana aku mencari nafkah…..
Telpon genggam itu berdering….
Nyaring.....
Menghentak dan seketika gegaskupun terhenti !

Suara dari seberang sana,
Suara yang begitu kukenal,
Suara yang kadang memunculkan senyum dibibir ini,
Menghadirkan tawa lepas dalam segala rasa suntukku,
Memberikan harap ditengah-tengah pergumulanku.....
Suara yang sama itu jualah yang kadang membuka jalan,
Bagi deraian air mata...
Kadang suara itu riang bersemangat....
Tapi tak jarang diam membisu....
Kadang dewasa...
Walau sering hadir dalam bentuk kekanak-kanakan,
Manja dan manis didengar….polos dan lembut.

Tapi pagi itu,
Ada yang berobah........
Suara itu lain, sangat lain....
Tidak seperti biasanya...sangat berbeda.
Bukan biasa-biasa,
Tak dapat ditangkap ‘jelas’ dan ‘nyata’ di telinga ini.
Melebihi akal pikiranku......
Melampaui pengetahuanku.

Suara itu penuh tuntunan yang tak biasa,
Ia mengguncang ruang-ruang di hati ini,
Seperti laut yang dalam.......
Seperti angkasa yang luas.......
Seperti aliran air sungai, mengalir tak terkira.....
Suara itu menekanku dengan amat sangat.
Dengan amat tegas.
Dengan tak terbantahkan.

Aku hanya bisa menaruh harap,
Seberaoa besar rasa itu,
Seberapa dalam kasih itu,
Biarlah ia dinyatakan dengan bebas,
Dengan ucapan syukur...
Tanpa paksaan...
Tanpa sembunyi-sembunyi....
Tanpa melukai sesama....
Walau ada rasa yang tak terbendung,
Walau ada asa yang bergelayut di ujung penantianku,
Aku ‘tak akan membiarkan asa yang lain milikmu hancur…..
Serahkanlah padaNya, Ia yang maha Adil, maha mengetahui,
Biar kita mereka-reka jalan, Ia jualah yang menentukan……
Walaupun rasa itu……..
Dan walaupun...........
Meskipun............................
Dan meskipun..............................

Aku hanya menanti suara yang “biasa” itu kembali,
Suara yang memiliki berjuta arti dalam kepolosannya,
Yang tidak bersandiwara.....yang tidak menuntut.
Aku ingin suara itu hadir tidak dengan keanehan,
Dan tidak dengan perubahan……..

Semoga ini hanya imajinasi, semoga ini hanya mimpi.
Bahwa ia yang ada dihati ini sudah berubah....
Jangan biarkan ada yang mengubahmu....
Jangan biarkan ada yang merobahmu....
Bolehkah suara “biasa” itu kembali kumiliki....
Pintaku dengan amat sangat !?!?
(Mich) (14 Pebruari 2011)